Tuesday, May 6, 2025

Gelombang Bangkrut : Potret Buram Dunia Usaha Indonesia 2020-2025

Bayangkan ribuan pabrik menutup pintu, ribuan pekerja kehilangan mata pencaharian, dan bank-bank runtuh satu demi satu—itulah wajah ekonomi Indonesia yang terguncang antara 2020 hingga 2025. Krisis ini bukan sekadar angka di laporan keuangan, tetapi pukulan nyata yang mengguncang fondasi hidup jutaan orang. Apa sebenarnya yang menyebabkan gelombang kebangkrutan ini, dan ke mana arah perekonomian Indonesia ke depan?

Memasuki tahun 2025, perekonomian Indonesia menghadapi dinamika yang kompleks, diwarnai oleh harapan pertumbuhan yang stabil dan tantangan global yang signifikan. Pada kuartal pertama 2025, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tercatat sebesar 4,87% secara tahunan, menandai laju terendah sejak kuartal ketiga 2021 dan penurunan dari 5,02% pada kuartal sebelumnya. Perlambatan ini dipengaruhi oleh ketegangan perdagangan global, terutama dengan Amerika Serikat, serta melemahnya permintaan domestik.

Konsumsi rumah tangga, yang menyumbang lebih dari separuh PDB, hanya tumbuh 4,89%, menjadi yang terendah dalam lima kuartal terakhir, meskipun bertepatan dengan musim Ramadan. Sementara itu, investasi tumbuh pada laju terendah dalam dua tahun, dan belanja pemerintah mengalami kontraksi. Di sisi lain, kontribusi ekspor neto membaik seiring penurunan impor, dan sektor pertanian menunjukkan pertumbuhan yang kuat, khususnya dalam produksi beras dan jagung.

Banyak perusahaan bangkrut selama pandemi covid-19 melanda dunia. Pandemi membuat perekonomian dunia dan Indonesia tertekan hingga masuk ke jurang resesi. Adapun dari data World Bank sebesar 60% perusahaan bisnis di dunia sudah mengalami kebangkrutan.

Tercatat dari lima pengadilan niaga yang ada di Indonesia, pada 2019, jumlah permohonan kepailitan dan PKPU tercatat hanya 435 pengajuan.

Proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun 2025 telah direvisi oleh berbagai lembaga internasional. Dana Moneter Internasional (IMF) menurunkan proyeksi pertumbuhan dari 5,1% menjadi 4,7%, sementara Bank Dunia juga menyesuaikan perkiraannya ke angka yang sama. Penurunan ini mencerminkan kekhawatiran terhadap ketidakpastian global, termasuk potensi tarif tinggi dari AS dan perlambatan ekonomi di China, mitra dagang utama Indonesia.

Penyebab perusahaan pailit (dinyatakan bangkrut secara hukum) umumnya karena ketidakmampuan membayar utang kepada dua atau lebih kreditur, yang telah jatuh tempo. Hal ini dapat terjadi karena berbagai faktor seperti ketidakmampuan mengelola perusahaan, kurang peka terhadap kebutuhan konsumen, berhenti melakukan inovasi, atau ekspansi berlebihan. 

Pemerintah Indonesia, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, menetapkan target ambisius untuk mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 8%. Namun, upaya ini dihadapkan pada tantangan struktural dan eksternal yang kompleks. Kebijakan efisiensi fiskal, termasuk pemotongan anggaran Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), telah mempengaruhi pembangunan daerah dan konsumsi rumah tangga. Selain itu, ketegangan perdagangan global dan perlambatan permintaan dari China menambah tekanan pada sektor ekspor Indonesia.

Bank Indonesia telah mengambil langkah-langkah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, termasuk pemotongan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin. Namun, ruang untuk pelonggaran moneter lebih lanjut terbatas oleh tekanan terhadap nilai tukar rupiah dan ketidakpastian pasar global. Oleh karena itu, koordinasi kebijakan antara pemerintah dan otoritas moneter menjadi kunci untuk menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan.

Pailit maupun bangkrut sejatinya dapat dilihat pada kondisi keuangan perusahaan. Pailit maupun bangkrut yang terjadi pada perusahaan dapat dihindari oleh pelaku bisnis.

Pailit dan bangkrut sering diartikan sama, padahal makanya berbeda dengan status hukum yang berbeda. Dari segi keuangan, pailit bisa saja terjadi pada perusahaan yang keuangannya dalam keadaan baik-baik saja, namun bangkrut terdapat unsur keuangan yang tidak sehat dalam perusahaan.

Meskipun menghadapi tantangan, Indonesia memiliki potensi untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang solid. Fokus pada diversifikasi ekspor, peningkatan investasi dalam sektor-sektor produktif, dan reformasi struktural dapat membantu mengatasi hambatan pertumbuhan. Dengan strategi yang tepat dan implementasi kebijakan yang efektif, Indonesia dapat memanfaatkan peluang di tengah tantangan global untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Dalam dunia bisnis, risiko kebangkrutan selalu menjadi ancaman nyata, tidak hanya bagi perusahaan kecil tetapi juga untuk perusahaan besar dan terkenal. Kebangkrutan bisa menjadi efek domino yang memengaruhi berbagai sektor, mulai dari pekerja, pemasok, hingga komunitas lokal.

Belajar dari penyebab kebangkrutan adalah langkah penting untuk memahami mengapa perusahaan-perusahaan besar ini gagal. Kebangkrutan sering kali berasal dari kombinasi faktor internal dan eksternal yang kompleks.

Kebangkrutan sering kali berasal dari faktor internal yang melibatkan manajemen, strategi, dan keuangan. Manajemen yang tidak efektif dapat menghasilkan keputusan yang buruk dan tidak tepat waktu, yang dapat memengaruhi seluruh organisasi. 

Selain itu, strategi bisnis yang tidak jelas dan tidak beradaptasi dengan perkembangan pasar akan menyulitkan perusahaan untuk bersaing. 

Pengelolaan keuangan yang buruk, termasuk utang yang tidak terkelola dengan baik dan arus kas yang tidak sehat, juga merupakan penyebab signifikan kebangkrutan. 


Sumber :

https://tentangpekerjaan.blogspot.com/2021/09/60-perusahaan-bangkrut-gegara-covid-19.html

https://www.cnbcindonesia.com/market/20231018164046-17-481667/perusahaan-bangkrut-ri-cetak-rekor-pengamat-sarankan-ini

https://www.hukumonline.com/berita/a/perbedaan-pailit-dan-bangkrut-lt62bc216145909/

https://www.tempo.co/ekonomi/sritex-dinyatakan-pailit-apa-saja-faktor-penyebab-pailit--1163354

https://grc-indonesia.com/4-perusahaan-besar-indonesia-bangkrut-analisis-dan-solusinya/

No comments:

Post a Comment

Related Posts