Thursday, July 25, 2024

Kepunahan pada Zaman Es

Zaman es atau periode glasial adalah periode dalam sejarah Bumi di mana suhu global jauh lebih dingin daripada saat ini, menyebabkan pembentukan dan perluasan es di daratan dan laut. Perubahan drastis ini membawa dampak besar pada kehidupan di Bumi, termasuk kepunahan banyak spesies. Artikel ini akan menguraikan penyebab kepunahan pada zaman es, spesies-spesies yang punah, dan dampak ekologis serta evolusi yang ditimbulkan oleh perubahan iklim ekstrem ini.

Penyebab Kepunahan pada Zaman Es

  1. Perubahan Iklim Ekstrem: Suhu yang sangat dingin dan perubahan drastis dalam iklim menyebabkan banyak spesies tidak dapat beradaptasi dengan cepat. Spesies yang bergantung pada iklim yang lebih hangat atau stabil mengalami penurunan populasi drastis.

  2. Perubahan Habitat: Pembentukan lapisan es yang luas mengubah habitat alami. Hutan dan padang rumput berubah menjadi tundra es, mengurangi ketersediaan makanan dan tempat tinggal bagi banyak spesies.

  3. Pergeseran Ekosistem: Ekosistem berubah secara signifikan, menyebabkan gangguan pada rantai makanan. Predator kehilangan mangsa utama, dan spesies mangsa kehilangan habitat dan sumber makanan.

  4. Tekanan dari Spesies Kompetitor: Spesies yang mampu beradaptasi dengan perubahan iklim bersaing dengan spesies yang kurang adaptif, sering kali menyebabkan yang terakhir punah.

Spesies-Spesies yang Punah pada Zaman Es

  1. Mamalia Besar: Banyak mamalia besar atau megafauna punah pada akhir zaman es terakhir. Beberapa contohnya adalah:

    • Mamut Berbulu: Mamalia besar ini tidak dapat beradaptasi dengan perubahan iklim dan perburuan oleh manusia.
    • Harimau Gigi Pedang (Smilodon): Predator besar ini kehilangan banyak mangsa utama mereka akibat perubahan iklim dan habitat.
    • Glyptodon: Sebuah genus mamalia besar yang mirip dengan armadillo besar, juga punah karena perubahan iklim dan perburuan.
  2. Burung-Burung Besar: Beberapa spesies burung besar yang tidak bisa terbang juga punah selama zaman es, seperti:

    • Moa: Burung besar dari Selandia Baru yang punah akibat perburuan oleh manusia dan perubahan habitat.
    • Aepyornis (Burung Gajah): Burung besar dari Madagaskar yang juga mengalami kepunahan karena kombinasi perubahan iklim dan aktivitas manusia.
  3. Reptil dan Amfibi: Beberapa spesies reptil dan amfibi juga punah akibat ketidakmampuan mereka untuk beradaptasi dengan suhu yang lebih dingin.

Dampak Ekologis dan Evolusi

  1. Keanekaragaman Hayati: Kepunahan pada zaman es mengurangi keanekaragaman hayati secara drastis. Banyak spesies hilang, yang mengubah ekosistem dan rantai makanan secara signifikan.

  2. Seleksi Alam dan Adaptasi: Periode glasial menciptakan tekanan seleksi yang kuat, mendorong evolusi adaptasi baru pada spesies yang bertahan. Misalnya, mamalia yang mampu beradaptasi dengan suhu dingin, seperti mamut berbulu, mengembangkan lapisan bulu tebal.

  3. Penyebaran Spesies Baru: Spesies yang mampu beradaptasi dengan kondisi ekstrem menyebar ke wilayah baru, mengisi ceruk ekologi yang ditinggalkan oleh spesies yang punah.

Dampak pada Manusia Purba

  1. Perubahan Pola Migrasi: Manusia purba juga terdampak oleh zaman es. Mereka harus berpindah-pindah untuk mencari tempat yang lebih hangat dan sumber makanan yang cukup.

  2. Inovasi Teknologi: Untuk bertahan hidup, manusia purba mengembangkan teknologi baru, seperti pakaian dari kulit binatang untuk melindungi diri dari dingin, dan alat-alat berburu yang lebih canggih.

  3. Pembentukan Kelompok Sosial: Tekanan lingkungan yang ekstrem mendorong manusia untuk membentuk kelompok sosial yang lebih besar dan kompleks, guna meningkatkan peluang bertahan hidup.

Kesimpulan

Zaman es membawa perubahan besar pada Bumi yang menyebabkan kepunahan banyak spesies. Penyebab utama kepunahan ini adalah perubahan iklim ekstrem, perubahan habitat, dan tekanan kompetitif. Meski banyak spesies punah, periode glasial juga mendorong evolusi dan adaptasi baru yang membentuk keanekaragaman hayati saat ini. Bagi manusia purba, zaman es merupakan periode penuh tantangan yang mendorong inovasi dan pembentukan struktur sosial yang lebih kompleks.

Memahami dampak zaman es pada kehidupan di Bumi memberikan wawasan berharga tentang bagaimana perubahan iklim dapat mempengaruhi keanekaragaman hayati dan ekosistem. Ini juga mengingatkan kita tentang pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem dan mengurangi dampak aktivitas manusia terhadap perubahan iklim.

Tuesday, July 23, 2024

Bertahan pada Zaman Es jika Global Cooling Terjadi

Bagaimana Kita Bisa Bertahan pada Zaman Es jika Global Cooling Benar-Benar Terjadi

Pemanasan global saat ini adalah ancaman nyata yang telah mempengaruhi pola cuaca, ekosistem, dan kehidupan manusia di seluruh dunia. Namun, ada skenario yang berbeda yang melibatkan pendinginan global atau global cooling. Jika global cooling benar-benar terjadi dan membawa kita ke zaman es baru, kita harus siap menghadapi tantangan tersebut. Artikel ini akan menguraikan bagaimana kita bisa bertahan jika kita benar-benar memasuki zaman es baru.

Apa itu Global Cooling?

Global cooling adalah teori yang menyatakan bahwa suhu rata-rata di Bumi akan mengalami penurunan jangka panjang. Pada tahun 1970-an, beberapa ilmuwan memperkirakan bahwa planet kita mungkin sedang menuju periode pendinginan global berdasarkan data iklim saat itu. Meskipun perhatian ilmuwan saat ini lebih tertuju pada pemanasan global, kemungkinan terjadinya perubahan iklim besar yang menyebabkan pendinginan global tidak bisa sepenuhnya diabaikan.

Tantangan dalam Menghadapi Zaman Es

Jika global cooling terjadi dan membawa kita ke zaman es baru, tantangan yang akan kita hadapi sangat besar, meliputi:

  1. Penurunan Suhu Ekstrem: Suhu yang sangat dingin akan mempengaruhi setiap aspek kehidupan, mulai dari tempat tinggal hingga infrastruktur.
  2. Gangguan Pertanian: Tanaman tidak akan bisa tumbuh di banyak daerah yang saat ini subur, menyebabkan krisis pangan global.
  3. Migrasi Populasi: Banyak orang mungkin terpaksa pindah ke daerah yang lebih hangat, menyebabkan tekanan pada sumber daya di daerah tersebut.
  4. Sumber Energi: Kebutuhan energi untuk pemanasan akan meningkat secara drastis, sementara sumber energi mungkin menjadi lebih sulit diakses.

Cara Bertahan pada Zaman Es

Untuk bertahan pada zaman es, manusia perlu mengadaptasi banyak aspek kehidupan mereka. Berikut adalah beberapa strategi utama:

  1. Pengembangan Teknologi: Teknologi akan menjadi kunci untuk bertahan hidup. Investasi dalam teknologi pemanas, penyimpanan pangan, dan infrastruktur tahan dingin akan sangat penting.

    • Teknologi Pemanas: Pengembangan dan distribusi teknologi pemanas yang efisien akan sangat penting untuk menjaga rumah dan bangunan tetap hangat.
    • Pertanian Dalam Ruangan: Teknologi seperti rumah kaca dan pertanian vertikal dapat membantu menumbuhkan tanaman dalam kondisi yang terkendali.
    • Transportasi dan Infrastruktur: Mengembangkan infrastruktur yang tahan terhadap suhu ekstrem dan memastikan transportasi tetap berjalan akan menjadi kunci untuk kelangsungan hidup.
  2. Sumber Energi Terbarukan: Diversifikasi sumber energi, termasuk energi terbarukan seperti angin, matahari, dan geothermal, akan membantu mengurangi ketergantungan pada sumber daya yang mungkin terbatas selama zaman es.

    • Energi Angin dan Surya: Meskipun energi surya mungkin kurang efektif di beberapa daerah selama zaman es, kombinasi dengan energi angin dapat memberikan solusi yang berkelanjutan.
    • Geothermal: Pemanfaatan panas bumi dapat menjadi sumber energi yang andal untuk pemanasan dan produksi listrik.
  3. Manajemen Pangan: Mengembangkan metode untuk memproduksi, menyimpan, dan mendistribusikan pangan secara efisien akan sangat penting.

    • Penyimpanan Pangan: Teknologi penyimpanan yang efektif akan diperlukan untuk menjaga ketersediaan pangan selama musim dingin yang panjang.
    • Akuakultur: Pengembangan sistem akuakultur dapat menyediakan sumber pangan alternatif yang lebih tahan terhadap perubahan iklim.
  4. Adaptasi Sosial dan Ekonomi: Masyarakat perlu mengubah cara hidup mereka untuk menyesuaikan diri dengan kondisi yang lebih dingin.

    • Perencanaan Kota: Kota-kota perlu didesain ulang untuk mengatasi suhu ekstrem, termasuk pembangunan infrastruktur bawah tanah dan pemanasan distrik.
    • Pendidikan dan Pelatihan: Masyarakat harus diberi pendidikan dan pelatihan tentang cara bertahan hidup di kondisi ekstrem, termasuk pertanian dalam ruangan dan teknik pemanasan rumah.
  5. Kesehatan dan Kesejahteraan: Memastikan akses ke layanan kesehatan dan kesejahteraan akan menjadi krusial.

    • Perawatan Kesehatan: Layanan kesehatan harus disesuaikan untuk menangani penyakit dan kondisi yang terkait dengan cuaca dingin ekstrem.
    • Kesehatan Mental: Program kesehatan mental harus diperkuat untuk membantu orang mengatasi stres dan isolasi yang mungkin terjadi akibat kondisi ekstrem.

Kesimpulan

Jika global cooling benar-benar terjadi dan membawa kita ke zaman es baru, tantangan yang dihadapi akan sangat besar. Namun, dengan teknologi yang tepat, adaptasi sosial dan ekonomi, serta manajemen sumber daya yang efektif, manusia memiliki kemampuan untuk bertahan dan bahkan berkembang dalam kondisi ekstrem. Persiapan dan perencanaan yang matang akan menjadi kunci untuk menghadapi masa depan yang tidak pasti ini.

Akankah Jaman Es Terulang?

Isu perubahan iklim global sering kali menimbulkan berbagai spekulasi tentang masa depan iklim Bumi. Salah satu pertanyaan yang muncul adalah: "Akankah jaman es terulang?" Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu memahami apa yang menyebabkan zaman es di masa lalu, kondisi iklim saat ini, dan apa yang diprediksi oleh para ilmuwan tentang masa depan iklim Bumi.

Apa Itu Zaman Es?

Zaman es atau periode glasial adalah periode dalam sejarah Bumi di mana suhu global jauh lebih dingin daripada saat ini, menyebabkan pembentukan dan perluasan es di daratan dan laut. Zaman es terjadi beberapa kali dalam sejarah Bumi, dengan yang terakhir terjadi sekitar 20.000 tahun lalu, yang dikenal sebagai Pleistosen. Pada puncak zaman es terakhir, lapisan es menutupi sebagian besar Amerika Utara, Eropa, dan Asia.

Penyebab Zaman Es

  1. Variasi Orbital Bumi: Siklus Milankovitch, yang mencakup perubahan dalam eksentrisitas orbit Bumi, kemiringan sumbu, dan presesi (pergeseran orientasi sumbu), dianggap sebagai penyebab utama fluktuasi iklim jangka panjang, termasuk zaman es. Perubahan ini mempengaruhi distribusi dan intensitas sinar matahari yang diterima Bumi.

  2. Konsentrasi Gas Rumah Kaca: Tingkat CO2 dan metana di atmosfer juga mempengaruhi suhu global. Penurunan konsentrasi gas rumah kaca bisa menyebabkan pendinginan global.

  3. Aktivitas Vulkanik: Letusan gunung berapi besar dapat melepaskan partikel aerosol ke atmosfer, yang dapat memantulkan sinar matahari dan menyebabkan pendinginan sementara.

  4. Arus Laut: Perubahan dalam sirkulasi arus laut dapat mempengaruhi distribusi panas global, yang berkontribusi pada perubahan iklim.

Kondisi Iklim Saat Ini

Saat ini, Bumi sedang mengalami pemanasan global, yang sebagian besar disebabkan oleh peningkatan konsentrasi gas rumah kaca akibat aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi, dan aktivitas industri. Suhu rata-rata global telah meningkat sekitar 1,1 derajat Celsius sejak akhir abad ke-19, dan para ilmuwan memperkirakan suhu akan terus meningkat jika emisi gas rumah kaca tidak dikurangi secara signifikan.

Prediksi Masa Depan

Berdasarkan model iklim saat ini, skenario yang lebih mungkin terjadi adalah pemanasan global terus berlanjut daripada memasuki zaman es baru. Beberapa alasan untuk ini meliputi:

  1. Emisi Gas Rumah Kaca: Tingkat CO2 di atmosfer saat ini adalah yang tertinggi dalam sejarah manusia. Gas rumah kaca ini memerangkap panas di atmosfer, menyebabkan suhu global meningkat. Selama emisi gas rumah kaca terus meningkat, sangat kecil kemungkinan Bumi akan mendingin secara signifikan.

  2. Efek Albedo: Pemanasan global menyebabkan pencairan es di kutub dan gletser, mengurangi efek albedo (pemantulan sinar matahari) dan menyebabkan lebih banyak panas diserap oleh permukaan Bumi. Ini menciptakan umpan balik positif yang mempercepat pemanasan.

  3. Siklus Milankovitch: Meskipun siklus Milankovitch masih berperan dalam jangka panjang, efeknya jauh lebih kecil dibandingkan dengan dampak dari aktivitas manusia saat ini. Siklus ini dapat menyebabkan pendinginan dalam beberapa ribu tahun ke depan, tetapi tidak cukup untuk membalikkan tren pemanasan global saat ini.

Kemungkinan Terulangnya Zaman Es

Berdasarkan pengetahuan ilmiah saat ini, terulangnya zaman es dalam waktu dekat sangat kecil kemungkinannya. Pemanasan global yang didorong oleh aktivitas manusia telah menjadi kekuatan dominan dalam perubahan iklim Bumi saat ini. Namun, dalam jangka waktu yang sangat panjang (ribuan hingga jutaan tahun), faktor alami seperti siklus Milankovitch masih dapat mempengaruhi iklim Bumi dan mungkin menyebabkan zaman es baru di masa depan.

Kesimpulan

Meskipun Bumi telah mengalami beberapa zaman es dalam sejarahnya, kondisi saat ini menunjukkan bahwa pemanasan global adalah tren iklim yang dominan. Aktivitas manusia, terutama emisi gas rumah kaca, telah mengubah keseimbangan iklim Bumi dan membuat kemungkinan terulangnya zaman es dalam waktu dekat menjadi sangat kecil. Upaya global untuk mengurangi emisi dan mengatasi perubahan iklim adalah langkah penting untuk memastikan stabilitas iklim dan menghindari skenario terburuk dari pemanasan global.

Saturday, July 20, 2024

Global Cooling dan Hubungannya dengan Fenomena Bediding

Global cooling dan bediding adalah dua fenomena yang melibatkan penurunan suhu, namun terjadi pada skala yang berbeda. Bediding merujuk pada penurunan suhu yang tajam pada malam dan pagi hari di wilayah tertentu, seperti yang sering terjadi di Pulau Jawa. Sementara itu, global cooling adalah konsep yang lebih luas yang melibatkan penurunan suhu global dalam jangka panjang. Artikel ini akan menjelaskan apa itu global cooling, fenomena bediding, dan apakah ada hubungan antara keduanya.

Apa Itu Global Cooling?

Global cooling adalah teori yang menyatakan bahwa suhu rata-rata di Bumi akan mengalami penurunan jangka panjang. Konsep ini muncul pada tahun 1970-an ketika beberapa ilmuwan memperkirakan bahwa planet kita mungkin sedang menuju periode pendinginan global. Prediksi ini didasarkan pada observasi penurunan suhu global pada pertengahan abad ke-20, serta kekhawatiran akan peningkatan partikel aerosol di atmosfer yang memantulkan sinar matahari.

Namun, dalam beberapa dekade terakhir, perhatian ilmuwan lebih banyak tertuju pada global warming (pemanasan global), yang didukung oleh bukti-bukti yang menunjukkan peningkatan suhu rata-rata global akibat aktivitas manusia, terutama emisi gas rumah kaca.

Apa Itu Fenomena Bediding?

Bediding adalah fenomena di mana suhu udara turun drastis pada malam dan pagi hari. Fenomena ini sering terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk Pulau Jawa, terutama selama musim kemarau. Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap bediding meliputi:

  1. Musim Kemarau: Langit cerah dan minim awan menyebabkan radiasi panas dari permukaan bumi lebih banyak dilepaskan ke atmosfer pada malam hari, membuat suhu turun.
  2. Angin Muson Timur: Angin dingin yang bertiup dari Australia, yang sedang mengalami musim dingin, menuju Asia Tenggara.
  3. Inversi Temperatur: Kondisi di mana lapisan udara dingin terperangkap di dekat permukaan tanah oleh lapisan udara yang lebih hangat di atasnya.

Hubungan Antara Global Cooling dan Bediding

  1. Skala Waktu dan Ruang: Global cooling adalah fenomena yang melibatkan perubahan suhu global dalam jangka panjang dan mencakup seluruh planet. Sebaliknya, bediding adalah fenomena lokal yang terjadi dalam jangka pendek, khususnya pada malam dan pagi hari di wilayah tertentu seperti Pulau Jawa. Bediding lebih terkait dengan kondisi cuaca musiman dan regional.

  2. Penyebab yang Berbeda: Penyebab global cooling di masa lalu melibatkan faktor-faktor seperti peningkatan partikel aerosol yang memantulkan sinar matahari, aktivitas vulkanik, dan siklus alami Bumi. Bediding, di sisi lain, disebabkan oleh faktor-faktor lokal seperti angin muson, langit cerah selama musim kemarau, dan inversi temperatur.

  3. Variabilitas Cuaca: Bediding adalah contoh dari variabilitas cuaca lokal yang dapat terjadi meskipun ada tren pemanasan global yang lebih luas. Perubahan iklim dapat mempengaruhi pola cuaca lokal dan regional, tetapi fenomena seperti bediding dapat tetap terjadi karena pengaruh faktor musiman dan geografis.

  4. Interaksi Atmosferik: Sirkulasi atmosfer global mempengaruhi kondisi cuaca lokal. Meskipun bediding tidak secara langsung terkait dengan konsep global cooling, perubahan dalam sirkulasi atmosfer akibat perubahan iklim dapat mempengaruhi frekuensi dan intensitas bediding. Misalnya, perubahan pola angin atau curah hujan bisa mempengaruhi bagaimana dan kapan bediding terjadi.

Dampak dan Adaptasi

  1. Kesehatan: Perubahan suhu yang ekstrem dapat mempengaruhi kesehatan, terutama bagi kelompok rentan seperti anak-anak dan lansia. Adaptasi seperti mengenakan pakaian hangat dan menjaga kesehatan sangat penting.
  2. Pertanian: Suhu dingin bisa mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Petani perlu beradaptasi dengan memilih varietas tanaman yang tahan suhu rendah dan menggunakan teknik pertanian adaptif.
  3. Perencanaan Kota: Kota-kota perlu mempertimbangkan perubahan cuaca dalam perencanaan infrastruktur dan kebijakan lingkungan untuk memastikan kesiapan menghadapi kondisi ekstrem.

Kesimpulan

Global cooling dan fenomena bediding adalah dua fenomena yang berbeda baik dalam skala waktu maupun ruang. Global cooling mengacu pada penurunan suhu global jangka panjang yang pernah diprediksi terjadi pada pertengahan abad ke-20, sementara bediding adalah penurunan suhu lokal yang terjadi pada malam dan pagi hari di wilayah tertentu seperti Pulau Jawa.

Meskipun bediding adalah fenomena lokal dan musiman, pemahaman tentang bagaimana variabilitas cuaca dan perubahan iklim global saling mempengaruhi tetap penting. Menghadapi fenomena cuaca ekstrem seperti bediding memerlukan adaptasi yang baik, baik pada level individu maupun masyarakat, dan kesadaran akan perubahan iklim global dapat membantu mengembangkan strategi mitigasi dan adaptasi yang lebih efektif.

Friday, July 19, 2024

Fenomena Mbedhidhing di Pulau Jawa

Penyebab Suhu Dingin atau Bediding pada Malam dan Pagi Hari di Pulau Jawa

Pulau Jawa, yang biasanya dikenal dengan iklim tropisnya, belakangan ini mengalami fenomena suhu dingin atau bediding yang terasa pada malam dan pagi hari. Fenomena ini membuat banyak orang bertanya-tanya tentang penyebab utamanya. 

Suhu dingin yang terjadi di sejumlah wilayah Indonesia pada beberapa waktu terakhir menjadi sorotan masyarakat. Suhu dingin tersebut terpantau dialami di wilayah Bandung, Yogyakarta hingga Jawa Timur. Suhu dingin adalah fenomena yang rutin terjadi setiap tahun, terlebih pada musim kemarau.

Orang Jawa menyebutnya mbedhidhing.

Artikel ini akan menguraikan faktor-faktor yang menyebabkan suhu dingin di Pulau Jawa saat ini dan bagaimana fenomena ini mempengaruhi kehidupan sehari-hari.

1. Pengaruh Musim Kemarau

Salah satu penyebab utama suhu dingin di Pulau Jawa adalah masuknya musim kemarau. Pada musim kemarau, langit cenderung lebih cerah dan bersih dari awan, yang menyebabkan radiasi panas dari permukaan bumi lebih banyak dilepaskan ke atmosfer pada malam hari. Tanpa awan yang bertindak sebagai selimut alami, panas dari permukaan bumi dengan cepat menghilang, menyebabkan suhu turun drastis pada malam hari dan tetap rendah hingga pagi hari.

2. Angin Muson Timur

Angin muson timur juga berperan signifikan dalam menurunkan suhu di Pulau Jawa. Angin ini bertiup dari Australia yang sedang mengalami musim dingin menuju Asia Tenggara. Angin tersebut membawa udara yang lebih dingin dan kering ke wilayah Indonesia, termasuk Pulau Jawa. Kombinasi antara angin dingin dan kurangnya kelembapan udara turut menurunkan suhu udara di malam dan pagi hari.

Angin Monsun Australia ini bertiup dari Australia menuju Asia melewati wilayah Indonesia dan perairan Samudera Hindia. Sementara itu, Samudera Hindia juga memiliki suhu permukaan laut yang juga relatif rendah atau dingin.  Angin Monsun Australia diketahui bersifat kering dan sedikit membawa uap air, sehingga memengaruhi musim kemarau di Indonesia. 

Hal ini membuat sejumlah wilayah yang dilewati Angin Monsun Australia menjadi lebih dingin.


3. Posisi Matahari

Pada pertengahan tahun, posisi matahari berada di belahan bumi utara. Akibatnya, Indonesia yang terletak di sekitar garis khatulistiwa menerima sinar matahari yang lebih condong dari arah utara. Ini menyebabkan intensitas pemanasan permukaan bumi pada siang hari lebih rendah dibandingkan ketika matahari berada tepat di atas khatulistiwa. Akibatnya, suhu malam dan pagi hari menjadi lebih dingin.

4. Inversi Temperatur

Inversi temperatur adalah fenomena meteorologis di mana suhu udara meningkat seiring dengan ketinggian. Pada kondisi normal, suhu udara menurun dengan ketinggian. Namun, pada malam hari di musim kemarau, permukaan tanah yang cepat mendingin dapat menyebabkan lapisan udara di dekat permukaan menjadi lebih dingin dibandingkan lapisan udara di atasnya. Fenomena ini menyebabkan akumulasi udara dingin di dekat permukaan tanah, yang terasa sangat dingin pada malam dan pagi hari.

5. Efek Urban Heat Island yang Berkurang

Di daerah perkotaan, fenomena Urban Heat Island (UHI) menyebabkan suhu di kota-kota besar menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sekitarnya karena aktivitas manusia dan struktur bangunan yang menyerap panas. Namun, selama malam hari pada musim kemarau, efek UHI berkurang karena penurunan aktivitas manusia dan pelepasan panas yang lebih cepat dari permukaan. Ini menyebabkan suhu di perkotaan juga terasa lebih dingin pada malam dan pagi hari.

Fenomena suhu dingin akan terus terjadi menjelang puncak musim kemarau di bulan Juli-Agustus 2024. Suhu dingin yang terjadi belakangan ini terjadi di wilayah bagian selatan khatulistiwa, seperti Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. 

Bahkan diprediksi fenomena suhu dingin di sejumlah wilayah Indonesia ini, kemungkinan masih bisa terjadi hingga September 2024. Terdapat pula beberapa wilayah di Pulau Jawa yang akan merasakan suhu lebih dingin dibandingkan daerah lainnya.  

Wilayah tersebut seperti Pegunungan Bromo yang mencakup Bromo, Tengger, dan Semeru. Kemudian Pegunungan Sindoro-Sumbing yang mencakup Wonosobo dan Temanggung di Jawa Tengah serta wilayah Lembang-Bandung, Jawa Barat.


Dampak Suhu Dingin di Pulau Jawa

  1. Kesehatan: Suhu dingin yang tiba-tiba dapat mempengaruhi kesehatan, terutama bagi mereka yang memiliki kondisi medis tertentu seperti asma atau masalah pernapasan lainnya. Orang tua dan anak-anak juga lebih rentan terhadap perubahan suhu ekstrem.

  2. Pertanian: Suhu dingin dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Beberapa tanaman mungkin tidak tahan terhadap suhu rendah dan ini bisa mempengaruhi hasil panen.

  3. Aktivitas Harian: Masyarakat mungkin perlu menyesuaikan kebiasaan mereka, seperti mengenakan pakaian yang lebih hangat saat keluar rumah di pagi hari atau malam hari, serta mengatur jadwal kegiatan di luar ruangan.

Tips Menghadapi Suhu Dingin

  1. Menggunakan Pakaian Hangat: Kenakan pakaian berlapis, termasuk jaket, syal, dan topi untuk menjaga tubuh tetap hangat.
  2. Menjaga Kesehatan: Pastikan untuk tetap terhidrasi, makan makanan bergizi, dan mendapatkan istirahat yang cukup.
  3. Menghangatkan Ruangan: Gunakan selimut tambahan atau perangkat pemanas jika diperlukan untuk menjaga suhu ruangan tetap nyaman.
  4. Menyesuaikan Aktivitas: Pertimbangkan untuk mengurangi aktivitas di luar ruangan selama suhu sangat dingin, terutama pada malam dan pagi hari.

Kesimpulan

Fenomena suhu dingin atau bediding pada malam dan pagi hari di Pulau Jawa disebabkan oleh kombinasi berbagai faktor, termasuk musim kemarau, angin muson timur, posisi matahari, inversi temperatur, dan berkurangnya efek Urban Heat Island. Meskipun fenomena ini bisa menyebabkan beberapa ketidaknyamanan dan dampak, ada berbagai cara untuk menyesuaikan diri dan tetap menjaga kesehatan serta kenyamanan. Dengan memahami penyebabnya, masyarakat dapat lebih siap menghadapi perubahan suhu ini.


Sumber :

https://www.kompas.tv/nasional/522491/bmkg-ungkap-penyebab-suhu-dingin-atau-bediding-pada-malam-dan-pagi-hari-sampai-kapan-terjadi

Tuesday, July 16, 2024

Menguak Masalah Kenapa Gen Z Susah Dapat Kerja

Menguak Masalah Kenapa Gen Z Susah Dapat Kerja Formal.

Generasi Z, yang terdiri dari individu yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, saat ini memasuki dunia kerja dengan semangat dan harapan yang tinggi. Namun, banyak dari mereka menghadapi tantangan yang signifikan dalam mendapatkan pekerjaan formal. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: Mengapa Gen Z susah mendapatkan pekerjaan formal? Artikel ini akan menguraikan berbagai faktor yang berkontribusi terhadap kesulitan yang dialami oleh Gen Z dalam memasuki pasar kerja formal.

1. Persaingan yang Ketat.

Pasar kerja saat ini sangat kompetitif. Dengan banyaknya lulusan baru setiap tahun, persaingan untuk posisi entry-level semakin meningkat. Perusahaan memiliki banyak pilihan dan sering kali mencari kandidat dengan pengalaman atau keahlian khusus yang mungkin belum dimiliki oleh fresh graduates dari Gen Z.


2. Ketidakcocokan Keterampilan.

Meskipun Gen Z dikenal sebagai generasi yang sangat akrab dengan teknologi, ada kesenjangan keterampilan antara apa yang mereka pelajari di sekolah dan apa yang dibutuhkan di dunia kerja. Perusahaan sering mencari kandidat yang tidak hanya memiliki keterampilan teknis tetapi juga kemampuan soft skills seperti komunikasi, kerja tim, dan pemecahan masalah. Ketidakcocokan antara keterampilan yang dimiliki oleh Gen Z dan yang diinginkan oleh perusahaan menjadi salah satu penyebab utama sulitnya mendapatkan pekerjaan formal.


3. Kurangnya Pengalaman Kerja.

Banyak perusahaan lebih memilih kandidat dengan pengalaman kerja, bahkan untuk posisi entry-level. Gen Z yang baru lulus sering kali hanya memiliki pengalaman magang atau kerja paruh waktu yang mungkin tidak cukup untuk memenuhi persyaratan perusahaan. Kurangnya pengalaman kerja menjadi hambatan besar dalam mendapatkan pekerjaan formal.


4. Perubahan dalam Proses Rekrutmen.

Proses rekrutmen juga telah berubah secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Perusahaan kini lebih mengandalkan teknologi, termasuk algoritma dan AI, untuk menyaring kandidat. Ini berarti bahwa resume dan surat lamaran harus dioptimalkan untuk melewati sistem ini. Gen Z yang kurang memahami bagaimana teknologi ini bekerja mungkin menghadapi kesulitan dalam membuat aplikasi mereka diperhatikan oleh perekrut.


5. Ekspektasi yang Tinggi.

Gen Z dikenal memiliki ekspektasi tinggi terhadap karier mereka, termasuk gaji, keseimbangan kerja-hidup, dan peluang pengembangan karier. Beberapa perusahaan mungkin melihat ekspektasi ini sebagai tuntutan yang sulit dipenuhi, sehingga lebih memilih kandidat dari generasi lain yang mungkin memiliki harapan yang lebih realistis atau fleksibel.


6. Dampak Pandemi COVID-19.

Pandemi COVID-19 telah membawa dampak signifikan pada pasar kerja global. Banyak perusahaan harus melakukan pemutusan hubungan kerja atau pembekuan perekrutan, yang membuat pasar kerja semakin ketat. Selain itu, banyak perusahaan yang beralih ke model kerja jarak jauh, yang mungkin menuntut keterampilan khusus yang belum dikuasai oleh semua anggota Gen Z.


7. Pendidikan yang Kurang Terkait dengan Industri.

Beberapa program pendidikan mungkin tidak sepenuhnya relevan dengan kebutuhan industri saat ini. Gen Z yang lulus dari program yang tidak memiliki keterkaitan kuat dengan industri tertentu mungkin menghadapi kesulitan lebih besar dalam menemukan pekerjaan yang sesuai dengan keahlian mereka.


8. Kurangnya Jaringan Profesional.

Jaringan profesional sering kali memainkan peran penting dalam mendapatkan pekerjaan. Gen Z, yang mungkin baru saja memasuki pasar kerja, belum memiliki jaringan yang luas dan kuat dibandingkan dengan generasi yang lebih tua. Kurangnya koneksi ini dapat membatasi akses mereka ke peluang kerja yang tidak diumumkan secara publik.


9. Pilih-pilih Pekerjaan.

Dari hasil penelitian terungkap sebanyak 58 persen atau lebih dari separuh pegawai Gen Z berusia 18 hingga 24 tahun cenderung lebih memilih berhenti kerja ketimbang tidak bisa menikmati pekerjaannya atau tidak sesuai dengan bidang yang disenanginya.

Gen Z mengaku lebih memilih menganggur ketimbang tak bahagia melakukan pekerjaan yang tak disukai. Hal ini memberikan gambaran jika Gen Z cenderung lebih memilih-milih pekerjaan, berbeda dengan generasi sebelumnya yang akan menjalani pekerjaan dengan serius meski tidak sesuai dengan minatnya.

Dalam era modern yang serba cepat dan dinamis, penting bagi Generasi Z untuk memiliki sikap yang realistis dan fleksibel dalam mencari pekerjaan. Generasi ini, yang lahir antara tahun 1997 dan 2012, dihadapkan pada pasar kerja yang kompetitif dan terus berubah.

Generasi Z juga harus mengembangkan soft skill yang sesuai dengan kebutuhan tempat kerja saat ini.


10. Pergeseran Makna Bekerja

Kurangnya daya serap tenaga kerja dari Gen Z di sektor formal bukan hanya semata soal standar gaji tapi juga ada pergeseran makna bekerja di kelompok usia tersebut.

Jenis pekerjaan tidak harus ada dan datang di kantor tapi bisa dari mana saja (Work From Anywhere) atau dari rumah (Work From Home). Tidak sedikit dari Gen Z yang lebih memilih bekerja secara fleksibel dan tidak wajib ke kantor dan kebanyakan model pekerjaan tersebut ada di industri kreatif.

Banyak pekerja yang memang lebih memilih untuk bekerja tidak harus di kantor tapi dimana saja secara remote. Pekerjaan formal tidak lagi menjadi hal menarik bagi Gen Z. Jadi kalau dari sisi akademisi, mereka bukan lebih sulit mendapatkan pekerjaan tapi ada pergeseran makna bekerja di anak-anak ini.

Pergeseran ini membawa sejumlah implikasi bagi dunia kerja dan pendidikan. Perusahaan perlu menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan preferensi generasi baru ini dengan menawarkan fleksibilitas kerja yang lebih besar.

Sementara itu, institusi pendidikan juga perlu mengadopsi kurikulum yang mempersiapkan mahasiswa untuk dunia kerja yang lebih dinamis dan fleksibel.


Cara Mengatasi Tantangan.

1. Peningkatan Keterampilan.

Gen Z dapat meningkatkan peluang mereka dengan mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan oleh industri, baik melalui pendidikan formal, pelatihan online, atau kursus singkat.


2. Pengalaman Magang dan Relawan.

Mengambil peluang magang atau pekerjaan sukarela dapat membantu membangun pengalaman kerja yang berharga dan memperluas jaringan profesional.


3. Optimalkan Aplikasi Kerja.

Belajar tentang cara menulis resume dan surat lamaran yang efektif serta mempersiapkan diri untuk wawancara dapat meningkatkan peluang diterima di perusahaan.


4. Membangun Jaringan.

Menghadiri acara networking, bergabung dengan komunitas profesional, dan aktif di platform seperti LinkedIn dapat membantu membangun jaringan yang kuat.


5. Realistis dengan Ekspektasi.

Meskipun penting untuk memiliki standar tinggi, fleksibilitas dalam ekspektasi awal karier dapat membuka lebih banyak peluang kerja.


Kesimpulan

Gen Z menghadapi berbagai tantangan dalam mendapatkan pekerjaan formal, mulai dari persaingan yang ketat hingga ketidakcocokan keterampilan dan ekspektasi yang tinggi. Namun, dengan pendekatan yang tepat, seperti peningkatan keterampilan, membangun jaringan, dan menyesuaikan ekspektasi, Gen Z dapat meningkatkan peluang mereka untuk sukses di pasar kerja. Melalui usaha yang gigih dan strategi yang tepat, generasi ini dapat mengatasi hambatan dan mencapai tujuan karier mereka.

Sunday, July 14, 2024

Film Twister (2024) dan Hubungannya dengan Climate Change


Sinopsis Film Twister (2024) dan Hubungannya dengan Film Twister (1996) serta Perubahan Iklim

Film "Twister" (2024) adalah sekuel yang sangat dinantikan dari film legendaris "Twister" (1996). Kedua film ini mengisahkan para pemburu badai yang mempertaruhkan hidup mereka untuk mempelajari fenomena tornado, tetapi "Twister" (2024) memberikan sudut pandang yang lebih modern dengan menyoroti dampak perubahan iklim terhadap intensitas dan frekuensi badai tornado. Artikel ini akan memberikan sinopsis film "Twister" (2024), membandingkannya dengan film pendahulunya, dan mengeksplorasi bagaimana keduanya berhubungan dengan isu perubahan iklim.

Sinopsis Film Twister (2024)

"Twister" (2024) mengikuti kisah sekelompok ilmuwan dan pemburu badai yang dipimpin oleh Dr. Sarah Stevens, seorang ahli meteorologi yang berdedikasi. Sarah adalah putri dari Jo Harding, tokoh utama dalam film "Twister" (1996). Setelah kehilangan ibunya dalam salah satu badai tornado paling dahsyat dalam sejarah, Sarah bertekad untuk melanjutkan penelitian ibunya dan menemukan cara untuk memprediksi dan mengurangi dampak tornado.

Cerita dimulai dengan Sarah dan timnya yang mengembangkan teknologi baru untuk mempelajari tornado secara lebih mendalam. Teknologi ini memungkinkan mereka untuk mengumpulkan data real-time dari dalam tornado, memberikan wawasan yang belum pernah ada sebelumnya tentang perilaku badai. Namun, penelitian mereka menghadapi banyak rintangan, termasuk skeptisisme dari komunitas ilmiah dan ancaman dari tornado yang semakin sering dan kuat akibat perubahan iklim.

Konflik utama dalam film ini adalah perjuangan Sarah untuk mendapatkan dukungan dan pendanaan untuk penelitiannya, sambil menghadapi tornado yang semakin merusak. Film ini menampilkan adegan-adegan spektakuler dari badai tornado yang lebih besar dan lebih berbahaya, serta menyoroti pentingnya kerja tim dan keberanian dalam menghadapi kekuatan alam yang tidak terduga.

Hubungan dengan Film Twister (1996)

"Twister" (1996) adalah film klasik yang mengikuti petualangan Jo Harding (diperankan oleh Helen Hunt) dan timnya dalam mengejar tornado di Midwest Amerika Serikat. Film ini dikenal dengan efek spesialnya yang mengesankan pada masanya dan menjadi salah satu film bencana alam paling ikonik.

Sekuel "Twister" (2024) menghormati warisan film pertama dengan melanjutkan cerita dari sudut pandang generasi berikutnya. Dr. Sarah Stevens, putri Jo Harding, membawa warisan ibunya dengan semangat yang sama untuk memahami dan memprediksi tornado. Selain itu, film ini juga mengangkat teknologi yang lebih canggih dan pendekatan ilmiah yang lebih modern, mencerminkan perkembangan dalam meteorologi selama hampir tiga dekade terakhir.

Hubungan dengan Perubahan Iklim

Salah satu tema sentral dalam "Twister" (2024) adalah dampak perubahan iklim terhadap fenomena cuaca ekstrem. Perubahan iklim telah terbukti meningkatkan frekuensi dan intensitas badai di banyak bagian dunia. Tornado, sebagai salah satu fenomena cuaca paling ekstrem, juga dipengaruhi oleh perubahan iklim ini.

Film ini menyoroti bagaimana peningkatan suhu global dan perubahan pola cuaca mempengaruhi pembentukan tornado yang lebih kuat dan lebih sering terjadi. Dengan menampilkan tornado yang lebih besar dan lebih berbahaya, "Twister" (2024) membawa perhatian pada urgensi memahami dan mengatasi perubahan iklim untuk mengurangi dampak bencana alam.

Melalui teknologi canggih yang dikembangkan oleh tim Sarah, film ini juga menunjukkan bagaimana ilmu pengetahuan dan teknologi dapat membantu kita memprediksi dan memitigasi dampak cuaca ekstrem. Ini mencerminkan realitas bahwa penelitian dan inovasi adalah kunci untuk mengatasi tantangan yang ditimbulkan oleh perubahan iklim.

Kesimpulan

"Twister" (2024) adalah sekuel yang tidak hanya menghormati film aslinya dari tahun 1996 tetapi juga membawa relevansi modern dengan menyoroti dampak perubahan iklim pada cuaca ekstrem. Dengan menggabungkan elemen-elemen klasik dari petualangan pemburu badai dengan teknologi dan pengetahuan ilmiah terkini, film ini memberikan pesan penting tentang perlunya memahami dan mengatasi perubahan iklim untuk melindungi planet kita dari bencana alam yang semakin parah.

Bagi para penggemar film bencana alam, "Twister" (2024) menawarkan aksi mendebarkan dan visual yang spektakuler, sementara bagi para pendukung lingkungan, film ini adalah pengingat akan pentingnya penelitian dan tindakan dalam menghadapi perubahan iklim. Dunia menanti petualangan Anda, sama seperti para pemburu badai ini yang berani mengejar badai demi masa depan yang lebih aman.


--


Tim ‘Twisters’ dalam Memasukkan Sains Akurat dan Perubahan Iklim ke dalam Film Terbaru: “Jika Kali Ini Kita Tidak Melakukannya dengan Benar, Ini Akan Menjadi Masalah Besar”

Sutradara Lee Isaac Chung bergabung dengan para ahli tornado di kehidupan nyata untuk berbincang di Hollywood Climate Summit.

Pada KTT Iklim Hollywood pada hari Rabu, sutradara Twisters Lee Isaac Chung, produser eksekutif Ashley Jay Sandberg dan aktor Brandon Perea bergabung dengan beberapa pakar tornado di kehidupan nyata untuk membahas bagaimana sains dan perubahan iklim dijalin ke dalam film mendatang.

Film baru ini merupakan pembaruan dari proyek tahun 1996 dengan nama yang sama, mengikuti para pemburu badai yang berjuang untuk hidup mereka saat beberapa tornado berkumpul di pusat kota Oklahoma. Penasihat teknis Kevin Kelleher, yang bekerja di National Severe Storms Laboratory, terlibat dalam film asli dan baru, dan mengakui bahwa dari sudut pandang ilmiah ada banyak ketidakakuratan dalam versi tahun 1996.

“Sekarang kita maju cepat ke 30 tahun dan semua orang punya ponsel. Mereka punya akses ke banyak data yang kami punya aksesnya, dan Anda punya radar, Anda punya segalanya. Dan jika Anda pernah ke Midwest atau tinggal di Midwest, Anda pasti tahu bahwa semua orang cukup waspada terhadap cuaca,” kata Kelleher dalam diskusi yang diadakan di Teater Samuel Goldwyn di Beverly Hills. “Jadi kalau kali ini kita tidak melakukannya dengan benar, itu akan menjadi masalah besar. Anda tidak ingin banyak orang yang mengetahui hal ini mulai mengatakan hal-hal negatif tentang [film tersebut]. Akan ada banyak perhatian terhadap hal ini dan saya sangat berharap kita bisa menyelesaikannya sebaik mungkin.”

Namun, dia mengakui bahwa ada sedikit hiasan Hollywood dalam alur cerita dan itu masuk ke dalam fiksi ilmiah pada titik tertentu, sementara juga memperingatkan akan adanya badai yang mengejar, “Sangat berbahaya untuk keluar dan melakukan hal-hal ini … jangan lakukan ini. .”

Badai ini sebagian besar berdampak pada bagian tenggara AS dan dapat menghancurkan kota-kota kecil, yang “tidak mendapat perhatian dibandingkan kota-kota besar yang terkena dampaknya, dan tidak memiliki sistem tanggap darurat,” lanjutnya. . “Saya tiba di kota-kota yang baru saja diratakan, dan orang-orang yang seharusnya melakukan penyelamatan juga sedang menggali reruntuhan. Saya berpikir, 'Bagaimana cara Anda mengatasinya?' Saya rasa ada cara yang bagus di sini, dengan hal-hal seperti ini, untuk memulai percakapan semacam itu dan menyadarkan fakta tersebut.”

Hollywood Climate Summit adalah konferensi lingkungan hidup tahunan yang dirancang untuk memperkuat kesadaran iklim di media dengan mendidik dan menghubungkan para profesional di bidang film, televisi, game, pemasaran dan periklanan, serta jurnalisme. Acara tahun ini berlangsung dari tanggal 25-28 Juni, dengan peserta termasuk Jane Fonda, Patty Jenkins, Shailene Woodley, Connie Britton dan Bill Nye.


Sumber :

https://www.hollywoodreporter.com/movies/movie-news/twisters-accurate-science-climate-change-updated-film-1235933640/

Related Posts