Saturday, February 1, 2014

Rene Suhardono


Rene Suhardono Canoneo, itulah sosok yang belakangan cukup banyak mengisi dunia karier dan kehidupan di berbagai media. Bahkan, beberapa waktu lalu, ia sempat berbagi ruang seminar sebagai pengisi acara seminar “Innovation & Creativity”  yang mengundang tokoh besar Steve Wozniak, partner mendiang Steve Jobs dalam membesarkan Apple. Dari kesempatan sepanggung dengan Wozniak itu saja sudah jadi semacam “trademark” bahwa Rene (e yang pertama dibaca seperti menyebut e dari kata lengkap, e yang kedua dibaca seperti menyebut e dari kata ekonomi) memang namanya sedang “melambung” dan banyak dicari orang.

Namanya seolah telah jadi terjemahan bahasa Jawa, rene alias ke sini. Dengan begitu, ia sepertinya memang “ditakdirkan” menjadi orang yang selalu bisa “mengundang” orang lain, baik melalui kisah hidup, pencarian, hingga tips seputar karier—bertajuk UltimateU—yang ditulisnya di harian Kompas saban Sabtu. Tak ayal, mencari jadwal wawancara dengannya pun cukup sulit. Namun, semua itu tertebus dengan inspirasi kehidupan yang muncul dari wawancara singkatnya dengan Majalah LuarBiasa beberapa waktu lalu.

Bicara soal takdir, Rene mengaku bahwa dirinya pernah punya pengalaman sangat menakjubkan dengan “grand design” dari Sang Mahakuasa. “Ayah kandung saya orang Filipina, ayah yang membesarkan saya orang Yogya. Ayah kandung saya ini berpisah dengan ibu waktu saya masih sangat muda. Ini saya ketahui karena dulu saya di sekolah sempat belajar soal golongan darah. Namun itu saya simpan karena saya dibesarkan di keluarga penuh cinta kasih dan berkelimpahan,” sebutnya berkisah. “Kemudian muncul keinginan untuk mencari root saya, jati diri, bukan saya nggak hormati orangtua, justru saya ingin cari tahu saya dari mana sehingga dapat gambaran saya mau ke mana direction -nya. Akhirnya ketahuan ayah di Filipina. Waktu itu saya nekat ke sana hanya berbekal uang yang cukup untuk 6 hari dan Alhamdulillah di hari ke-5 saya bertemu dengan ayah kandung setelah sebelumnya mengalami 17 kebetulan yang jika dikaji dengan teori apa pun nggak mungkin tanpa ada grand design dari Tuhan. Itu misalnya mulai saya telat bangun sehingga nggak dapat jatah makanan dari hotel sehingga harus sarapan ke luar. Saat mau sarapan, makan kesenggol dan jatuh. Kebetulan itu mempertemukan dengan petugas semacam biro statistik di sana. Kemudian naik taksi, kebetulan lagi itu yang nyupirin famili ayah kandung saya.”

Di sinilah, muncul kesadaran, yakni bahwa tiap makhluk di dunia diciptakan dengan maksud tertentu yang telah ditentukan oleh Tuhan. “Tidak mungkin Tuhan menciptakan kita sembarangan saja.” Rene lantas menyebut, bahwa ia merasa bahwa dirinya diciptakan dengan suatu “tugas”. Dari sinilah pencarian demi pencarian dilakukannya. Semua itu mengantarnya untuk kemudian menjadi seorang career coach yang memiliki pandangan unik seputar karier. Dan, dari perjalanan panjang itulah, ia menemui bahwa proses perjalanan kehidupannya masih panjang dan terus mengalami berbagai pencarian. Rene juga mengaku, pengalaman itu kemudian menginspirasinya hingga kemudian membuatnya “berkenalan” lebih jauh dengan passion dan purpose dalam hidup. Dua hal inilah yang kemudian ditularkannya ke mana-mana, sebagai wujud pengabdiannya untuk menginspirasi orang.

Melalui proses itulah, ia kini dengan “gampang” menemui kebahagiaan. “Esensi bahagia nggak  usah dikejar, karena bahagia itu urusan kini dan sini; bukan nanti, tapi sekarang,” sebutnya ringan.

Bahagia Versi Rene


Sosok Rene sendiri memang terlihat selalu ceria. Bagi yang baru kali pertama mengenal, akan segera mudah mengakrabinya. “Syarat pertama untuk wawancara dengan saya jangan panggil saya dengan 'Pak', Rene saja. Lebih senang begitu,” ungkapnya sebelum memulai perbincangan dengan tim redaksi Majalah LuarBiasa, sehingga keakraban pun segera terjalin.

Bisa dibilang, Rene mengubah “sekadar” wawancara menjadi “kebahagiaan” dengan versinya. Kadang, guyonan ringan pun terlontar dari kisahnya. Sebuah kisah dituturkannya, untuk menggambarkan betapa bahagia itu mudah didapat di mana saja. Disebutnya, ada seorang sangat kaya bertemu dengan gelandangan yang sedang rileks, sembari bersiul dan menikmati hidupnya. Terbiasa bekerja keras, maka si kaya menyapa si gelandangan dan menyuruhnya agar mengubah nasib dengan bersekolah yang tinggi, kemudian bekerja, mengejar jabatan, membangun usahanya sendiri, hingga akhirnya nanti akan bisa bersantai setelah mendapatkan semuanya. Dengan santai, si gelandangan menjawab, jika semua itu ujungnya hanya untuk bersantai, dia sendiri saat ini merasa sudah santai, rileks, dan mendapatkan kebahagiaan dengan caranya.

Melalui kisah tersebut, Rene hendak bertanya sekaligus memperkuat “analisis”-nya, yakni bahwa untuk mendapatkan kebahagiaan sebenarnya sangat sederhana. “Tak usah dicari ke mana-mana, karena sejatinya bahagia itu sudah ada dalam diri. Tinggal, bagaimana keputusan kita sendiri untuk memaknai bahagia seperti apa,” tegasnya. “Bagi saya kenikmatan tertinggi adalah ketika kita tahu siapa kita. Kapan bisa discover ourself, kapan menemukan diri sendiri, bagaimana bisa menemukan clarity akan ke mana, bukan tujuannya, tapi clarity-nya. Tapi memang harus diakui, lebih mudah mengenali orang pakai Mercedes yang lebih mewah dari Avanza. Orang tinggal di Kebayoran Baru lebih keren dari di Jiung (Kemayoran), dan seterusnya. Jadi yang mudah sering kali menutupi yang esensi. Karena itu, jangan hanya kita berserah dengan yang mudah, tapi harus mencari  what really matters dalam hidup, maka kita akan banyak menemukan kebahagiaan.”

Begitulah, Rene dengan gampang “menyindir” stigma lingkungan yang kadang menjerumuskan pada kebahagiaan semu. Pangkat, jabatan, kekayaan, menurutnya memang tak salah untuk dikejar. Namun sebenarnya, ada yang jauh lebih penting untuk diwujudkan, yakni menyelami diri sendiri. “Dalam konsep ini bukan menjadi  becoming the best, tapi menjadi yourself best. Menjadi diri kita sebaik-baiknya. Bagi saya, sukses sebenarnya kalau seseorang itu serve the need of the world. Sukses itu adalah ketika dia menjadi dirinya yang terbaik dan dia melayani kebutuhan dunia (tanpa itu, artinya moral ground masih belum ada; dalam melakukan apa pun, tidak peduli sesukses apa pun, Anda dibilang orang lain).”

Sumber :
http://www.andriewongso.com

No comments:

Post a Comment

Related Posts