Tuesday, October 20, 2020

7 Alasan Konsultan Dibutuhkan

Di era milenial saat ini, suka tidak suka, kehadiran konsultan sangat dibutuhkan di suatu perusahaan untuk membuat strategi yang jitu dalam memajukan bisnis perusahaan Anda. 

Setidaknya ada 7 alasan, kenapa perusahaan Anda butuh konsultan agar lebih maju lagi ke depannya?:

  1. Agar bisnis perusahaan Anda tetap kompetitif dan mengikuti tren era milenial
  2. Mendapat nasehat dan rekomendasi berkualitas dari “pihak luar”, bukan dari dalam perusahaan Anda.
  3. Mendapatkan objektivitas ide dan solusi dalam melihat masalah.
  4. Tidak tersedianya waktu, sumber daya manusia, dan infrastruktur yang memadai untuk mencari solusi bisnis perusahaan Anda.
  5. Dibutuhkannya ahli yang berpengalaman dalam memberikan solusi bisnis.
  6. Biaya perusahaan yang “terbuang percuma” akibat proses internal perusahaan Anda namun tidak mendapatkan solusi.
  7. Mendapatkan penyegaran ide dan strategi baru untuk menjadi “pemenang” di pasar bisnis perusahaan Anda.

Maka atas ke tujuh alasan di atas, kehadiran konsultan untuk membantu perusahaan Anda menjadi sangat diperlukan. Maju tidaknya bisnis Anda memang di tangan Anda. 

Tapi cara dan nasehat untuk bisa “merealisasikan” tujuan bisnis Anda pun sangat membutuhkan bantuan dari pihak luar, yaitu konsultan.


Sumber :

https://www.indonesiana.id/read/125971/7-alasan-kenapa-perusahaan-anda-butuh-konsultan

Tips Membangun Bisnis Sebagai Konsultan

Sudah mantap untuk membangun karier sebagai konsultan? Tentu kamu harus membangun bisnismu untuk mendapatkan klien. Berikut beberapa trik yang bisa kamu gunakan!


Pasang Iklan

Zaman sekarang, iklan bukan hanya mencakup iklan billboard atau TV saja, tetapi juga iklan di media online seperti Facebook  Ads atau GoogleAds.

Trik utama dalam memasang iklan di sini yaitu dengan menetapkan targeting yang tepat.

Tentukan target audience secara spesifik agar iklanmu terlihat oleh orang-orang yang tepat untuk menjadi klien potensial.

Iklan juga bisa dibuat sekreatif mungkin, tidak terbatas hanya dengan kata dan gambar.

Boleh juga lho jika kamu ingin membuat video yang unik untuk menangkap perhatian orang dan menambah jumlah klik ke website bisnismu.


Buat Konten yang Menarik

Setiap konten yang kamu buat untuk memasarkan bisnismu sebaiknya dibuat secara singkat, padat, dan jelas.

Kemudian jika dipilih berdasarkan jenisnya, konten berupa video memang lebih mudah digunakan untuk mengekpresikan pesan bisnismu, baik secara visual ataupun audio.

Buat video berdurasi 5 hingga 10 menit mengenai bagaimana bisnismu bisa membantu klien.

Caranya, bagi video ke dalam 3 bagian mengenai masalah yang ada, solusi yang kamu tawarkan, dan call-to-action agar calon klien tertarik untuk mempelajari lebih lanjut tentang jasa yang kamu tawarkan.


Call to Action

Call to action adalah seruan agar klien melakukan tindakan yang kamu harapkan. Dalam bisnis, ada banyak jenis call to action yang bisa dicoba.

Nah tapi khusus jasa konsultan,blog karier Like a Boss Girls menyarankan agar fokus call to action dibuat untuk menarik perhatian klien agar bertanya lebih jauh.

Tujuan utamanya memang bukan untuk membuat klien langsung memesan jasa konsultasimu, namun untuk membuat mereka mencari info lebih lanjut.

Bisa dengan cara mengklik halaman web-mu, menjadwalkan telepon, atau menjadwalkan diskusi secara langsung.

Memang belum menghasilkan uang sih, tapi sebuah pertanyaan bisa menjadi peluang besar untuk menjual bisnismu!


Lakukan Survei

Kamu tidak akan pernah rugi jika mengetahui segala jenis informasi yang dibutuhkan untuk memberikan solusi bagi calon klien.

Untuk mencari tahu masalah dan perkiraan strategi, kamu bisa melakukan riset konsumen terlebih dahulu.

Susunlah pertanyaan yang fokus pada seberapa jauh komitmen mereka untuk menyelesaikan masalah.

Selain itu, ketahui juga apa yang mereka ingin capai, apa yang dibutuhkan, apa yang menjadi rintangan, apa masalah yang sedang dihadapi, dan apa yang ingin mereka lakukan untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Kamu akan lebih mudah menyusun rencana untuk klien jika sudah mengetahui hal-hal di atas.


Tentukan Harga

Salah satu kesulitan para freelancer adalah menentukan harga atas jasa yang diberikan.

Well, tidak ada angka mutlak yang bisa dikatakan benar atau salah.

Tapi sebaiknya ketahui standar pasar, target klien, dan kompetisi industri sebelum kamu mematok harga jasa konsultasi.

Ingat, harga yang ditentukan harus masuk akal, adil, dan sesuai dengan nilai yang kamu tawarkan, ya!


Sumber :

https://glints.com/id/lowongan/memulai-karier-sebagai-konsultan/#.X4-TJdAzbIU

Tips Menjadi Konsultan

Kamu sudah memiliki pengetahuan dan kemampuan di bidang tertentu, dan berminat untuk menjadi konsultan.

Sebelum kamu terjun bebas tanpa mengetahui seluk beluknya, ada baiknya kamu mengetahui dulu kelebihan dan alasan untuk menjual skill-mu ini kepada publik.

Dikutip dari Like a Boss Girls, kamu bisa memulainya dengan menanyakan 5 hal ini pada dirimu sendiri:

  1. Apakah jasa, produk, atau kemampuan yang kamu miliki bisa menyelesaikan masalah?
  2. Apakah kamu memiliki gambaran yang jelas terkait siapa saja yang membutuhkan jasa, produk, atau kemampuanmu ini? (lalu, mungkinkah mereka ingin membayar untuk jasa, produk, atau kemampuanmu?)
  3. Apakah ada orang lain yang menawarkan jasa, produk, atau kemampuan serupa? (jika ya, apa yang membuat jasamu lebih unik atau berbeda? Apa nilai lebih yang kamu berikan? Apa saja masalah yang bisa kamu selesaikan?)
  4. Jika ada orang lain dengan tawaran serupa, sudahkah kamu mengecek jasa mereka? Apa keunikan jasamu dibandingkan jasa kompetitor?
  5. Apakah jasa, produk, atau kemampuan yang kamu tawarkan itu penting?

Sumber :
https://glints.com/id/lowongan/memulai-karier-sebagai-konsultan/#.X4-TJdAzbIU

Alasan Butuh Jasa Konsultan

Mengapa perusahaan-perusahaan membutuhkan jasa konsultan? 

Karena tak adanya keahlian tertentu yang dimiliki oleh konsultan sedangkan keahlian tersebut bukan merupakan hal yang selalu atau setiap waktu dibutuhkan, namun pada periode tertentu keahlian tersebut dibutuhkan. Salah satu contohnya adalah, misalnya konsultan transformasi organisasi yang diperlukan selama periode tertentu, misalnya dari enam bulan hingga dua tahun. Selebihnya, setelah transformasi berjalan maka perusahaan tak membutuhkan lagi keahlian tersebut karena pekerjaan trnsformasi telah selesai. Contoh lain adalah konsultan komunikasi pemasaran atas peluncuran produk baru dalam jangka waktu tertentu. Juga, misalnya konsultan pajak yang diperlukan hanya pada akhir tahun saja. Masih banyak contoh lainnya.

Karena perusahaan tak memiliki sumber daya tertentu untuk mengerjakan pekerjaan tersebut, meskipun sebenarnya bisa dikerjakan oleh SDM yang ada karena tak perlu keahlian khusus untuk hal ini.

Karena perlunya independensi dari hasil suatu kajian atau rekomedasi tertentu. Hal ini tentunya untuk menghindari dugaan adanya campur tangan pihak yang berpengaruh, misalnya pemilik perusahaan berbasis keluarga. Contoh paling mudah adalah konsultan restrukturisasi orghanisasi yang membutuhkan konsultan independen agar kajian organisasi yang dilakukan bersifat obyektif, bebas dari campur tangan pihak yang berpengaruh di dalam perusahaan.


Sumber :

https://thevaluequest.wordpress.com/2015/08/22/menjadi-konsultan-kenapa-tidak/

Alasan menjadi Konsultan

Alasan menjadi Konsultan

Profesi yang disukai oleh sarjana baru. Sering sekali saya menjumpai sarjana baru, baik itu lulusan S1 maupun S2 ketika ditanya ingin melakukan apa setelah lulus. Jawaban paling mereka sering ungkapkan adalah menjadi konsultan manajemen. Mengapa? Bagi mereka, menjadi konsultan memberikan kesempatan luas untuk mengeksplorasi ilmu yang mereka peroleh di bangku kuliah untuk dipraktekkan dalam dunia nyata. Memang, mereka mengakui bahwa menjalani profesi lain bisa juga mendekati apa yang mereka pelajari. Namun, dengan menjadi konsultan mereka merasa tertantang untuk selalu berpikir memberikan rekomendasi manajemen yang terbaik untuk klien.

Profesi konsultan merupakan tujuan akhir setelah pensiun. Ini juga sangat sering saya jumpai dari teman-teman saya yang mendekati masa pensiun menyatakan diri akan menjadi konsultan selepas ia purna tugas di perusahaan mereka berkarir, atau sekurangnya menjadi dosen di perguruan tinggi. Artinya di sini jelas bahwa sesorang berkarir di suatu perusahaan memiliki rencana jangka panjang menjadi konsultan pada akhirnya.

Banyak perusahaan membutuhkan jasa konsultan. Dari segi pasar atau permintaan, tak bisa disangkal lagi bahwa banyak sekali perusahaan yang membutuhkan jasa konsultan, seperti kebutuhan sehari-hari mereka karena banyak yan merasakan perlunya konsultan agar kegiatan usaha tetap berjalan lancar mencapai sasaran-sasaran usaha. 


Sumber :

https://thevaluequest.wordpress.com/2015/08/22/menjadi-konsultan-kenapa-tidak/

Helicopter View

Seorang konsultan manajemen telah terbiasa menjadi seorang analis dari permasalahan kompleks sebuah perusahaan karena pengalamannya terhadap berbagai jenis klien yang menghadapi situasi perubahan pasar mendadak, persaingan semakin ketat, permintaan pelanggan yang semakin tinggi dan bervariasi, masalah internal perusahaan yang juga tak mudah dicari jalan keluarnya. 

Seorang konsultan manajemen terbiasa melakukan analisis dan mengusulkan beberapa alternatif penyelesaian dari kasus yang kompleks ini. Hal ini tentu berbeda dengan mereka yang sepanjang kariernya melakukan pekerjaan struktural dari sebuah fungsi organisasi tertentu, misalnya produksi, pemasaran atau pembelian yang sudah terkotak-kotak pada fungsi tersebut sehingga keterkaitan dengan fungsi lainnya sering kali kurang bisa terlihat dalam analisisnya. 

Seorang konsultan manajemen melakukan diagnosa terlebih dahulu dengan mengumpulkan data dan informasi terkait perusahaan, pelanggan, persaingan, ancaman produk baru maupun posisi tawar pemasok, kemudian membuat analisis komprehensif sebelum mengajukan alternatif rekomendasi.

Seorang konsultan terbiasa dengan melihat permasalahan dengan melihatnya secara menyeluruh (helicopter view) untuk meyakinkan setiap aspek dalam dinamika perusahaan telah ditelususri dengan baik, serta kemudian dilakukan kajian mendalam dari masing-masing permasalahan yang dihadapi sebelum menyampaikan usulan rekomendasi. 

Dengan perkataan lain, seorang konsultan manajemen memiliki kemampuan berpikir strategic serta mengaplikasikannya dalam bentuk alternatif rekomendasi. 

Mengapa alternatif? 

Karena pada akhirnya klien yang bersangkutan dengan pekerjaan konsultan tersebutlah yang membuat keputusan. Tentu seorang konsultan manajemen harus tuntas dalam menyajikan setiap alternatifnya, yakni dampak dari setiap alternatif dan mitigasinya agar dampak negatif bisa dihindari. 

Seorang yang sepanjang kariernya tak pernah menjadi konsultan akan kesulitan melakukan analisis strategic karena belum terbiasa melakukannya dan sepanjang karirnya lebih banyak mengambil keputusan yang kadangkala didasari hanya dari intuisi belaka. Memang tak sepenuhnya jelek bila mengambil keputusan berbasis intuisi. 

Namun, semakin maju sebuah perusahaan, diperlukan suatu alasan kuat (rationale) dari sebuah keputusan bisnis.


Sumber :

https://thevaluequest.wordpress.com/2015/08/23/mengapa-saya-menjadi-konsultan/

Sunday, October 18, 2020

Meet the 4 cycles of Jeff Bezos

Test, build, accelerate and scale: Meet the 4 cycles of Jeff Bezos



14 principles to take a company from zero to first.

October 14, 2020


I know I don't have to explain who Jeff Bezos is . The founder and current CEO of Amazon is the richest man in the world, and his online store has redesigned our present in ways we didn't even imagine. The concept of his business was not, in itself, original (there were already other online stores), but his vision, his mastery of risk and his creative strategy separated Amazon from its competitors until it became one of the companies that , in many ways, defines our time.

Things don't happen by accident. Businesses do not grow "naturally" or "wildly", as if they were a small tree that is enough to water to become an oak. Businesses require leadership, vision and strategy. Jeff Bezos describes this vision and his strategies in his letters to his shareholders each year. The first of them, that of 1997, already clearly shows the path that Bezos was undertaking.


Back then it wasn't obvious that Amazon would be a hit. It was a young company with a great idea, but still losing money on all four sides, exploring new ways to solve old problems. In his book The Bezos Letters , Steve Anderson makes an analytical summary of the Bezos System, which is summarized in four cycles and fourteen principles of growth.


The four cycles are: Test, Build, Accelerate, and Scale . Take out a pencil and paper, because this gets interesting.


CYCLE ONE: TEST

Nice that you have a great idea! Scented mosquito candles? Very good. Organic and ecological drink? Ok. An app for locating dogs? Okay. It all sounds great. But before you sell your house and leave your job, do what the greats do: test if there is a replicable process and a market that wants to buy it.

Don't wait to have the perfect product to go out, or waste too much time at the design table. On the contrary: generate prototypes and minimum viable products (MVP) and explore the jungles of your market.


Growth principles:

1. Promote successful defeats

Our culture fears defeat and humiliates those who make mistakes. This generates an innovative paralysis: nobody tries new things for fear of failing. Companies that grow, try hard and fail a lot . For every great Google service, there are dozens that fell by the wayside. Try and celebrate these "wrong" ideas. Exploring is the only way to find new paths.


2. Bet on big ideas

You have launched exploratory expeditions. Out of ten attempts, eight failed. Good: now you have two that do work. It's time to bet on them. Redirect time and resources to the things you've tried, raising your chances of success along the way.


3. Practice dynamic innovation

Your vision has to stand firm, but in the processes, there are no things written in rock. Whether your company is digital or made of concrete and brick, install systems that allow you to receive information in real time about your processes. Then keep designing and improving your processes until you get closer to their optimal status. Never, never stop learning.


SECOND CYCLE: BUILD

When you have a proven idea, it's time to lay the groundwork. Now you do have real information that tells you that your idea is viable: that it can be a business. It is time to build.

Different companies have different product creation systems. For example, a digital or creative-based business is not the same as a cake factory or a horse farm. Develop systems that allow you to respond to current demand, anticipate the future and, also (this is essential), space to continue your dynamic innovation process.


Growth principles:

4. Become obsessed with your customers

Big ideas, zero sales - that's the story of thousands of companies that fail along the way. At the end of the day, it doesn't matter how great your product is. If nobody buys it, then you are dead. Amazon developed a search, rating and feedback algorithm whose sole goal was - still is - to understand and delight each of its millions of customers. Understanding your customer is a task that requires effort and time, but it pays off handsomely and prevents you from wasting too much time on roads that lead nowhere.


5. Think long term

If you are not born to be the best then what are you born for? You may not be the biggest company on the planet, but you can - and should - aspire to be the best in your own niche, no matter how big or small. That is not built in two days. Amazon lost money for many years before starting to win, but from day one they set a goal that was well worth the effort. It is preferable to try the impossible and fail, than to try the achievable and achieve it.

To know more: Possible signs of life found on Venus. Elon Musk and Jeff Bezos reportedly upset that they didn't find them first.


6. Make your customer your center of inertia: the Flywheel model

Many sales systems are based on the funnel model or sales funnel , which is a process of filtering customers. The purchase is at the end of the funnel and with it, the sales process is “finished”. The center system inertia and Flywheel It changes the focus of the process and puts the customer (not for sale) at the center of the entire experience, attracting, falling in love and learning to generate a strong long-term relationship. The funnel is great for one-time sales, but the Flywheel is great for repeat sales. The customer returns again and again to a changing ecosystem around him. In more ways than one, the client is the architect of their experience.


THIRD CYCLE: ACCELERATE

You have a proven model and a customer base that allows you sustained growth. Congratulations - you have a real and successful company! This is where most of the companies that exist stop: with a business model that works, and in which they choose to stay where they are and not grow any more.

To grow is to believe. It is time to move to the next level.


Growth Principles:

7. Generate high-speed decisions

The bureaucracy can hang medium-sized companies. A leadership review is required at this time to sustain growth with swift strategic decisions. Not all founders are good CEOs! Sometimes a change of baton is convenient; some others it is the same leader who continues ahead. Courage and risk control are required to be able to add value where it is needed and eliminate what is left over.


8. Make the complicated, simple

Simplify, reduce, save and clean processes and products that take time, resources or effort. Structures that have not lived up to their potential are likely to be born in the testing and construction stage: not all have to stay there. Stay with the best and make life easier for your clients, attending to your core business , your mission and your vision, which must be clear, current and shared with your entire organization.


9. Speed up time with technology

Technology can be your best ally. Don't be afraid to try new things. For example, Amazon One Click Purchase , which was patented at the time, was a revolutionary element that reduced friction to a minimum and made life easier for the customer. Automate, lighten and accelerate growth with the technology at your fingertips. Even small and medium businesses can find ways to do it.


10. Promotes a sense of ownership

Through this process in which the company begins explosive growth, maintain a team culture and a common vision. Amazon allows, like many other companies of the modern era, the option of holding shares for its employees, with which they are direct beneficiaries of growth. However, money is not everything. Neither stocks nor bonds exceed the sense of belonging and purpose that gives a clear vision and positive leadership.


FOURTH CYCLE: SCALE

Not all businesses can be Amazon. But they do develop a scale-up strategy that allows them to serve the needs of more people without destroying the core of who they are and have built. This will only be possible if the bases indicated in the previous cycles have been previously established. This is the difference between serving hundreds and serving thousands or millions, and it is the key to a business with an impact beyond its initial niche.


Growth principles:

11. Maintain your culture

The risk of tearing is imminent. Not a few companies have been lost due to uncontrolled growth that makes them lose their center, their style and their mission. Take care of the communication channels so that the feeling of being a team or, better yet, a family, does not succumb to pressure and distance.


12. Focus on high standards

Distance and speed can very easily impact the way things are done. A poor delegation system can result in poor quality, poor service, and dissatisfied customers. With the prestige of the brand and the future of the company at stake, this is not the time to lower our guard.


13. Measure what matters, question what you measure and trust your intuition

The amount of numbers and information that is generated in a wide-range operation can be noisy and confusing. Manage your information flows to measure what matters and have the data you need to make decisions at hand. But decisions are not automated: they require the intuition, experience and risk sensitivity of the leadership in the company. Businesses that go automatic soon reverse.


14. Think it's always day one

Stay hungry, stay curious , are the words Steve Jobs famously ended his Stanford speech with. Throughout his annual letters, Jeff Bezos has maintained and repeated this phrase as a kind of mantra: we continue on day one.

The companies that can see the future are those that constantly reinvent themselves and that have in their purpose an impossible ideal that never fails to inspire and thrill the curious mind. It is always day one for a company that grows, that makes a mistake, that falls, that starts again, and that is always hungry to eat the world.


Sumber :

https://www.entrepreneur.com/article/357766

Sunday, October 11, 2020

Value Proposition Canvas

A Bridge to Connect Imaginary Idea and Real Product

Value proposition canvas terbagi menjadi dua bagian yaitu customer segment dan value proposition. Alex Osterwalder mendesign alat ini untuk membantu kamu membuat detil dari kedua hal tersebut secara sederhana, tetapi sangat bermanfaat sebagai jembatan ide yang ditawarkan untuk calon customer agar sesuai dan tepat.

Tujuan dari value proposition canvas adalah agar kamu bisa mendesain proposisi nilai yang bertujuan untuk meningkatkan nilai yang kamu tawarkan kepada customer dan membantu menyelesaikan permasalahan mereka.

Value propositon juga merupakan sebagai dasar untuk pembuatan business model canvas (BMC). Hasil dari value proposition canvas nanti akan dipakai di kolom value proposition pada business model canvas. Value ini menjadi dasar untuk menentukan hal-hal lain yang diperlukan dalam setiap elemen business model canvas. Jadi bisa dibilang value ini adalah jembatan pertama untuk menghubungkan ide yang sifatnya abstrak dengan produk (atau layanan) yang bersifat konkrit.

Value Proposition Canvas terdiri dari dua bagian yaitu Customer Profile dan Value Proposition. Dibawah akan dibahas satu per satu. Dalam customer profile ada elemen yaitu customer jobs, pains dan gains.


Customer job

Pertama mari analisa customer , lebih bagus lagi dengan membuat profil customer yaitu mulailah dengan mendeskripsikan apa yang sedang dikerjakan oleh target customer. Hal itu bisa berupa tugas yang sedang mereka kerjakan, masalah yang sedang mereka pecahkan atau kebutuhan yang sedang berusaha dicapai oleh mereka. Customer jobs dapat dikategorikan kedalam functional jobs, social jobs, emotional jobs, dan basic need jobs. Ingat kembali Jobs-to-be-done. (Konsep jobs-to-be-done telah dijelaskan dalam artikel sebelumnya)


Customer pain. 

Mendeskripsikan emosi negatif, hal-hal yang tidak diinginkan, situasi yang tidak diinginkan dan resiko yang pernah dialami oleh customer sebelumnya sebelum, ketika dan setelah mengerjakan sesuatu.

Resapi beberapa pertanyaan dan jawaban di bawah ini :

  • Apa saja yang biasa dihindari customer? Misalnya : waktu lama, mahal.
  • Apa yang saja emosi negatif customer yang bisa muncul? Misalnya : frustrasi, menjengkelkan, mengganggu, memusingkan.
  • Apa saja solusi yang ada tapi buruk untuk customer ? Misalnya : feature yang kurang, performa, tidak berfungsi.
  • Apa kesulitan utama yang dihadapi customer? Misalnya : sangat sulit menggunakan mengakses layanan


Customer gains. 

Mendeskripsikan keuntungan yang diharapkan oleh customer. Termasuk keuntungan secara fungsional, emosional, emosi positif, dan hemat biaya.

Resapi beberapa pertanyaan dan jawaban di bawah ini :

  • Apa yang membuat pekerjaan customer menjadi lebih mudah? Misalnya : service lebih, harga murah
  • Apa yang dicari customer? Misalnya : desain yang bagus, garansi
  • Apa konsekuensi positif yang diinginkan customer? Misalnya : kelihatan keren, menaikkan gengsi, status
  • Apa yang diimpikan customer? Misalnya : tubuh langsing, percaya diri, badan berotot, juara kelas
  • Apa harapan/ekspektasi customer? Misalnya : kualitas, pelayanan ramah

Kemudian dalam value proposition canvas ini terdiri dari tiga elemen yaitu pain relievers, gain creators dan products & services.


Pain relievers di sisi value map berhubungan erat dengan pain di customer value. Pain reliever menghapus dan mengurangi pain, atau hal-hal negatif yang dialami oleh customer. Jika diibaratkan pain reliever ini adalah obat saat customer merasakan sakit.

Gain creators juga berhubungan erat dengan gain customer profile. Gain creator meningkatkan gain yang sudah didapatkan oleh customer. Jika diibaratkan pain reliever ini adalah vitamin untuk menjaga customer tetap sehat dan bugar.

Product & services merupakan gabungan dari pain reliever dan gain creator. Itulah yang akan disajikan pada customer. Apa produk dan service yang akan membantu customer secara fungsional, emosional, sosial atau membantu memenuhi kebutuhan dasar. Produk dan service ini harus tangible.

Dibawah ini dalah contoh value proposition canvas dalam penerapan bisnis kuliner (food and beverage), Meatbray “100 US BEEF” yang terletak di Galaxy Food City Bekasi.

https://www.instagram.com/meatbray/

Value proposition dari Meatbray hotplate dikembangkan untuk membantu memenuhi kebutuhan konsumen diantaranya : kebutuhan untuk ‘makan diluar’ yang didasari konsumen mempunyai kebiasaan hang-out bersama keluarga atau teman terdekat (functional jobs). Konsumen juga biasanya mencari tempat makan yang enak (emotional jobs) dan sasaran konsumen Meatbray 100% US BEEF khusus bagi mereka yang mengkonsumsi daging sapi (functional jobs). Dalam industri food and beverage yang sudah ada terdapat beberapa titik kesakitan yang menyebabkan konsumen merasa ‘sakit’. Diantaranya, harga yang mahal, kualitas daging yang buruk, hanya bisa makan ditempat, dan waktu penyajian yang lama. Konsumen juga akan lebih senang apabila harga yang terjangkau, waktu penyajian yang cepat, banyak tambahan saus dan bisa menerima pembayaran dengan uang elektronik.

Berdasarkan analisis diatas, maka pain reliever atau obat dari semua ‘kesakitan’ konsumen itu menginginkan paling tidak harga tidak terlalu mahal, kualitas daging yang baik, bisa dibawa pulang dan waktu penyajian yang cepat. Adapun gain creator yaitu daging yang impor yang berasal dari US, banyak variasi saus, menerima pembayaran dari multi channel dan jaminan 7-menit waktu penyajian.

Apabila value proposition ini direalisasikan dengan baik saat proses bisnis berlangsung, maka sedikit demi sedikit branding akan terbentuk sehingga bisnis kamu akan mempunyai nilai yang khas. Nilai tersebut akan membedakan bisnis kamu dengan pesaing.


Sumber :

https://medium.com/@lubis.asepridwan/value-proposition-canvas-a-bridge-to-connect-imaginary-idea-and-real-product-a58b1d8faa99

Blue Print Startup dengan BMC

Apakah Business Model itu?

Sebelum membahas lebih jauh mengenai konsep ini, kita perlu memahami apa yang dimaksud Business Model. Menurut Alexander Osterwalder, Business Model adalah gambaran dasar bagaimana sebuah organisasi membuat, men-deliver dan menangkap value yang ada. 

Business Model bersifat seperti blueprint untuk strategi yang akan diimplementasikan ke seluruh organisasi, proses dan sistem. Semua pelaku bisnis harus memiliki pemahaman yang sama terhadap Business Model sehingga diperlukan sebuah konsep yang dapat memberikan satu gambaran standar. Konsep ini harus simple, relevan dan mudah dipahami secara intuitif. 

Konsep inilah yang diberi nama 9 Building Blocks. Konsep ini sendiri telah diaplikasikan dan diuji coba di seluruh dunia dan telah digunakan di beberapa organisasi, seperti IBM, Ericsson, Deloitte, the Public Works and Government Services of Canada dan banyak lagi.


9 Building Blocks

9 Building Block adalah konsep yang dapat mendeskripsikan dan menunjukkan logika bagaimana sebuah perusahaan menghasilkan pendapatan (make money). 9 Building Block mencakup empat area utama dalam bisnis, yaitu Customers, Offer, Infrastructure dan Financial Viability. Konsep ini dapat menjadi satu bahasa bersama yang memudahkan kita untuk mendeskripsikan dan memanipulasi Business Model untuk membuat strategi baru.


9 Elemen dalam 9 Building Blocks adalah:

  1. Customer Segments (CS)
  2. Value Propositions (VP)
  3. Channels (CH)
  4. Customer Relationship (CR)
  5. Revenue Streams (RS)
  6. Key Resources (KR)
  7. Key Activities (KA)
  8. Key Partnership (KP)
  9. Cost Structure (CS)

Berikut adalah penjelasan lebih lanjut mengenai 9 Building Blocks.

1. Customer Segments (CS)

Customer Segments menunjukkan sekelompok orang atau organisasi berbeda, yang ingin digapai atau dilayani perusahaan. Customer adalah inti dari semua Business Model. Tanpa (profitable) customer, perusahaan tidak akan mampu bertahan lama. Untuk lebih memuaskan customer, perusahaan perlu mengelompokkan mereka ke dalam segmen yang berbeda berdasarkan kebutuhan, behaviour atau atribut yang lain. Perusahaan harus mendefinisikan dengan jelas, mana segmen customer yang perlu dilayani, mana yang perlu dihindari.

Kelompok Customer merepresentasikan segmen yang berbeda jika:

  • Mereka membutuhkan penawaran yang berbeda.
  • Mereka dapat digapai melalui Distribution Channel yang berbeda.
  • Mereka memerlukan jenis relationship yang berbeda.
  • Mereka memiliki profitabilitas yang berbeda.
  • Mereka mau membayar aspek yang berbeda dari sebuah penawaran.
  • Beberapa contoh segmen customer yang berbeda adalah mass market, niche market, segmented, diversified, multi-sided platforms.


2. Value Propositions (VP)

Value Proposition mendeskripsikan sejumlah produk atau layanan yang memberikan nilai (value) untuk segmen customer yang spesifik. Value Proposition adalah alasan mengapa customer berpindah dari satu perusahaan ke perusahaan yang lain. Value Proposition memecahkan permasalahan customer atau memenuhi kebutuhannya. Value Proposition dapat bersifat inovatif serta merepresentasikan penawaran yang baru dan disruptive, atau bersifat sama atau sejenis dengan yang sudah ada namun dengan beberapa tambahan fitur atau atribut.

Value yang diberikan perusahaan contohnya adalah newness, performance, customization, “getting the job done”, design, brand/status, price, cost reduction, risk reduction, accessibility, convenience/usability.


3. Channels (CH)

Channels mendeskripsikan bagaimana perusahaan berkomunikasi dan menggapai segmen customer mereka untuk men-deliver Value Proposition. Komunikasi, distribusi dan penjualan merupakan interface antara perusahaan dan pelanggan. Channels adalah customer touch point yang memainkan peran penting dalam customer experience.

Channels memiliki beberapa fungsi, yaitu:

  • Meningkatkan awareness dari customer terhadap produk atau jasa perusahaan.
  • Membantu customer untuk mengevaluasi Value Proposition dari perusahaan.
  • Memudahkan customer untuk membeli produk atau jasa.
  • Men-deliver Value Proposition kepada customer.
  • Menyediakan dukungan pelanggan (after-sales).

Channels dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu Direct (tenaga penjual/sales, website, toko pribadi) dan Indirect (partner stores, wholesaler).

Channels dapat dibedakan menjadi 5 fase, yaitu Awareness, Evaluation, Purchase, Delivery, After Sales.


4. Customer Relationship (CR)

Customer Relationship mendeskripsikan jenis relasi yang dibangun perusahaan dengan pelanggan. Perusahaan harus menentukan jenis relasi dengan pelanggan, apakah personal atau automated. Relasi yang dipilih akan sangat menentukan bagaimana customer experience yang akan dihasilkan.

Contoh dari Customer Relationship adalah personal assistance, dedicated personal assistance, self-service, automated service, communities, co-creation.


5. Revenue Streams

Revenue Streams merepresentasikan cash yang di-generate dari tiap Customer Segment (biaya harus dikurangi dari pendapatan/revenue untuk mendapatkan nilai keuntungan). Perusahaan harus mengetahui value apa yang membuat Customer Segment mau membayar. Tiap-tiap Revenue Stream dapat memiliki mekanisme pricing yang berbeda, seperti fixed list, tawar-menawar, lelang, market-dependent, volume-dependent dan yield management.

Sebuah Business Model dapat memiliki dua jenis Revenue Stream yang berbeda, yaitu:

  • Revenue transaksi yang dihasilkan dari one-time customer payments
  • Revenue berulang yang dihasilkan dari pembayaran terus-menerus untuk sebuah Value Proposition atau after sales customer support.
  • Beberapa cara untuk menghasilkan Revenue Stream adalah Asset sale, Usage fee, Subscription fee, Lending/Renting/Leasing, Licensing, Brokerage fees, Advertising


6. Key Resources

Key Resources mendeskripsikan aset atau sumber daya yang sangat penting (aset kunci) yang diperlukan untuk membuat sebuah Business Model berjalan. Sumber daya ini memungkinkan perusahaan untuk membuat dan menawarkan Value Proposition, menggapai pasar, me-maintain hubungan dengan Customer Segments dan mendapatkan revenue. Tiap-tiap Business Model akan memerlukan Key Resources yang berbeda. Key Resources dapat berbentuk fisikal, finansial, intelektual atau manusia. Key Resources dapat dimiliki atau disewa oleh perusahaan atau didapatkan dari partner.

Contoh dari Key Resources adalah mesin, bangunan, brand, paten, hak cipta, human resource, uang dan lain-lain.


7. Key Activities

Key Activities mendeskripsikan  hal-hal penting (aktivitas) yang harus dilakukan perusahaan agar  Business Model-nya berjalan. Key Activities dapat dikategorikan menjadi Production, Problem Solving dan Platform/Network.

Contoh dari Key Activities adalah perusahaan konsultan memiliki problem solving sebagai Key Activities-nya. Untuk manufaktur, supply chain management adalah salah satu Key Activities-nya.


8. Key Partnerships

Key Partnership mendeskripsikan jaringan supplier atau partner yang membuat sebuah Business Model berjalan. Perusahaan membentuk relasi dengan partner untuk banyak alasan sehingga partnership menjadi hal yang sangat penting bagi banyak Business Model. Perusahaan membentuk aliansi untuk mengoptimalkan Business Model-nya, mengurangi resiko atau mendapatkan sumber daya tertentu.

Partnerships dapat dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu:

  • Strategic Alliances antara dua perusahaan yang bukan kompetitor.
  • Cooperation, yaitu strategic partnership antara kompetitor.
  • Joint Ventures untuk membangun bisnis baru.
  • Buyer-Supplier relationship untuk menjamin supply yang handal.

Alasan dan motivasi untuk membangun partnership dapat dibedakan menjadi 3, yaitu:

  • Optimization and economy of scale.
  • Reduction of risk and uncertainty.
  • Acquisition of particular resources and activities.


9. Cost Structure

Cost Structure mendeskripsikan semua biaya yang muncul untuk menjalankan sebuah Business Model. Biaya akan muncul ketika perusahaan membuat dan men-deliver value, me-maintain Customer Relationship dan lain-lain. Biaya-biaya tersebut akan mudah diidentifikasi setelah mendefinisikan Key Resources, Key Activities dan Key Partnership.

Secara garis besar, perusahaan dapat memilih apakah ingin menjadi cost-driven (mengutamakan penekanan biaya) atau value-driven (mengutamakan keunggulan produk). Cost Structure dapat memiliki beberapa karakteristik, seperti fixed cost, variable cost, economies of scale, economies of scope.


Sumber :

https://ipqi.org/apakah-business-model-itu/

Business Plan dengan BMC

Apa itu Business Model Canvas

Mengenal penggunaan business model canvas dalam merancang dan menganalisis model bisnis yang tepat untuk Startup Anda beserta contoh dan template.

Pada dasarnya BMC (Business Model Canvas) adalah kerangka kerja yang bertujuan mempermudah mempresentasikan business model. BMC terdiri dari 3 unsur utama yaitu Product yang ada disebelah kiri, Value, dan Market yang ada disebelah kanan.

Kenapa Menggunakan Business Model Canvas?

  • Easy to visualize : BMC ini memang digunakan untuk memvisualkan suatu bisnis, dengan memilahkannya ke-9 blok.
  • Easy to understand : BMC juga mempermudah teman-teman untuk memahami bisnis dari teman-teman sebelum membaca business plan yang bisa berlembar-lembar.


Product:

Pada bagian ini, terdiri dari hal-hal yang berkaitan dengan bagaimana produk/layanan itu dibuat, hal-hal apa saja yang dilakukan akan produk/layanan itu berjalan, biaya apa saja yang dikeluarkan, dan siapa saja pihak yang bekerja sama?

Key partners

Key partners adalah pihak-pihak eksternal yang dibutuhkan dalam menjalankan key activities. Hal ini bertujuan untuk mengoptimasi operasi dan risiko bisnis. Salah satu contoh Key partners adalah supplier.


Key Resources

Key Resouces merupakan kompenen yang berisi apa apa saja yang dibutuhkan agar suatu organisasi dapat bekerja. Contohnya human resources, kantor, tools, dsb. Fungsi dari key resources agar Key Activities dapat berjalan dengan baik. Resources ini dapat dimiliki oleh perusahaan ataupun pinjaman dari Key Partners. Jika dimiliki oleh perusahaan, tentunya resouces yang yang dimiliki ini akan masuk kedalam Cost Structure, dimana perusahaan tersebut harus mulai menghitung biaya yang harus dikeluarkan untuk memiliki resources tersebut.

Semisal, human resources (jika softdev, seperti engineer, developer, dsb), hosting, komputer, kantor, dsb.


Key Activities

Key Activities adalah aktivitas/kegiatan dari suatu perusahaan yang dilakukan sebagai eksekusi dari value proposition yang diberikan.


Cost Structure

Cost Structure berisi tentang biaya yang dikeluarkan dari suatu perusahaan ketika mengeksekusi business model-nya.

Semisal, biaya pemasaran, biaya sumber daya manusia, biaya asuransi produk, biaya penyewaan alat/tempat, dsb.


Value Proposition 

adalah solusi yang ingin diberikan kepada customer. Value Proposition ini harus memenuhi apa yang dibutuhkan oleh konsumen.

Value proposition ini yang membuat suatu startup menjadi menarik dan menjadi alasan suatu customer berpindah dari perusahaan satu ke lainnya. Selain itu, value proposition bisa saja berubah dengan adanya feedback dari customer.


Market

Pada bagian ini, berkaitan dengan siapa pengguna dari produk tersebut? bagaimana produk tersebut bisa sampai ke tangan konsumen? Bagaimana mendapatkan uang dari konsumen? Bagaimana menjaga konsumen tetap pada produk kita?


Customer Relationship

Hal ini mendeskripsikan tentang hubungan perusahaan tersebut dengan pelanggannya. Pada bagian ini, bagaimana cara kita untuk membuat customer tetap menggunakan produk kita.


Channels

Channels mendeskripsikan bagaimana sebuah produk bisa sampai hingga pelanggan .

Semisal, dengan menggunakan media sosial, PR


Customer Segments

Perusahaan harus menentukan customer yang dituju atau dapat juga disebut segmentasi konsumen. Customer digolongkan berdasarkan kemampuan, kebiasaan, kebutuhan, dll.

Beberapa hal yang bisa membantu Anda menentukan customer segments:

  • Siapa yang akan anda selesaikan masalahnya?
  • Apa karakteristik dari orang tersebut?
  • Berapa umurnya?
  • Apa pekerjaannya?

Dalam menentukan ini, pastikan Anda harus mengukur market size nya. Apakah cukup besar atau malah terlalu kecil.


Revenue Streams

Revenue Streams merupakan kompenen yang berisi bagaimana perusahaan tersebut mendapatkan uang. Revenue streams menurut target nya terbagi menjadi tiga; business to business, business to customer, dan business to government.

Menurut sifatnya terbagi menjadi tiga; transaction model, subscription model, dan monetizing model.


Sumber :

https://medium.com/abpincubator/apa-itu-business-model-canvas-bmc101-81893bfd0e08

BMC

Business Model Canvas

Sembilan blok model bisnis, Osterwalder, Pigneur & al. 2010

Business Model Canvas (BMC) ialah suatu kerangka kerja yang membahas model bisnis dengan disajikan dalam bentuk visual berupa kanvas lukisan, agar dapat dimengerti dan dipahami dengan mudah. Model ini digunakan untuk menjelaskan, memvisualisasikan, menilai, dan mengubah suatu model bisnis, agar mampu menghasilkan kinerja yang lebih optimal.


BMC dapat digunakan untuk semua lini bisnis tanpa terbatas sektor usahanya. BMC sangat membantu untuk mempercepat proses analisis kekuatan dan kekurangan bisnis. Dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan, maka analisis kebutuhan dan profit dapat dilakukan dengan cepat.


Business Model Canvas dapat menjelaskan hubungan sembilan elemen model bisnis yang digambarkan secara visual, sehingga inovasi yang dibuat pada model bisnis perusahaan akan lebih mudah dipahami dan dimengerti. Walaupun ada beberapa versi, kira-kira secara garis besar sebagai berikut:[2]


Offering

  • Value Proposition : Dalam bisnis selalu ada produk atau jasa yang akan ditawarkan. Dalam blok area Value Proposition mencakup produk atau layanan apa yang ditawarkan untuk calon customer.

Customer

  • Customer Segments : Customer Segments menjadi blok area yang paling utama karena dari pelanggan-lah kita akan mendapatkan pemasukan.
  • Channels : Channels merupakan sarana untuk menyampaikan nilai atau manfaat dari produk kepada customer segment.
  • Customer Relationship : Di dalam lingkup ini yang dinilai adalah bagaimana menjalin hubungan dengan pelanggan. Agar pelanggan tidak mudah berpaling ke bisnis yang lain, maka sangat penting untuk menjalin hubungan yang baik. Selain itu, diperlukan juga pengawasan yang ketat dan intensif.

Infrastructure

  • Key activities : Key activities mencakup segala aktivitas yang harus dilakukan seorang pelaku bisnis untuk menghasilkan produk atau layanan yang baik dan memuaskan. Yang termasuk dalam lingkup ini adalah branding, packaging, pasaran internet dan lainnya.
  • Key Resources : Yang termasuk dalam area Key Resources adalah berbagai sumber daya yang dimiliki pebisnis atau organisasi untuk mewujudkan proposisi nilai seperti manusia, brand, peralatan, dan teknologi.
  • Key Partnership : Key Partnership berisi pihak-pihak yang menjadi penentu terhadap jalannya suatu bisnis. Key Partnership mempengaruhi suksesnya suatu bisnis. Bisnis yang baik tidak hanya mampu menjalin hubungan dengan para pelanggan saja, tapi juga dengan pihak yang bersangkutan lainnya seperti pemasok dan tim pemasaran.

Finance

  • Revenue Stream : Model bisnis kanvas adalah mencakup langkah-langkah yang harus dikuasai oleh seorang pebisnis. Seperti pemanfaatan biaya iklan, langganan, penjualan retail, lisensi, dan sebagainya.
  • Cost Structure : Meliputi biaya-biaya apa saja yang harus dikeluarkan untuk membentuk, memproduksi dan memasarkan produk atau layanan bisnis. Dengan pengelolaan biaya yang benar, bisnis yang kita jalankan akan menjadi lebih efisien, hemat dan meminimalkan risiko kerugian.


Sumber :

https://id.wikipedia.org/wiki/Business_Model_Canvas

Elemen Dalam Bisnis Model Kanvas

9 Elemen yang Harus Ada Dalam Bisnis Model Kanvas

Business Model Canvas (BMC) adalah kerangka kerja yang dikenal banyak untuk mendefinisikan model bisnis startup. Business Model Kanvas disusun dengan tujuan untuk menjelaskan, menilai, memvisualisasikan, serta mengubah model bisnis sehingga kinerja yang dihasilkan oleh startup lebih maksimal. Model bisnis ini bisa diterapkan oleh semua jenis startup tanpa terbatas sektor usaha.


Bisnis model kanvas adalah sebuah strategi dalam manajemen yang berupa visual chart yang terdiri dari 9 elemen. Model bisnis ini pertama kali diperkenalkan oleh Alexander Osterwalder dalam bukunya yang berjudul Business Model Generation. Dalam buku tersebut, Alexander mencoba menjelaskan sebuah framework sederhana untuk mempresentasikan elemen-elemen penting yang terdapat dalam sebuah model bisnis. Jika dilihat sepintas, sebenarnya alur model bisnis kanvas nampak cukup sederhana. Secara garis besar, alurnya mengalir dari satu elemen bisnis menuju elemen penting berikutnya. 

Berikut adalah sembilan elemen yang terdapat dalam bisnis model kanvas.

1. Customer Segments (Segmentasi Konsumen)

Elemen pertama yang harus Anda miliki dalam memulai bisnis model kanvas ini adalah menentukan segmen pelanggan mana yang akan menjadi target bisnis. Misalnya, suatu maskapai penerbangan mengeluarkan 2 produk untuk memenuhi kebutuhan 2 segmen pelanggan yang berbeda, atau ada 2 stasiun televisi yang menyajikan 2 acara berbeda untuk memenuhi segmen pelanggan yang berbeda.


2. Value Proposition (Proposisis Nilai Konsumen)

Ini adalah sekat yang merupakan keunggulan produk, apa saja sesungguhnya poin-poin yang dapat mendatangkan manfaat yang ditawarkan perusahaan bagi customer segment-nya. Hal ini menjadi kesempatan bagi Anda untuk menjabarkan kekuatan dan keunggulan yang membedakan bisnis Anda dengan bisnis yang lain.


3. Channels (Saluran)

Channel atau saluran adalah bagaimana Anda bisa menyampaikan produk Anda sampai hingga kepada konsumen.

Melalui penggunaan channels yang tepat, Anda baru bisa menyampaikan value propositions kepada customer segments. Jadi, cobalah pikirkan channels yang ingin Anda gunakan dengan baik, karena penentuan channels adalah salah satu elemen penting bagi keberhasilan sebuah  bisnis.


4. Revenue Streams (Sumber Pendapatan)

Revenue stream merupakan bagian yang paling vital, di mana organisasi memperoleh pendapatan dari pelanggan. Elemen ini harus dikelola semaksimal mungkin untuk meningkatkan pendapatan bisnis. Jangan sampai ada bahan baku, produk, atau kinerja yang tidak dimanfaatkan secara maksimal.


5. Key Resource (Sumber Daya)

Key resource adalah sekat dalam bisnis model kanvas yang berisikan daftar sumber daya yang sebaiknya direncanakan dan dimiliki perusahaan untuk mewujudkan value proposition mereka. Semua jenis sumber daya, mulai dari pengelolaan bahan baku, penataan sumber daya manusia, dan penataan proses operasional menjadi perhatian dalam membuat model bisnis.


6. Customer Relationship (Hubungan Konsumen)

Ini merupakan elemen di mana perusahaan menjalin ikatan dengan pelanggannya. Perlu pengawasan yang ketat dan intensif agar pelanggan tidak mudah berpaling ke bisnis yang lain hanya karena jalinan hubungan yang kurang baik.


7. Key Activities (Aktivitas yang Dijalankan)

Key activities adalah semua aktivitas yang berhubungan dengan produktivitas bisnis yang berkaitan dengan sebuah produk, di mana kegiatan utamanya adalah menghasilkan proposisi nilai.


8. Key Partnership (Kerjasama)

Elemen ini berfungsi untuk pengorganisasian aliran suatu barang atau layanan lainnya. Posisi-posisi partner kunci tersebut bermanfaat untuk efisiensi dan efektivitas dari key activites yang telah dibuat. Tak ada salahnya menjalin hubungan baik untuk menciptakan siklus bisnis sesuai dengan ekspektasi.


9. Cost Structure (Struktur Biaya)

Elemen terakhir yang tak kalah pentingnya dengan kedelapan elemen lainnya adalah struktur pembiayaan bisnis. Mengelola biaya secara efisien akan membuat bisnis yang dijalani menjadi lebih hemat dan bisa meminimalkan risiko kerugian. Hal ini juga dapat menentukan proposisi nilai yang tepat untuk pelanggan.

Pada elemen terakhir ini, tentu dibutuhkan laporan keuangan yang tepat.


Sumber :

https://www.jurnal.id/id/blog/2018-memahami-tentang-bisnis-model-kanvas/

Bisnis Model Kanvas

Bisnis Teratur Menggunakan Bisnis Model Kanvas


Apa itu Bisnis Model Kanvas ?

ialah suatu kerangka kerja yang membahas model bisnis dengan disajikan dalam bentuk visual berupa kanvas lukisan, agar dapat dimengerti dan dipahami dengan mudah. Model ini digunakan untuk menjelaskan, memvisualisasikan, menilai, dan mengubah suatu model bisnis, agar mampu menghasilkan kinerja yang lebih optimal 


Lalu Kenapa Harus Menggunakan Model Kanvas ?

Easy to visualize , BMC ini memang digunakan untuk memvisualkan suatu bisnis, dengan memilahkannya ke-9 blok.

Easy to understand , BMC juga mempermudah teman-teman untuk memahami bisnis dari teman-teman sebelum membaca business plan yang bisa berlembar-lembar.

Berikut Penjelasan Mengenai 9 Blok Bisnis Model Kanvas

1. KEY PARTNER

Key partners adalah pihak-pihak eksternal yang dibutuhkan dalam menjalankan key activities. Hal ini bertujuan untuk mengoptimasi operasi dan risiko bisnis. Salah satu contoh Key partners adalah supplier.


2. KEY ACTIVITIES

Key Activities adalah aktivitas/kegiatan dari suatu perusahaan yang dilakukan sebagai eksekusi dari value proposition yang diberikan.


3. VALUE PROPOSITION

adalah solusi yang ingin diberikan kepada customer. Value Proposition ini harus memenuhi apa yang dibutuhkan oleh konsumen.

Value proposition ini yang membuat suatu startup menjadi menarik dan menjadi alasan suatu customer berpindah dari perusahaan satu ke lainnya. Selain itu, value proposition bisa saja berubah dengan adanya feedback dari customer.


4. CUSTOMER RELATIONSHIP

Hal ini mendeskripsikan tentang hubungan perusahaan tersebut dengan pelanggannya. Pada bagian ini, bagaimana cara kita untuk membuat customer tetap menggunakan produk kita.


5. CUSTOMER SEGMENT

Perusahaan harus menentukan customer yang dituju atau dapat juga disebut segmentasi konsumen. Customer digolongkan berdasarkan kemampuan, kebiasaan, kebutuhan, dll.

Beberapa hal yang bisa membantu Anda menentukan customer segments:

  • Siapa yang akan anda selesaikan masalahnya?
  • Apa karakteristik dari orang tersebut?
  • Berapa umurnya?
  • Apa pekerjaannya?

Dalam menentukan ini, pastikan Anda harus mengukur market size nya. Apakah cukup besar atau malah terlalu kecil.


6. KEY RESOURCE

Key Resouces merupakan kompenen yang berisi apa apa saja yang dibutuhkan agar suatu organisasi dapat bekerja. Contohnya human resources, kantor, tools, dsb. Fungsi dari key resources agar Key Activities dapat berjalan dengan baik. Resources ini dapat dimiliki oleh perusahaan ataupun pinjaman dari Key Partners. Jika dimiliki oleh perusahaan, tentunya resouces yang yang dimiliki ini akan masuk kedalam Cost Structure, dimana perusahaan tersebut harus mulai menghitung biaya yang harus dikeluarkan untuk memiliki resources tersebut.


Semisal, human resources (jika softdev, seperti engineer, developer, dsb), hosting, komputer, kantor, dsb.


7.CHANNELS

Channels mendeskripsikan bagaimana sebuah produk bisa sampai hingga pelanggan .

Semisal, dengan menggunakan media sosial, PR


8.COST

Cost Structure berisi tentang biaya yang dikeluarkan dari suatu perusahaan ketika mengeksekusi business model-nya.

Semisal, biaya pemasaran, biaya sumber daya manusia, biaya asuransi produk, biaya penyewaan alat/tempat, dsb.


9.REVENUE STREAM

Revenue Streams merupakan kompenen yang berisi bagaimana perusahaan tersebut mendapatkan uang. Revenue streams menurut target nya terbagi menjadi tiga; business to business, business to customer, dan business to government.


Sumber :

https://investasipintar.com/2019/10/03/bisnis-teratur-menggunakan-bisnis-model-kanvas/

Tuesday, October 6, 2020

The Minimum Viable Nerve Center

Responding to coronavirus: The minimum viable nerve center

March 16, 2020 | Article

By Mihir Mysore and Ophelia Usher


Amid the coronavirus pandemic, companies need a crisis response coordinated by top management that gives experts and managers the autonomy to implement creative, pragmatic solutions.

The COVID-19 outbreak, caused by the coronavirus (SARS-CoV-2), is a deep humanitarian crisis that has also gravely affected the global economy. It is posing difficult—even unprecedented—challenges for business leaders. They are finding that the fast-moving situation is impervious to familiar remedial actions. By the time a response is mounted, the situation has changed, and the scale, speed, and impact of issues have unexpectedly intensified. Leaders everywhere have experienced some form of such disruption, though the magnitude of the present crisis is trying the lessons of human experience. The struggle to avoid ineffective, reactive approaches has consequently been all the more difficult.


Mihir Mysore on nerve centers

Together with many leading companies, we have developed a better approach—a flexible structure for guiding the work—called the integrated nerve center. In an unfamiliar crisis, such as the COVID-19 outbreak, the nerve center concentrates crucial leadership skills and organizational capabilities and gives leaders the best chance of getting ahead of events rather than reacting to them.

The integrated nerve center is not a formulaic panacea. It is, rather, an efficient means of coordinating an organization’s active response to a major crisis. It is endowed with enterprise-wide authority and enables leaders and experts to test approaches quickly, preserve and deepen the most effective solutions, and move on ahead of the changing environment. In hundreds of discussions conducted in the past few weeks, we have looked at the efforts of many companies now in the process of building COVID-19 nerve centers. We feel that the insights of this common experience are of wide and pressing importance.

In an unfamiliar crisis, the nerve center concentrates crucial leadership skills and organizational capabilities and gives leaders the best chance of getting ahead of events rather than reacting to them.


Discover, decide, design, deliver: Lessons from past crises

Common crisis-management failures arise according to the demands of the crisis, which can be understood in a fourfold manner. The first task of crisis management is to discover the current situation and form an accurate view of how it might evolve, deriving implications for the organization. From discovery, leaders must move on to decide on and design the necessary immediate and strategic actions, speedily establishing a pragmatic, flexible operating model. This model is ideally based on adequate stress testing of contextualized hypotheses and scenarios. It should also adhere to company and societal values. Finally, companies must deliver the solutions in a disciplined and efficient way, with enough built-in flexibility to accommodate late pivotal changes. In real crises, things go awry in each of these four categories:

Inadequate discovery. This is a failure to invest in an accurate, full determination of the depth, extent, and velocity of the crisis. Companies typically reflect an optimist bias in initial assessments, for example, and then in subsequent reassessments as well. Eventually the false hopes embodied in these inaccurate assessments become obviously insupportable, at which point, however, the crisis has worsened, and much valuable time and resources have been wasted.

Poor decision making. Most poorly handled crises are defined by poor decision making. Bad decisions can result from many causes, such as acting on incomplete information (action bias). In our experience, reluctance to act until “all the facts are in” is a more common fallacy. The tendency for decision makers to analogize a new and unfamiliar situation to past experience (pattern recognition) is another serious pitfall. Groupthink and political pressure commonly lead decision makers astray. Reputations—and sometimes, compensatory incentives—are often at stake in large, expensive projects. Consequently, undue pressure can be exerted to push through an unforeseen problem whose resolution is disregarded or seen as insufficiently important to revise timelines and budgets. Relatively minor arising technical issues can, by this dynamic, become major problems and even lead to catastrophic failures.

Constrained solution design. Many crises have one or more technical causes—the problem in itself—that must be addressed with tailored solutions. These solutions must be either newly invented or imported to a new domain. Responding organizations must not allow themselves to be constrained by poor or inadequate solution designs. The immediate technical solution for diagnosing COVID-19—the starting point for treatment solutions—is the effective test. A type of test known as polymerase-chain-reaction (PCR) testing, developed in China, Europe, and South Korea for the disease, has become the standard for effective testing and is now being produced at scale around the world. The test was first produced in Germany in January 2020, not long after COVID-19 appeared in China. Yet in the United States, the presence of an ineffective test delayed the adoption of the effective one for a crucial early period in the spread of the virus.

Delivery failure. For anyone with actual experience in handling a crisis, execution failure is a constant risk. Small contingent (random) failures can cause larger failures of the most well-thought-out plans. Faulty solutions can command undue loyalty from managers suffering from “operations addiction”: instead of recognizing the root problem, responsible parties look for patches to preserve the flawed response. Chaotic conditions will necessarily cause disruptions, but the presence of accountable leaders with good judgment and the freedom to act and improvise as needed can minimize execution delays and failures.

Responding organizations must not allow themselves to be constrained by poor or inadequate solution designs.


The COVID-19-response structure

The nerve center is designed to resolve these four challenges under the heavy pressures of a major crisis. Certainly, companies and institutions are facing such a crisis with the COVID-19 outbreak, which has triggered travel restrictions, border closings, supply-chain disruptions, and work stoppages across the globe. The exhibit shows one example of a COVID-19-response structure.


Exhibit

We strive to provide individuals with disabilities equal access to our website. If you would like information about this content we will be happy to work with you. Please email us at: McKinsey_Website_Accessibility@mckinsey.com

In this example, the nerve-center structure is organized around five teams, each responsible for a number of work streams. It is designed as an agile structure, coordinated through an integration team, but there is enough autonomy of action granted to constituent team leaders to work through bottlenecks and keep the response moving.


Nerve-center integration team

The nerve-center integration team is the coordinating head of the larger nerve-center structure. Its purpose is to set the overall tone of the COVID-19-response work, acting as a single source of truth, in real time, for all information and actions related to the outbreak and response. It must maintain close two-way communication with all teams. It is headed by a senior C-suite leader and includes an epidemiological expert, a project coordinator, and a scenario-planning analyst. The organization should empower this team to command whatever resources it deems are necessary to integrate closely and accomplish the work of the other four teams. The team’s responsibilities can be summarized as follows:

  • acting as the single source of truth for issue resolution
  • ensuring that sufficient resources are deployed where and when needed
  • coordinating the portfolio of remedial actions across the work streams of all teams, based on scenarios and triggers
  • aligning team leaders on scenarios, with the help of roundtables and other exercises as needed


Workforce protection

For most organizations, business as usual cannot be expected to reign during the COVID-19 outbreak. Organizations need to develop a plan to support employees that is consistent with conservative health and safety guidelines. The plan must be flexible enough to accommodate policy changes as needed through the outbreak. It is useful for companies to compare their efforts in this domain with the actions that other organizations of similar size are taking, to determine the right policies and levels of support for their people.

The most helpful workforce-protection models provide clear, simple language to local managers on how to deal with COVID-19 that is consistent with the guidelines provided by WHO, national health organizations (such as the US Centers for Disease Control and Prevention), and local health agencies. The model should provide managers with a degree of autonomy sufficient to allow them to deal with any quickly evolving situation. Free two-way communication is also important so that managers can monitor adherence to policies as they evolve and employees can safely express their reservations about personal safety, as well as any other concerns.

The recommended workforce-protection team includes the head of HR (team leader); the HR full-time leader; representatives from security, legal, and employee communications; and the ombudsperson. The workforce-protection team is charged with the following work streams:

  • developing brief policy papers, issue-escalation criteria and call trees, and actions (including preventative actions), as needed
  • managing multichannel communications, including confidential feedback and reporting channels
  • aligning policies and incentives for third-party and real-estate contractors
  • establishing or maintaining communications platforms to enable employees to work from home (necessary infrastructure includes a virtual private network, telephony, and broadband readiness), including, as appropriate, deployment of collaborative software tools to enable video and audio conferencing, screen sharing, “whiteboarding,” polling, chat, and other interactive capabilities
  • helping manage productivity, using such means as staggered work times; respecting social-distancing norms; and instituting health checks
  • developing “issue maps” and clear ownership and deadlines for issue resolution
  • engaging with local, state, and national political leaders and health officials


Supply-chain stabilization

Companies need to define the extent and likely duration of their supply-chain (including tier-one, -two, and -three suppliers) exposure to areas that are experiencing community transmission and their inventory levels. Most companies are now primarily focused on immediate stabilization, given that, in China (where few new COVID-19 cases are being reported), most plants are now restarting. In addition to supporting supplier restarts, companies should explore bridging strategies, including supply rationing, prebooking logistics capacity (shipping, rail, and airfreight), using after-sales stock, and gaining higher-priority status from suppliers. Companies should plan to manage supply for products that may be subject to unusual spikes in demand as they come back on line. In some cases, longer-term stabilization strategies may be necessary. Here, companies will have to use updated demand planning, optimize their networks further, and identify new suppliers. These approaches may be generally warranted to ensure enduring supply-chain resilience against risks beyond COVID-19, once the crisis is over.

The supply-chain-stabilization team will include the head of procurement (team leader), the procurement manager, a supply-chain analyst, the regional supply-chain managers, and the logistics manager. This team will manage four work streams:

  • ensuring risk transparency across tier-one, -two, and -three suppliers; supporting supplier restarts; managing orders; and ensuring the qualifications of new suppliers
  • managing ports, prebooking logistics capacity, and optimizing routes
  • identifying critical parts, rationing parts as needed, and optimizing locations
  • developing scenario-based sales and operations planning for SKU-level demand and managing the planning for production and sourcing


Customer engagement

Companies that truly navigate through disruptions often succeed because they invest in their core customer segments and anticipate those segments’ needs and actions. In China today, for example, while consumer demand is down, it has not disappeared—far from it. People have dramatically shifted toward online shopping and ordering for all types of goods, including for food and produce delivery. Companies should invest more in online channels as part of their push for multichannel distribution. The investment should include ensuring the quality and delivery of goods sold online. Keep in mind, too, that changing customer preferences may not return to preoutbreak norms.

The customer-engagement team will include the head of sales and marketing (team leader), a financial analyst, and managers for customer communications, customer incentives, and SKUs. The customer-engagement team will manage three work streams:

  • communicating to B2B customers (through a dedicated site) and developing scenario-based risk communications
  • intervening as needed across the customer journey to prevent leakage, training customer-facing employees, and monitoring customer-service execution
  • developing customer communications about COVID-19 situations and practices, as well as fact-based reports on COVID-19-related issues


Financials stress testing

Companies need to develop business scenarios tailored to their own contexts. Experts using analytics can define the values for the critical variables that will affect revenue and cost. Companies should model their financials (cash flow, profit and loss, and balance sheet) in each scenario and identify triggers that might significantly impair liquidity. For each trigger in each scenario, companies should define moves to stabilize the organization. Such moves could include optimizing accounts payable and receivable, cost-reduction measures, and divestment or M&A actions.

The financials-stress-testing team will include the CFO (team leader), the leader of strategy or business development, the leader of treasury, a representative from legal, and one or more financial analysts. The team will manage two work streams:

  • developing relevant scenarios based on the latest epidemiological and economic outlooks
  • assembling relevant financials data according to different scenarios, especially working-capital requirements


Getting started quickly: The minimal viable nerve center

A common pitfall in nerve-center design is needless complexity. A good way of avoiding this is to aim at a minimal viable nerve center. Companies taking this approach quickly assemble the bare essentials needed to get operations up and running. The core nerve-center group, which might include all the team heads, will shape the structure, as needed, as the crisis evolves. Experience points to four essential elements that should be put in place right away.


Nerve-center organization

The teams need to be staffed quickly, with individual roles, responsibilities, and accountabilities made clear. Flexibility will be an important principle, since roles will change over time, sometimes quite rapidly. Also important is that nerve-center leaders be authorized to make timely decisions, sometimes without the opportunity to syndicate with other leaders.


Operating cadence

Meetings should be limited to those in which vital deliberations are conducted and actions decided on. They should, however, be frequent enough to foster collaboration. Ensure that meetings address essential topics and elicit the best thinking for the relevant work streams. The responsible members for each work stream should have the opportunity to seek input from the coordinating leaders. Solutions should be tested and decisions made to commit to effective methods and set aside ineffective ones. Select meeting attendees with care: Meetings of only senior leaders tend to encourage purely upward reporting rather than constructive debate and real problem solving. Meetings with too many frontline managers and individual contributors can become overly focused on tactical issues rather than the central problems. The difficulty of a high-quality operating cadence lies in maintaining a basic underlying structure and then allowing flexibility so that the organization can pivot when it needs to.


Issue identification

The nerve center will first identify the critical issues present in each work stream, with the expectation that these will evolve over time. Issues should be described in an issue map for risks and threats. In their totality, these maps will represent the core problem statement for the crisis situation and allow the group to articulate and address the challenges clearly and relatively quickly. The mapping can be divided between immediate, addressable risks and unforeseen, arising threats. Risk maps can be longer and more comprehensive; threat maps, however, can address the biggest issues—those that could drive significant disruption as the crisis continues.

Some known COVID-19 risks, such as those posed to traveling employees, could be readily addressed with policies (such as travel restrictions). Unforeseen threats that could arise as the crisis continues can be anticipated in “premortem” workshops. Nerve-center teams therein work out possible responses—ones to take if, for example, a sudden gap should open in the supply chain because of policies imposed beyond the company’s control.

Once companies establish a good understanding of the critical issues across all work streams, they will find it helpful to run financial calculations (balance sheet, cash flow, and profit and loss) on issues and responses. This will project scenarios for particular issues, allowing companies to form views on issue likelihood, timing, and magnitude.


Response plan

Leaders can find it extremely difficult to craft sensible goals during a crisis. Many trade-offs usually have to be made between ideal outcomes and the many real constraints the organization faces. Once more realistic goals reflecting the trade-offs are arrived at, they can be assigned a few milestones and key performance indicators (KPIs) so that progress toward them can be tracked in simple ways.


Additional elements

A few other elements can become helpful as the nerve center evolves. For the COVID-19 crisis, these could include common operating pictures, giving a single view on the current status of the response; KPI dashboards, to confirm whether or not hoped-for outcomes are being achieved; and listening posts, which are early-warning indicators that can point out forthcoming changes in the trajectory of a crisis.


The cultural challenge

The hard truth about effective business leadership is that leaders operate within powerful cultural and social contexts. The largest organizations, with hundreds of thousands of employees, might appear, in normal business conditions, to operate according to a command-and-control structure. The reality is more complex. While large organizations use many top-down, pyramid-like structures and processes, these work only when outcomes are predictable. On the other hand, routinized ways of working impede the creativity and flexibility that organizations need to respond at speed amid a crisis.

The exhibit of the integrated-nerve-center structure we have offered is not meant as a precise instruction manual. It is a general outline in need of contextual tailoring from organization to organization. The form described is most applicable to large corporations with global supply chains. For financial institutions, the structure would give little prominence to supply-chain stabilization and much more weight to financials stress testing. The structure is, however, adaptable for any large organization and can be effectively deployed in any crisis. From a business standpoint, the COVID-19 outbreak is a particular kind of crisis, quite different from those affecting a single large, multinational company. Rather, it is more like the financial crisis of 2008 to 2009, in that it presents as a shock to the greater part of all global economic activity: all the more reason that organizations need to concentrate leadership and capabilities in a fast-acting, integrated nerve center.



Source :

https://www.mckinsey.com/business-functions/risk/our-insights/responding-to-coronavirus-the-minimum-viable-nerve-center#

Sunday, October 4, 2020

Lean Manufacturing vs Lean Startup

Ketahui Perbedaan Antara Lean Manufacturing dan Lean Startup

Lean Management


Di dalam sebuah bisnis terdapat Lean Management, hal ini dimaksudkan sebagai sebuah metode yang sistematis dan integratif dengan implementasi kinerja berkesinambungan. Tujuan dari Lean Management yakni mengurangi dan mencegah terjadinya pemborosan di dalam lini produksi.

Untuk memetakan Lean Management, metode ini pun dibagi ke dalam dua jenis, yakni Lean Manufacturing dan Lean Startup. Lantas, apa perbedaan antara Lean Manufacturing dan Lean Startup? Simak penjelasannya di bawah ini!


Lean Manufacturing

Lean Manufacturing merupakan sebuah gagasan, ide, metode, atau cara yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi pada sistem produksi. Tidak hanya itu, sistem ini dapat dimanfaatkan untuk memaksimalkan nilai-nilai yang ada bagi pelanggan dengan cara mengurangi pemborosan pada sistem manufaktur.

Demi mengefektifkan Lean Management yang satu ini dibutuhkan usaha secara terus menerus dengan fokus utama untuk menciptakan nilai tambah dengan zero waste seminimal mungkin. Fokus lain dari sistem ini yakni proses kerja dalam bentuk tim yang berlangsung secara keseluruhan. Dengan begini, seluruh komponen perusahaan dapat bekerja semaksimal mungkin.

Lean Manufacturing sendiri berpegang kepada 4 kerangka yang dikenal sebagai QCDS. Q untuk Quality yang dimaksudkan sebagai komitmen untuk menghasilkan produk berkualitas tinggi. C untuk Cost dengan pengendalian terhadap biaya produksi yang dikeluarkan untuk mendapatkan produk berkualitas dengan biaya yang efektif. D untuk Delivery di mana komitmen terhadap pengiriman produk dilakukan secara tepat waktu. S untuk Service di mana perusahaan berkomitmen untuk memberikan pelayanan terbaik kepada para pelanggan.


Lean Startup

Lean Startup adalah sebuah teknik pengembangan bisnis yang menggunakan konsep Validated Learning di dunia startup dengan unit pengembangan proses bisnis sehingga mampu mengantisipasi ketidaksesuaian produk dengan perkembangan yang terjadi di pasar.

Ada beberapa elemen yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh para pelaku startup untuk menyelesaikan permasalahan konsumen. Elemen tersebut yakni antara lain minimum viable product, actionable metrics, pivot, innovation accounting and build measure learn, serta continuous deployment.

Secara umum, konsep Lean Startup ini dipopulerkan oleh Eric Ries sejak 2008. Dia adalah seorang konsultan dan pengembang startup yang juga menulis buku berjudul The Lean Startup: How Today’s Entrepreneurs Use Continuous Innovation to Create Radically Successful Businesses.


Perbedaan Lean Manufacturing dan Lean Startup

Adapun perbedaan kedua sistem ini terletak pada tujuan dan nilai, aplikasi solusi, serta target pasar yang berbeda. Lean Manufacturing sendiri bertujuan untuk membuat sesuatu menjadi lebih baik dengan menghilangkan pemborosan dan menerapkan Continuous Improvement.

Sementara Lean Startup mencari apa yang harus dibangun dengan menerapkan sistem Build, Measure, dan Learn untuk membuat sebuah pengembangan. Sistem ini banyak diadopsi oleh perusahaan-perusahaan startup atau lini pengembangan produk untuk mengakses target pasar yang baru.

Demikian tadi beberapa informasi yang perlu diketahui mengenai perbedaan antara Lean Manufacturing dengan Lean Startup. Di Indonesia, salah satu lokasi strategis untuk membangun perusahaan manufaktur adalah di Karawang New Industry City (KNIC).

Kawasan yang terletak di Jawa Barat ini mengusung banyak kelebihan termasuk teknologi dan sistem yang terintegrasi kelas dunia. Selain itu, infrastruktur kelas dunia pun terlihat jelas di tempat ini. KNIC juga berada di lokasi strategis yang dekat dari jalan tol, LRT Jabodetabek, stasiun kereta, bandar udara, dan pelabuhan sehingga memudahkan pengiriman barang ke mana-mana.

Tidak hanya bertujuan untuk mendukung kinerja sebuah perusahaan manufaktur, KNIC juga hadir untuk mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi daerah serta menghadirkan Multiplier Effect yang berguna bagi perkembangan sosio-ekonomi di Karawang dan daerah-daerah di kawasan Jawa Barat.



Sumber :

https://www.knic.co.id/id/perbedaan-antara-lean-manufacturing-dan-lean-startup

Kisah Sukses Kolonel Sanders di KFC

Kolonel Sanders memiliki nama lengkap Harland David Sanders. Ia lahir di negara bagian Indiana, Amerika Serikat pada tanggal 9 September 1890.

Sebagian orang mengenalnya sebagai pendiri KFC, namun banyak juga yang mengenal ia sebagai sosok pengusaha yang tak kenal lelah dan menginspirasi banyak orang untuk tetap gigih meraih kesuksesan, meski usianya sudah tak muda lagi.


Masa Kecil

Harland Sanders merupakan anak tertua dari pasangan Wilbur David Sanders dan Margaret Ann Sanders.

Ayahnya bekerja di perkebunan dan kadang-kadang mencari tambahan uang dengan bekerja di rumah jagal. Ibunya adalah seorang ibu rumah tangga yang sehari-hari menjaga dan merawat Harland dan kedua adiknya.

Masa-masa sulit kehidupan Harland dimulai ketika ia menginjak usia 6 tahun. Ayahnya meninggal dunia dan ibunya harus mencari kerja di luar untuk menghidupi kebutuhan keluarga.

Ketika sang ibu mendapatkan pekerjaan di pabrik pengalengan tomat, Harland harus menjaga adik-adiknya di rumah. Ia melakukan semua pekerjaan rumah, termasuk memasak.

Karena memasak sudah menjadi tanggung jawabnya sehari-hari, pada usia kurang dari 10 tahun, kemampuan memasak Harland bisa dibilang sangat mumpuni.

Untuk anak seusianya, ia bisa memasak berbagai menu dan bisa menggunakan pisau dan alat masak lain dengan sangat baik.

Pada usia 12 tahun, sang ibu menikah lagi. Harland tidak akur dengan ayah tirinya. Alhasil, prestasinya di sekolah pun menjadi berantakan.

Setahun kemudian, Harland nekad keluar dari sekolah dan pergi meninggalkan rumah. Ia bekerja serabutan untuk bertahan hidup, mulai dari bekerja di pabrik pembuatan kereta kuda hingga bekerja di perkebunan, seperti yang dilakukan ayahnya dulu.


Perjalanan Karier

Perjalanan karier Harland Sanders bisa dibilang merupakan bagian paling menarik dari biografi Kolonel Sanders untuk disimak.

Dari usia belasan, ia sudah bekerja untuk menghidupi dirinya sendiri. Setelah bekerja serabutan di perkebunan, pabrik kereta, hingga menjadi kuli, Harland akhirnya memutuskan untuk mendaftar menjadi tentara pada tahun 1906 saat usianya 16 tahun.

Ia ditugaskan di Kuba. Namun kariernya di militer hanya bertahan satu tahun saja. Di usia 17, ia kembali bekerja serabutan.

Di tahun-tahun berikutnya, Harland Sanders bekerja di berbagai tempat dan sempat juga mendirikan berbagai usaha, meski tidak semua bertahan lama.

Harland bekerja di perusahaan pembuatan rel kereta api dan juga sempat belajar ilmu hukum dan bekerja di kantor penyedia bantuan hukum.

Pada tahun 1920, Harland Sanders mendirikan perusahaan kapal feri. Usaha ini dinilai cukup sukses.

Hanya dalam dua tahun saja, perusahaan kapal feri milik Harland Sanders tersebut sudah menghasilkan profit ratusan ribu dolar dan dilirik oleh berbagai investor.

Akhirnya, sekitar tahun 1923, Harland melepas perusahaan tersebut dan menjualnya ke investor.

Hasil penjualan perusahaan kapal feri digunakan Harland untuk mendirikan perusahaan lampu di tahun 1924.

Perusahaan ini gagal total karena pada pertengahan 1920an, ada perusahaan listrik lain yang lebih mendominasi pasar dan menciptakan teknologi baru.

Setelah gagal dengan perusahaan lampu, Harland pindah dari Indiana ke Kentucky. Di sini, ia membuka usaha pom bensin.

Usaha ini juga tidak berjalan dengan baik karena pada tahun 1930 Amerika Serikat menderita krisis ekonomi parah yang dikenal dunia dengan nama “The Great Depression“.

Setelah “The Great Depression”, Harland mencoba peruntungan kembali dengan mengubah pom bensin miliknya menjadi restoran.

Dengan kemampuan memasak yang mumpuni, Harland menyediakan aneka menu makanan, mulai dari ayam goreng hingga steak. Usaha restoran ini cukup sukses dan bertahan selama belasan tahun.


Restaurant Pertama Kolonel Sanders

Karena restoran tersebut cukup terkenal di wilayah Kentucky, Harland menjadi dikenal banyak orang dan mendapatkan julukan “Kolonel Sanders”, meski faktanya ia tak pernah mendapatkan gelar kolonel selama berkarier di militer.                 


Kolonel Sanders dan Lahirnya Kentucky Fried Chicken (KFC)

Salah satu hal yang dicari pembaca biografi lengkap Kolonel Sanders adalah tentang berdirinya KFC. Pada tahun 1950 atau saat usianya menginjak 60 tahun, Harland Sanders mulai merasa peruntungannya di bidang restoran menurun.

Jumlah pelanggan tidak pernah meningkat banyak dan ia merasa menunya yang itu-itu saja sangat membosankan. Ia memutuskan untuk melakukan revolusi dengan menutup sementara restoran tersebut.

Ia bahkan akhirnya menjual restoran itu untuk modal dalam melakukan “hal baru” yang sudah direncanakan.

Harland menyadari jika selama ini pelanggan restoran sangat menyukai ayam goreng buatannya. Ia mencoba untuk mengembangkan resep ayam goreng tersebut dan menjadikannya usaha.

Dengan modal yang dimiliki, Harland menghabiskan waktu selama lebih dari setahun untuk melakukan uji coba dengan resep ayam goreng. Ia juga mencoba menjual kepada orang-orang dengan konsep door-to-door dan membuka warung kecil di pinggir jalan.

Karena ayam goreng Harland memang enak, usaha kecil ini membuahkan hasil. Pada tahun 1952, ia memutuskan untuk membuka restoran khusus ayam goreng. Restorannya kali ini diberi nama Kentucky Fried Chicken atau KFC.


Kolonel Sanders dan Kentucky Fried Chicken Pertama

Restoran ini menyajikan ayam goreng khas Kolonel Sanders yang dibumbui dengan 11 bumbu rahasia. Restoran inilah yang akhirnya berkembang pesat dan menjadi salah satu franchise fast food terbesar di seluruh dunia.

Kolonel Sanders dan KFC-nya akhirnya berhasil sukses. Pada saat KFC sedang terkenal, usia Kolonel Sanders sudah tidak muda lagi, yaitu hampir 70 tahun.

Hal ini membuat banyak orang menuliskan biografi lengkap Kolonel Sanders untuk mengenangnya sebagai sosok yang inspiratif dan mengajarkan kita untuk tidak pantang menyerah meski usaha yang dibangun mengalami pasang dan surut.


Kehidupan Pribadi

Harland Sanders menikah dengan wanita bernama Josephine King pada tahun 1909, saat usianya 19 tahun. Ia bertemu dengan Josephine pada saat ia bekerja di perusahaan pembuatan rel kereta api.

Dengan Josephine, Harland memiliki tiga orang anak, yaitu satu anak laki-laki yang bernama Harland Junior, dan dua orang anak perempuan bernama Margaret dan Mildred.

Pernikahan Harland dengan Josephine tidak bertahan lama dan dipenuhi dengan drama perselingkuhan dari kedua belah pihak.


Tahun-Tahun Terakhir Kolonel Sanders

Kesuksesan KFC di usianya yang sudah senja membuat Kolonel Sanders sudah terbiasa bekerja di masa tua.

Di usia yang sudah kepala 8, ia tetap bekerja mempromosikan KFC di berbagai tempat, meski pada saat itu hartanya sudah tak terhitung lagi banyaknya.

Kolonel Sanders masih sering mengunjungi cabang-cabang KFC di berbagai negara bagian untuk memberi motivasi, melakukan inspeksi, atau sekedar promosi pada pelanggan.

Tak lengkap rasanya jika menulis biografi Kolonel Sanders tanpa menyertakan akhir hidup dari sang kolonel.

Kolonel Sanders wafat pada 16 Desember 1980 di usia 90 tahun. Ia meninggal karena menderita penyakit leukimia akut. Kolonel Sanders dimakamkan di pemakaman Cave Hill di Louisville, Kentucky.


Sumber :

https://www.koalahero.com/biografi/biografi-kolonel-sanders-pendiri-kfc/

Thursday, October 1, 2020

Cara Promosi Dagangan Tanpa Endorse Influencer

Ini Cara Ampuh Promosikan Dagangan Tanpa Endorse Influencer


Pakar marketing Dewa Eka Prayoga alias Dewa Selling mengungkapkan pentingnya upaya mendapatkan testimoni pelanggan terhadap produk yang dijual. Dia mengungkapkan testimoni langsung dari banyak pelanggan lebih ampuh mempromosikan produk daripada endorse ke influencer.

Maka dari itu, dia mengatakan di masa awal merintis usaha, sebisa mungkin upaya meminta testimoni pelanggan menjadi standar operasional yang wajib dilakukan.


"Alangkah baiknya emang bisa dapatan testimoni pembeli kita. Kemudian kita upload di medsos kita, Instagram, atau WA kita misalnya. Awal-awal berusaha malah kalau bisa itu jadi SOP," ungkap Dewa dalam sesi d'Mentor detikcom.

Sebisa mungkin Dewa juga menyarankan agar bisa membujuk pelanggan untuk berfoto dengan produk dan melampirkan testimoninya di media sosial. Kemudian meminta pelanggan menandai akun media sosial usaha yang sedang dirintis.


"Misalnya nanti minta foto, terus bilang tag akun kita ya, terus bilang aja nanti bisa dapat apa gitu misalnya. Kasih gimmick-gimmick begitu," ujar Dewa.

Dewa mengungkapkan hal tersebut bisa menjadi bukti kalau usaha yang dirintis eksis di masyarakat. Di sisi lain, testimoni langsung dari pembeli dinilai sangat kuat dampaknya untuk mempromosikan usaha.


"Itu bakalan jadi social proof kalau produk kita ada lho di masyarakat. Siapa saja, zaman sekarang yang lebih otentik, original, dan apa adanya ya itu lebih dipercaya dari masyarakat," ungkap Dewa.

Bahkan dampaknya melebihi endorsement yang dilakukan influencer. Dewa menyebutkan kini pandangan influencer sedikit berubah di tengah masyarakat.


Pasalnya tak sedikit influencer yang terlalu banyak mempromosikan barang-barang, sehingga memunculkan kesan apa yang dipromosikannya terlalu kelihatan skenarionya. Hal itu memicu kepercayaan berkurang.

"Soalnya gini, trennya influencer itu mulai turun kepercayaannya. Paginya dia bilang produk ini bagus, siangnya produknya lain yang bagus. Jadi ketika ditawarin, masalahnya bukan lagi soal copywriting atau kontennya, tapi orangnya. Masyarakat mungkin akan bilang, alah si itu mah bohong, skenario banget, dibayar," ujar Dewa.


"Nah kalau orang biasa yang kasih testimoni, ini lebih real gitu lho, jadi masyarakat bisa percaya," tegasnya.


Sumber :

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5193648/ini-cara-ampuh-promosikan-dagangan-tanpa-endorse-influencer

Related Posts