Friday, January 31, 2020
HARTA
Siapa yang lebih kaya?
Batman atau Iron Man?
Harta dan kekayaan selalu menjadi pusat perhatian. Bahkan paling menarik perhatian. The most! Tapiiiii, sebenarnya inti dari kehidupan ini bukanlah pada kekayaan. Melainkan pada kebermanfaatan dan rasa syukur.
Sering saya sampaikan di mana-mana, "Kekayaanmu mungkin membuat orang lain terkesan. Akan tetapi, hanya manfaatmu dan akhlakmu yang membuat orang lain turut mendoakanmu."
Kalau belum KAYA, gimana? Nggak masalah. Fokus saja pada manfaatmu dan akhlakmu. Sampai di sini, saya harap Anda setuju. Menebar manfaat dan memperbaiki akhlak, itulah amalan yang ditunggu-tunggu malaikat untuk dicatat.
Ingat, menjadi kaya perlu proses. Tapi, menjadi insan yang bermanfaat, tak perlu proses. Semua orang bisa melakukannya. Sekarang. Seketika. Sip? Sekiranya belum bisa besar, mulai saja dari hal kecil di sekitar kita. Terhadap keluarga. Terhadap mitra. Terhadap prospek. Insya Allah pasti bisa. Insya Allah pasti joss!
Ya, nggak harus sekaya Batman, Iron Man, atau Black Panther. Kita luaskan saja manfaat sebisa kita. Insya Allah pelan-pelan kita akan dikayakan. Lagi-lagi saya berharap Anda setuju dan yakin.
Ali bin Husein pernah berpesan, "Orang yang terkaya adalah orang yang menerima pembagian dari Allah dengan rasa senang (syukur)." Pesan ini memotivasi kita untuk selalu bersyukur. Kapanpun, di manapun. Sampai ke level quantum.
Pada akhirnya, semoga berkah berlimpah.
Sekian dari saya,
Ippho Santosa.
Tuesday, January 28, 2020
90/10 Principle
90/10 Principle dari Stephen Covey, yang mengatakan bahwa :
- 10% of life made up of what happens to you.
- 90% of life is decided by how you react
Prinsip Stephen Covey atau yang disebut juga sebagai 90/10 Rule ini adalah menangani sikap itu jangan hanya terfokus pada reaksi (bersifat reactive). Namun sangat penting untuk bersikap proactive dengan mencari sumber permasalahannya (root cause).
Cockroach Theory
Cockroach Theory adalah kisah inspiratif mengenai kecoa yang membahas mengenai bagaimana memandang setiap tantangan dalam kehidupan.
Kisah bermula dari sebuah restoran, seekor kecoa tiba-tiba terbang dari suatu tempat dan mendarat di seorang wanita. Dia mulai berteriak ketakutan. Dengan wajah yang panik dan suara gemetar, dia mulai melompat, dan sibuk mengusir sang kecoa.
Reaksinya menular, karena setiap orang di kelompoknya ketularan panik.
Wanita itu akhirnya berhasil membebaskan dirinya dari kecoa, namun kecoa itu lincah berpindah ke pundak wanita lain. Nah, sekarang wanita kedua itu yang melanjutkan drama kecoa ini.
Seorang pelayan wanita segera datang menenangkan tamunya. Dengan tenang diambilnya kecoa itu dan dilemparkannya keluar dari restoran.
Apakah kecoa itu yang bertanggung jawab untuk drama heboh mereka ?
Kok, pelayan itu tidak terganggu? Sama-sama perempuan, tapi reaksi berbeda terhadap kecoa?
Kenapa 2 wanita pelanggan restoran menjadi panik, sementara pelayan wanita tenang dan bisa mengusir kecoa nakal itu?
Artinya, jelas bukan kecoanya, tapi respon yang diberikan 2 wanita itulah yang menentukan ketidakmampuan kedua wanita dalam menghadapi kecoa itu yang membuat drama kekacauan.
Kecoa memang sangat menjijikkan, dan mau didandani seperti apapun tetap bau dan menjijikkan.
Begitu juga dengan berbagai masalah misalnya bos yang otoriter, kolega yang saling sikut atau hobby menjilat aatasan, kolega yang sirik, orang tua yang dominan, pasangan yang cerewet atau posesif.
Semua itu memang tidak menyenangkan, tapi bukan itu yang membuat hidup jadi kacau. Ketidakmampuan kita yang membuat masalah menjadi rumit.
Situasi diluar seharusnya tidak mengacaukan kita. Reaksi kita menghadapi masalah itulah yang telah menciptakan kekacauan dalam hidup kita, melebihi masalah itu sendiri. Dalam menghadapi masalah, kita sebaiknya tidak bereaksi tetapi merespon.
Reaksi selalu terjadi secara naluriah, sedangkan respon selalu dipikirkan baik-baik.
Do not go about life in a way that makes you seem powerless. It is not your circumstances that determine your life. It is your response to the circumstances.
Sumber :
https://medium.com/@neocody/cockroach-theory-e6d2472e1219
Monday, January 27, 2020
Cecak vs Laba-laba
Paradigma Umum (Barter Tenaga)
Cecak mendapatkan makanan harus selalu aktif dan bekerja keras, jika tidak maka tidak akan dapat makanan. Secara umum penghasilan orang seperti model cecak, yaitu barter tenaga, bekerja baru dapat penghasilan / penghasilan aktif.
Paradigma Sukses
Laba-laba mendapatkan makanan harus membangun aset berupa jaring-jaring, bekerja keras dan cerdas membangun sebuah aset. Saat jaring-jaring sudah terbentuk, kemudian laba-laba tinggal menunggu dan memetik hasil. Konsep adalah konsep penghasilan pasif.
Cecak mendapatkan makanan harus selalu aktif dan bekerja keras, jika tidak maka tidak akan dapat makanan. Secara umum penghasilan orang seperti model cecak, yaitu barter tenaga, bekerja baru dapat penghasilan / penghasilan aktif.
Paradigma Sukses
Laba-laba mendapatkan makanan harus membangun aset berupa jaring-jaring, bekerja keras dan cerdas membangun sebuah aset. Saat jaring-jaring sudah terbentuk, kemudian laba-laba tinggal menunggu dan memetik hasil. Konsep adalah konsep penghasilan pasif.
Manfaat Game
Suka main game? Ternyata ada manfaatnya. Tulisan ini kembali saya posting karena masih ada yang nanya-nanya.
Berikut 8 fakta soal kecanduan game yang dikutip dari berbagai penelitian dan publikasi:
Manfaatkah itu semua?
Nggak. Yang jelas, lebih besar mudharatnya.
Belum lagi kalau parent yang bermain game. Anak-anak akan meniru dan merekam dalam memorinya. Hati-hati. Sesuatu yang buruk kalau ditiru oleh anak, biasanya dilakukan kadar dengan jauh lebih parah. Karena itulah kemudian muncul pepatah 'guru kencing berdiri, murid kencing berlari'.
Kita sebagai parent hendaknya menjadi contoh dan teladan. Sekiranya kita selalu bermain game atau kesia-siaan lainnya, pesan yang kita kirim secara tidak langsung kepada anak adalah, "Nak, misalnya ada waktu luang, habiskan saja untuk hal yang sia-sia. Lihat saja Bapak, rutin melakukan hal yang sia-sia. Setiap hari, Nak."
Think.
Sekian dari saya, Ippho Santosa.
Berikut 8 fakta soal kecanduan game yang dikutip dari berbagai penelitian dan publikasi:
- Pada 2018, WHO secara resmi mengatakan kecanduan game adalah bentuk penyakit atau masalah kesehatan.
- Menurut Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa, dr Dharmawan, mereka yang kecanduan game menjadi tidak bisa berkonsentrasi ketika bekerja maupun belajar.
- Ilmuwan mengatakan 1 dari 25 orang, mengalami kecanduan game.
- Laki-laki lebih berisiko mengalami kecanduan game.
- Ketika bermain, tubuh mengeluarkan hormon dopamine. Ini yang membuat player ingin main dan main lagi. Kecanduan, itulah yang terjadi.
- Bermain game memberikan perasaan yang sama seperti ketika orang bermain judi. Kita sama-sama tahu bahwa ini adalah sesuatu yang buruk.
- Gejala kecanduan game adalah kehilangan minat untuk kehidupan sosial, merasa gelisah atau terganggu kalau tidak bisa bermain game, dan cenderung berbohong kepada teman dan keluarga tentang durasi bermain game. Dampaknya, menurunnya kemampuan analisa dan empati.
- Menurut jurnal Molecular Psychiatry, 85 persen orang yang main game action selama 6 jam lebih setiap minggu membawa dampak negatif pada hipokampus otak (pusat pembelajaran), dibandingkan mereka yang jarang main game. Pada akhirnya, kecerdasan dan empatinya merosot.
Manfaatkah itu semua?
Nggak. Yang jelas, lebih besar mudharatnya.
Belum lagi kalau parent yang bermain game. Anak-anak akan meniru dan merekam dalam memorinya. Hati-hati. Sesuatu yang buruk kalau ditiru oleh anak, biasanya dilakukan kadar dengan jauh lebih parah. Karena itulah kemudian muncul pepatah 'guru kencing berdiri, murid kencing berlari'.
Kita sebagai parent hendaknya menjadi contoh dan teladan. Sekiranya kita selalu bermain game atau kesia-siaan lainnya, pesan yang kita kirim secara tidak langsung kepada anak adalah, "Nak, misalnya ada waktu luang, habiskan saja untuk hal yang sia-sia. Lihat saja Bapak, rutin melakukan hal yang sia-sia. Setiap hari, Nak."
Think.
Sekian dari saya, Ippho Santosa.
Stay Focused to Multiple Projects at Once
How to Stay Focused If You’re Assigned to Multiple Projects at Once
Heidi K. GardnerMark Mortensen
November 07, 2017
Few people today have the luxury of working on a single project at a time; most of us are juggling the demands of many teams at once. In theory, this system of “multiteaming” offers a number of upsides: You can deploy your expertise exactly where and when it’s most needed, share your knowledge across groups, and switch projects during lull times, avoiding costly downtime.
The Overcommitted Organization
Why it’s hard to share people across multiple teams—and what to do about itThe reality, though, as we found in our research over the last 15 years, is a lot more complicated. For many people, getting pulled across several different projects is stressful and less productive than theory would suggest. Switching attention between tasks takes time and saps your focus and energy. Moving between teams, you probably also need to adjust to different roles — you might be the boss on one but a junior member of another, for example — which changes not only your level of accountability but also your ability to juggle resources when a crunch time hits. Different teams encompass their own unique cultures, including relationships, routines, symbols, jokes, expectations, and tolerance for ambiguity, which requires energy to handle. And unless you carefully plan and negotiate your contribution on each team, you may end up doing repetitive work instead of pushing your own development.
How can you manage your time, stress, and development if you’re on multiple teams? And how can you stay focused on what’s most important? Start with some up-front planning and follow a few simple rules:
Prioritizing and Sequencing Your Work
Get the big picture. Focusing narrowly on a given day’s work puts you in a reactive, firefighting mode. Schedule a regular status check on all your projects to note milestones. By proactively identifying crunch times when multiple projects have high demands, you can better manage your time and set expectations. The speed and demands of your projects determine the ideal frequency of check-ins, and the management style and seniority of your stakeholders sets the tone for establishing priorities when push comes to shove.
Sequence strategically. Pick one task and focus on it intensely, rather than juggling. Start with the task that requires the greatest concentration and give it your undivided attention. Decide on a distinct set of must-achieve outcomes, define which actions are necessary to achieve only those results, and ruthlessly stick to them. Research shows that attention residue — thoughts held over from a project you’re transitioning from — takes up valuable mental space, so the fewer switches you can make in a given day, the better. If you must multitask, then coordinate and group any compatible duties. For example, if you know you are going to need to answer phone calls at random intervals, work on another task that can be interrupted at any time.
Staying Focused
Setting and Communicating ExpectationsProtect yourself. When you’re focused on a high-priority task, buy yourself a mental escape from unnecessary intrusions. For example, when I’m writing — my highest-concentration task — I put an automatic reply on my email telling people I’m not checking messages till a certain time of day, and offering my mobile number in case of an emergency. By telling people not to expect an instant reply, you buy yourself some time to focus, while reassuring them that you will pay attention — later. Including your phone number signals your willingness to respond but also makes people think twice about whether their request truly needs immediate attention.
Document and communicate progress. Seeing momentum helps your team leaders feel empowered and in control. Be up front when problems arise. The earlier you say, “I’ve got a conflict and might have trouble delivering 100%,” the more leaders will trust you. One seasoned team member in our research said many of his responses to team requests are simply two words: “On it.” Even this super-brief response tells colleagues that he received their request, so they know he’ll follow up when he can provide more details.
Optimizing Your Development
Know thyself. A big downside of multiteaming is the truncated exposure to experts from different areas, reducing both your chance to learn from them and your ability to create an impression. Under time pressure, the temptation is for each person to contribute where they already have deep knowledge, rather than investing in members’ learning and growth. You need to own your development goals and your progress toward them. Figure out who else on the team you want exposure to. Make your development goals explicit, to both your team leader and those experts.
Force thyself. After identifying your development goals, block out time for actual learning. Research shows that a critical determinant of learning is time spent reflecting on and integrating new information. This is a challenge, because multiteaming forces us to jump between projects with the express goal of reducing downtime. Therefore, you need to intentionally and explicitly schedule time for reflection. Obviously, you can’t go overboard and become a bottleneck just to carve out contemplation time, but make sure team members see reflection as “real work.”
Across the world, the significant financial benefits of multiteaming mean it has become a way of life, particularly in knowledge work, despite the stresses and risks it can pose for people working across multiple teams at once. As one of those team members, you can manage the trade-offs of working in an overcommitted organization and reap some of the benefits yourself.
Sumber :
https://hbr.org/2017/11/how-to-stay-focused-if-youre-assigned-to-multiple-projects-at-once
Heidi K. GardnerMark Mortensen
November 07, 2017
Few people today have the luxury of working on a single project at a time; most of us are juggling the demands of many teams at once. In theory, this system of “multiteaming” offers a number of upsides: You can deploy your expertise exactly where and when it’s most needed, share your knowledge across groups, and switch projects during lull times, avoiding costly downtime.
The Overcommitted Organization
Why it’s hard to share people across multiple teams—and what to do about itThe reality, though, as we found in our research over the last 15 years, is a lot more complicated. For many people, getting pulled across several different projects is stressful and less productive than theory would suggest. Switching attention between tasks takes time and saps your focus and energy. Moving between teams, you probably also need to adjust to different roles — you might be the boss on one but a junior member of another, for example — which changes not only your level of accountability but also your ability to juggle resources when a crunch time hits. Different teams encompass their own unique cultures, including relationships, routines, symbols, jokes, expectations, and tolerance for ambiguity, which requires energy to handle. And unless you carefully plan and negotiate your contribution on each team, you may end up doing repetitive work instead of pushing your own development.
How can you manage your time, stress, and development if you’re on multiple teams? And how can you stay focused on what’s most important? Start with some up-front planning and follow a few simple rules:
Prioritizing and Sequencing Your Work
Get the big picture. Focusing narrowly on a given day’s work puts you in a reactive, firefighting mode. Schedule a regular status check on all your projects to note milestones. By proactively identifying crunch times when multiple projects have high demands, you can better manage your time and set expectations. The speed and demands of your projects determine the ideal frequency of check-ins, and the management style and seniority of your stakeholders sets the tone for establishing priorities when push comes to shove.
Sequence strategically. Pick one task and focus on it intensely, rather than juggling. Start with the task that requires the greatest concentration and give it your undivided attention. Decide on a distinct set of must-achieve outcomes, define which actions are necessary to achieve only those results, and ruthlessly stick to them. Research shows that attention residue — thoughts held over from a project you’re transitioning from — takes up valuable mental space, so the fewer switches you can make in a given day, the better. If you must multitask, then coordinate and group any compatible duties. For example, if you know you are going to need to answer phone calls at random intervals, work on another task that can be interrupted at any time.
Staying Focused
Setting and Communicating ExpectationsProtect yourself. When you’re focused on a high-priority task, buy yourself a mental escape from unnecessary intrusions. For example, when I’m writing — my highest-concentration task — I put an automatic reply on my email telling people I’m not checking messages till a certain time of day, and offering my mobile number in case of an emergency. By telling people not to expect an instant reply, you buy yourself some time to focus, while reassuring them that you will pay attention — later. Including your phone number signals your willingness to respond but also makes people think twice about whether their request truly needs immediate attention.
Document and communicate progress. Seeing momentum helps your team leaders feel empowered and in control. Be up front when problems arise. The earlier you say, “I’ve got a conflict and might have trouble delivering 100%,” the more leaders will trust you. One seasoned team member in our research said many of his responses to team requests are simply two words: “On it.” Even this super-brief response tells colleagues that he received their request, so they know he’ll follow up when he can provide more details.
Optimizing Your Development
Know thyself. A big downside of multiteaming is the truncated exposure to experts from different areas, reducing both your chance to learn from them and your ability to create an impression. Under time pressure, the temptation is for each person to contribute where they already have deep knowledge, rather than investing in members’ learning and growth. You need to own your development goals and your progress toward them. Figure out who else on the team you want exposure to. Make your development goals explicit, to both your team leader and those experts.
Force thyself. After identifying your development goals, block out time for actual learning. Research shows that a critical determinant of learning is time spent reflecting on and integrating new information. This is a challenge, because multiteaming forces us to jump between projects with the express goal of reducing downtime. Therefore, you need to intentionally and explicitly schedule time for reflection. Obviously, you can’t go overboard and become a bottleneck just to carve out contemplation time, but make sure team members see reflection as “real work.”
Across the world, the significant financial benefits of multiteaming mean it has become a way of life, particularly in knowledge work, despite the stresses and risks it can pose for people working across multiple teams at once. As one of those team members, you can manage the trade-offs of working in an overcommitted organization and reap some of the benefits yourself.
Sumber :
https://hbr.org/2017/11/how-to-stay-focused-if-youre-assigned-to-multiple-projects-at-once
Sunday, January 26, 2020
Struktur dan Fungsi Jabatan Inti pada Sebuah Startup
Struktur dan Fungsi Jabatan Inti pada Sebuah Startup yang Perlu Anda Ketahui
Walau merupakan perusahaan yang baru dirintis, penting bagi startup untuk memiliki struktur organisasi guna mendefinisikan peran dan tanggung jawab setiap individu dalam perusahaan tersebut. Mengutip dari buku StartupPedia karangan Anis Uzzaman, idealnya, semua startup yang sukses memiliki enam anggota inti: CEO, CTO, CFO, WP Pemasaran/Penjualan, CMO, dan COO. Berikut adalah penjelasan dan fungsi dari masing-masing anggota inti tersebut:
CEO (Chief Executive Officer)
Pemimpin startup dan bertindak sebagai perwakilan perusahaan tersebut.
Tanggung jawab CEO meliputi:
CTO (Chief Technical Officer)
Orang yang bertanggung jawab pada kualitas akhir, karena ia mengelola tim engineer selama prosesnya. CTO juga penting untuk bertindak sebagai ahli teknologi dan seorang pemimpin.
CFO (Chief Financial Officer)
Orang yang bertanggung jawab atas pelaporan, penggalangan dana, dan penganggaran. Pada tahap awal sebuah startup, ia juga bertanggung jawab pada penggajian dan sumber daya manusia.
Tanggung jawab CFO meliputi:
WP Penjualan (Wakil Presiden Penjualan)
Orang yang memiliki peran penting untuk menghasilkan keuntungan.
Tugas-tugas utama dari WP Penjualan adalah:
CMO (Chief Marketing Officer)
Orang yang bertanggung jawab mengembangkan strategi pemasaran perusahaan. CMO meliputi kehumasan, riset pasar, dan pencitraan. CMO bertanggung jawab menciptakan “wajah” perusahaan di depan pihak luar.
Tanggung jawab CMO meliputi:
COO (Chief Operating Officer)
Orang yang bertanggung jawab atas operasional internal perusahaan, seperti operasional kantor, karyawan, hingga bisnis.
Tanggung jawab COO meliputi:
Apakah semua itu perlu?
Jawabannya adalah iya dan tidak, karena struktur tergantung dari tipe dan tahapan perusahaan. Tidak, apabila sebuah startup masih dalam tahap awal, semua posisi di atas belum terlalu diperlukan. Karena pada tahap awal, CEO lah yang akan melaksanakan semua tanggung jawab yang dijelaskan di atas.
Sedangkan, iya, apabila sebuah startup sudah berada di tahap menengah ke atas seperti setelah mendapat investasi. Pada tahap tersebut, sebuah startup biasanya akan lebih gencar merekrut pegawai baru untuk mengembangkan dan memasarkan produk mereka. Pada saat itu, investor juga akan masuk ke dalam perusahaan tersebut sebagai Board of Director atau Dewan Direksi.
Sumber
https://id.techinasia.com/struktur-dan-fungsi-jabatan-pada-sebuah-startup
Walau merupakan perusahaan yang baru dirintis, penting bagi startup untuk memiliki struktur organisasi guna mendefinisikan peran dan tanggung jawab setiap individu dalam perusahaan tersebut. Mengutip dari buku StartupPedia karangan Anis Uzzaman, idealnya, semua startup yang sukses memiliki enam anggota inti: CEO, CTO, CFO, WP Pemasaran/Penjualan, CMO, dan COO. Berikut adalah penjelasan dan fungsi dari masing-masing anggota inti tersebut:
CEO (Chief Executive Officer)
Pemimpin startup dan bertindak sebagai perwakilan perusahaan tersebut.
Tanggung jawab CEO meliputi:
- Merancang dan mengomunikasikan visi perusahaan
- Memotivasi anggota tim
- Merekrut anggota tim
- Meramalkan tren pasar
- Menguraikan strategi bisnis perusahaan
- Membangun hubungan dengan investor
- Mengatur pembiayaan dan anggaran
CTO (Chief Technical Officer)
Orang yang bertanggung jawab pada kualitas akhir, karena ia mengelola tim engineer selama prosesnya. CTO juga penting untuk bertindak sebagai ahli teknologi dan seorang pemimpin.
- Menyatukan pengembangan produk
- Memahami perkembangan teknologi saat ini dan pengadopsiannya
- Mengelola pengembangan produk
CFO (Chief Financial Officer)
Orang yang bertanggung jawab atas pelaporan, penggalangan dana, dan penganggaran. Pada tahap awal sebuah startup, ia juga bertanggung jawab pada penggajian dan sumber daya manusia.
Tanggung jawab CFO meliputi:
- Membentuk strategi penggalangan dana
- Membuat keputusan yang berhubungan dengan sumber daya manusia
- Merumuskan dokumen keuangan
- Membahas kesehatan keuangan perusahaan dengan CEO
WP Penjualan (Wakil Presiden Penjualan)
Orang yang memiliki peran penting untuk menghasilkan keuntungan.
Tugas-tugas utama dari WP Penjualan adalah:
- Menghasilkan keuntungan
- Mengembangkan strategi pemasaran dengan CMO
- Memahami kebutuhan konsumen dan mengembangkan nilai tambah yang menarik
CMO (Chief Marketing Officer)
Orang yang bertanggung jawab mengembangkan strategi pemasaran perusahaan. CMO meliputi kehumasan, riset pasar, dan pencitraan. CMO bertanggung jawab menciptakan “wajah” perusahaan di depan pihak luar.
Tanggung jawab CMO meliputi:
- Mengembangkan strategi pemasaran
- Melaksanakan riset pasar
- Pencitraan
- Menciptakan kampanye kehumasan
COO (Chief Operating Officer)
Orang yang bertanggung jawab atas operasional internal perusahaan, seperti operasional kantor, karyawan, hingga bisnis.
Tanggung jawab COO meliputi:
- Mengatur perusahaan
- Bertindak sebagai penghubung antara karyawan dan CEO
- Mengatur bisnis inti
Apakah semua itu perlu?
Jawabannya adalah iya dan tidak, karena struktur tergantung dari tipe dan tahapan perusahaan. Tidak, apabila sebuah startup masih dalam tahap awal, semua posisi di atas belum terlalu diperlukan. Karena pada tahap awal, CEO lah yang akan melaksanakan semua tanggung jawab yang dijelaskan di atas.
Sedangkan, iya, apabila sebuah startup sudah berada di tahap menengah ke atas seperti setelah mendapat investasi. Pada tahap tersebut, sebuah startup biasanya akan lebih gencar merekrut pegawai baru untuk mengembangkan dan memasarkan produk mereka. Pada saat itu, investor juga akan masuk ke dalam perusahaan tersebut sebagai Board of Director atau Dewan Direksi.
Sumber
https://id.techinasia.com/struktur-dan-fungsi-jabatan-pada-sebuah-startup
Thursday, January 23, 2020
Gagal? Rugi?
Berjumpa teman-teman yang mengalami itu, saya langsung mengutip kata-kata dari guru saya, "Acapkali Tuhan bekerja dengan cara yang misterius. Kadang kita nggak tahu apa tujuan dan hikmahnya. Yang jelas, kita tahu bahwa Dia itu maha baik, satu kali pun tak pernah bertindak zalim."
Gagal. Rugi. Bangkrut.
Mungkin ini untuk membersihkan hati dan harta. Mungkin ini untuk menaikkan derajat. Mungkin ini untuk menggugurkan dosa. Mungkin ini untuk menegur kelalaian kita. Atau kemungkinan lainnya.
Sambung saya, "Jadi, tugas kita adalah berbaiksangka dan bersabar. Termasuk, besar harapan. Toh kita sama-sama menyadari, Allah adalah sebaik-baik perencana. Tidak ada rencana-Nya yang sia-sia. Insya Allah semua dalam bingkai kasih dan sayang-Nya."
Dan terakhir pesan saya, "Sesayang-sayangnya kita sama diri kita dan keluarga kita, TERNYATA Allah lebih sayang sama diri kita dan keluarga kita. Jauh lebih sayang, sangat penyayang, bahkan maha penyayang. Sekali lagi, tak mungkin Allah bertindak zalim."
Berbaiksangka dan bersabar, memang ini tidak mudah.
Apalagi ketika tagihan dan utang bertumpuk. Namun tidak ada salahnya kita upayakan. Sekiranya teman-teman kita atau keluarga kita tengah jatuh, berikan tulisan saya ini kepada mereka. Mudah-mudahan setelah membaca, bertambah-tambah baiksangka dan sabar mereka.
Setelah itu? Ajak mereka berbenah. Entah itu dari segi ikhtiar, amal, maupun akhlak. Kemungkinan besar, kita bisa jatuh karena kita mengabaikan satu atau beberapa faktor terpenting. Maka, benahi itu.
Tradisi kami di komunitas BP adalah introspeksi.
Introspection + Istighfar = Improvement
Sekian dari saya, Ippho Santosa.
Semoga berkah berlimpah.
Gagal. Rugi. Bangkrut.
Mungkin ini untuk membersihkan hati dan harta. Mungkin ini untuk menaikkan derajat. Mungkin ini untuk menggugurkan dosa. Mungkin ini untuk menegur kelalaian kita. Atau kemungkinan lainnya.
Sambung saya, "Jadi, tugas kita adalah berbaiksangka dan bersabar. Termasuk, besar harapan. Toh kita sama-sama menyadari, Allah adalah sebaik-baik perencana. Tidak ada rencana-Nya yang sia-sia. Insya Allah semua dalam bingkai kasih dan sayang-Nya."
Dan terakhir pesan saya, "Sesayang-sayangnya kita sama diri kita dan keluarga kita, TERNYATA Allah lebih sayang sama diri kita dan keluarga kita. Jauh lebih sayang, sangat penyayang, bahkan maha penyayang. Sekali lagi, tak mungkin Allah bertindak zalim."
Berbaiksangka dan bersabar, memang ini tidak mudah.
Apalagi ketika tagihan dan utang bertumpuk. Namun tidak ada salahnya kita upayakan. Sekiranya teman-teman kita atau keluarga kita tengah jatuh, berikan tulisan saya ini kepada mereka. Mudah-mudahan setelah membaca, bertambah-tambah baiksangka dan sabar mereka.
Setelah itu? Ajak mereka berbenah. Entah itu dari segi ikhtiar, amal, maupun akhlak. Kemungkinan besar, kita bisa jatuh karena kita mengabaikan satu atau beberapa faktor terpenting. Maka, benahi itu.
Tradisi kami di komunitas BP adalah introspeksi.
Introspection + Istighfar = Improvement
Sekian dari saya, Ippho Santosa.
Semoga berkah berlimpah.
Wednesday, January 22, 2020
Mendidik Siswa Milenial
1606 PARENTING RAK MUTU
Saya diundang ke acara seminar pola-asuh (parenting) di sebuah Sekolah Dasar. Temanya 'Mendidik Siswa Milenial'. Acaranya jam 9, tapi saya datang terlambat, jam 10 lebih. Saya masuk dari belakang dan duduk di bangku paling belakang, agar tidak mengganggu acara.
Saya menyimak sebentar dan saya langsung tertarik. Pembicaranya seorang wanita, seorang doktor psikologi. Cara membawakannya santai, bahasanya ringan, dibumbui humor dan kisah lucu. Contoh yang diangkat dari peristiwa sehari-hari; kadang dari keluarganya sendiri, anak-anaknya, kadang dari tingkah polah anak didiknya, mahasiswanya.
Saya sangat suka saat ia menunjukkan sebuah tabel yang memetakan: kelompok usia anak, perkembangan mental di kelompok usia tertentu, siapa yang berperan, dan apa yang terjadi jika pendidikan berhasil.
Di tahap usia 0-3 tahun, anak belajar tentang rasa percaya vs rasa curiga, yang paling berperan dalam kelompok usia ini adalah Ibu, jika pendidikan berhasil, tahap ini menghasilkan rasa optimis.
Usia 3-5 tahun, anak belajar mandiri vs ragu-ragu, yang paling berperan adalah Ayah dan Ibu, hasil pendidikan di tahap ini adalah kontrol diri dan motivasi.
Usia 5-7 tahun; anak belajar insiatif vs rasa bersalah; yang berperan Ayah, Ibu, saudara; hasilnya perilaku yang mudah diarahkan.
Usia 7-12 tahun; anak belajar motivasi kuat vs rendah diri; yang berperan Ayah, Ibu, Guru, teman; hasilnya pandai mengelola konflik.
Usia 13-19 tahun; anak belajar identitas diri vs kabur; yang berperan orang dewasa dan sahabat; hasilnya setia, rasa sosial tinggi, stabil, tidak mudah terpengaruh.
Usia 20-30 tahun; anak belajar keakraban vs isolasi; yang berperan pasangan hidup; hasilnya cinta keluarga.
Menarik, bukan?
"Maaf, bukannya saya menganggap peran guru sama sekali tidak ada. Saya juga guru," ujar sang psikolog meneruskan paparannya. "Tapi fungsi orangtua, terutama Ayah, tak tergantikan, bahkan oleh seribu guru sekalipun."
Hmm. Orangtua, terutama Ayah, tak tergantikan seribu guru.
"Orangtua harus mau berkorban, mengasuh dan menjaga sepenuhnya hingga anak umur 12 tahun, hingga SD," imbuhnya dengan bersemangat.
Okay.
"Karena setelah itu peran teman dan guru mulai membesar..."
Menarik.
"Jadi kalau ada anak SMP atau SMA nakal atau berulah, jangan cuman panggil orangtuanya, percuma," ujar sang psikolog mantap. "Panggil siapa?"
Dan kami menjawab serentak, "Temannya..."
"Bener!" Sang psikolog manthuk. "Panggil temannya, sahabatnya, ajak mereka bicara untuk membantu..."
Hmm...
"Kalo mahasiswa saya ada yang bermasalah, malas kuliah misalnya," ujar sang psikolog. "Saya ndak mungkin panggil orangtuanya, siapa saya panggil...?"
Dan kami pun ber-koor, "Pacarnya!"
"Bener!" Sang psikolog menganggukkan kepala dengan mantap.
Saya terus menyimak.
Benar apa yang dipaparkan si pembicara, lingkungan yang berperan dalam pertumbuhan mental seorang anak berubah dari waktu ke waktu, sesuai tahapan usia. Awalnya orangtua, lalu keluarga, lalu guru, teman, dan terakhir pasangan hidup.
"Hampir semua anak selalu ngefans sama papanya." Si pembicara meneruskan paparannya.
"Mereka sangat kecewa saat papanya gagal memenuhi tiga kriteria utama seorang ayah. Apa saja itu?," tanya nya dengan nada memancing.
Apa, ya? Saya ndak tahu. Naga-naganya topik ini sudah dibahas sebelum saya datang..
Seorang guru mengacungkan jari.
"Ya, apa saja, Pak?" Si pembicara menuding si bapak guru yang kini berdiri.
"Mencari nafkah," jawab si bapak guru.
"Bener, mencari nafkah."
"Mendidik karakter..."
"Ya, bener, dan yang ke-tiga?"
"Umm..." Si bapak guru tidak segera menjawab.
Lho, kok ragu?
"Mencintai istrinya..."
Oalah.
Saya tersenyum. Mencari nafkah, mendidik karakter anak, mencintai istri; tiga kriteria utama seorang ayah, seorang suami. Adakah yang belum kita penuhi?
Saya banyak belajar hari ini.
"Dan yang terpenting dilakukan bukan 'quality time', tapi 'quantity'. Bukan kualitas tapi kuantitas..."
Maksudnya?
"Lha ndak mungkin tiap kali punya 'quality time'," imbuh si pembicara. "Mosok kita mau bilang gini sama anak, 'Ayo, cepet-cepet, kamu mau ngomong apa sama mama, curhat apa? Ayo cepet, ini mama sejam lagi ada seminar. Cepet, cepet, kita quality time'..."
Kami ngakak. 'Quality time' tidak bisa dipaksa, disusu-susu, harus terjadi secara spontan, misterius, dan itu butuh waktu.
Kuantitas.
"Sama suami atau istri juga begitu. Mosok mau bilang, 'Ayo, Mah, kita quality time, yuk. Ngomong apa ya, enaknya?'..."
H0‡00„9H0‡30„9H0†90„9, kalau diskenario atau dipaksakan, malah garing, mati gaya.
Bubar.
"Saat kita bisa ngomong, guyon, cerita hal-hal yang lucu, ndak mutu, ndak berkualitas, terus kita bisa tertawa bareng, ngakak bareng, itulah quality time, itulah kualitas," tandas sang psikolog.
Bener.
Saat omongan kita, diri kita tampil rak mutu, 'quality time' tercipta. Karena saat 'rak mutu' itulah kita tampil sebagai pribadi yang seutuhnya, tulus, ikhlas, apa adanya, tanpa tedeng aling-aling.
Itulah kualitas terbaik kita sebagai manusia.
Saya diundang ke acara seminar pola-asuh (parenting) di sebuah Sekolah Dasar. Temanya 'Mendidik Siswa Milenial'. Acaranya jam 9, tapi saya datang terlambat, jam 10 lebih. Saya masuk dari belakang dan duduk di bangku paling belakang, agar tidak mengganggu acara.
Saya menyimak sebentar dan saya langsung tertarik. Pembicaranya seorang wanita, seorang doktor psikologi. Cara membawakannya santai, bahasanya ringan, dibumbui humor dan kisah lucu. Contoh yang diangkat dari peristiwa sehari-hari; kadang dari keluarganya sendiri, anak-anaknya, kadang dari tingkah polah anak didiknya, mahasiswanya.
Saya sangat suka saat ia menunjukkan sebuah tabel yang memetakan: kelompok usia anak, perkembangan mental di kelompok usia tertentu, siapa yang berperan, dan apa yang terjadi jika pendidikan berhasil.
Di tahap usia 0-3 tahun, anak belajar tentang rasa percaya vs rasa curiga, yang paling berperan dalam kelompok usia ini adalah Ibu, jika pendidikan berhasil, tahap ini menghasilkan rasa optimis.
Usia 3-5 tahun, anak belajar mandiri vs ragu-ragu, yang paling berperan adalah Ayah dan Ibu, hasil pendidikan di tahap ini adalah kontrol diri dan motivasi.
Usia 5-7 tahun; anak belajar insiatif vs rasa bersalah; yang berperan Ayah, Ibu, saudara; hasilnya perilaku yang mudah diarahkan.
Usia 7-12 tahun; anak belajar motivasi kuat vs rendah diri; yang berperan Ayah, Ibu, Guru, teman; hasilnya pandai mengelola konflik.
Usia 13-19 tahun; anak belajar identitas diri vs kabur; yang berperan orang dewasa dan sahabat; hasilnya setia, rasa sosial tinggi, stabil, tidak mudah terpengaruh.
Usia 20-30 tahun; anak belajar keakraban vs isolasi; yang berperan pasangan hidup; hasilnya cinta keluarga.
Menarik, bukan?
"Maaf, bukannya saya menganggap peran guru sama sekali tidak ada. Saya juga guru," ujar sang psikolog meneruskan paparannya. "Tapi fungsi orangtua, terutama Ayah, tak tergantikan, bahkan oleh seribu guru sekalipun."
Hmm. Orangtua, terutama Ayah, tak tergantikan seribu guru.
"Orangtua harus mau berkorban, mengasuh dan menjaga sepenuhnya hingga anak umur 12 tahun, hingga SD," imbuhnya dengan bersemangat.
Okay.
"Karena setelah itu peran teman dan guru mulai membesar..."
Menarik.
"Jadi kalau ada anak SMP atau SMA nakal atau berulah, jangan cuman panggil orangtuanya, percuma," ujar sang psikolog mantap. "Panggil siapa?"
Dan kami menjawab serentak, "Temannya..."
"Bener!" Sang psikolog manthuk. "Panggil temannya, sahabatnya, ajak mereka bicara untuk membantu..."
Hmm...
"Kalo mahasiswa saya ada yang bermasalah, malas kuliah misalnya," ujar sang psikolog. "Saya ndak mungkin panggil orangtuanya, siapa saya panggil...?"
Dan kami pun ber-koor, "Pacarnya!"
"Bener!" Sang psikolog menganggukkan kepala dengan mantap.
Saya terus menyimak.
Benar apa yang dipaparkan si pembicara, lingkungan yang berperan dalam pertumbuhan mental seorang anak berubah dari waktu ke waktu, sesuai tahapan usia. Awalnya orangtua, lalu keluarga, lalu guru, teman, dan terakhir pasangan hidup.
"Hampir semua anak selalu ngefans sama papanya." Si pembicara meneruskan paparannya.
"Mereka sangat kecewa saat papanya gagal memenuhi tiga kriteria utama seorang ayah. Apa saja itu?," tanya nya dengan nada memancing.
Apa, ya? Saya ndak tahu. Naga-naganya topik ini sudah dibahas sebelum saya datang..
Seorang guru mengacungkan jari.
"Ya, apa saja, Pak?" Si pembicara menuding si bapak guru yang kini berdiri.
"Mencari nafkah," jawab si bapak guru.
"Bener, mencari nafkah."
"Mendidik karakter..."
"Ya, bener, dan yang ke-tiga?"
"Umm..." Si bapak guru tidak segera menjawab.
Lho, kok ragu?
"Mencintai istrinya..."
Oalah.
Saya tersenyum. Mencari nafkah, mendidik karakter anak, mencintai istri; tiga kriteria utama seorang ayah, seorang suami. Adakah yang belum kita penuhi?
Saya banyak belajar hari ini.
"Dan yang terpenting dilakukan bukan 'quality time', tapi 'quantity'. Bukan kualitas tapi kuantitas..."
Maksudnya?
"Lha ndak mungkin tiap kali punya 'quality time'," imbuh si pembicara. "Mosok kita mau bilang gini sama anak, 'Ayo, cepet-cepet, kamu mau ngomong apa sama mama, curhat apa? Ayo cepet, ini mama sejam lagi ada seminar. Cepet, cepet, kita quality time'..."
Kami ngakak. 'Quality time' tidak bisa dipaksa, disusu-susu, harus terjadi secara spontan, misterius, dan itu butuh waktu.
Kuantitas.
"Sama suami atau istri juga begitu. Mosok mau bilang, 'Ayo, Mah, kita quality time, yuk. Ngomong apa ya, enaknya?'..."
H0‡00„9H0‡30„9H0†90„9, kalau diskenario atau dipaksakan, malah garing, mati gaya.
Bubar.
"Saat kita bisa ngomong, guyon, cerita hal-hal yang lucu, ndak mutu, ndak berkualitas, terus kita bisa tertawa bareng, ngakak bareng, itulah quality time, itulah kualitas," tandas sang psikolog.
Bener.
Saat omongan kita, diri kita tampil rak mutu, 'quality time' tercipta. Karena saat 'rak mutu' itulah kita tampil sebagai pribadi yang seutuhnya, tulus, ikhlas, apa adanya, tanpa tedeng aling-aling.
Itulah kualitas terbaik kita sebagai manusia.
Monday, January 20, 2020
Why B Students Make the Best Leaders
It's a balance of brains and people skills.
By Jim SchleckserCEO, Inc. CEO Project@incCEOProject
We live in a world where nearly every parent encourages their children to get good grades in school. Not only that, there might even be the expectation that their child get all A's--a perfect 4.0 grade point average--for their entire academic life. Anything less would be considered a disappointment (you know who you are, parents).
The belief, of course, is that unless a child performs well in school, they won't experience the same success in life as those children who get all A's.
Don't get me wrong: I am all for kids excelling in school. I've even encouraged my own kids to earn more A's on their report cards. But let's be clear: The ability to get A's in school demonstrates a highly refined ability to get A's in school and not success in business or leadership.
But, as a B student in college myself, there's a dirty little secret that a lot of parents, teachers, and students might want to know: A students don't grow up to lead companies. Matter of fact, they rarely go on to lead anything. It's the B students who actually make the best leaders.
Consider the study that West Point conducted on its graduates to see how their grades correlated with the kind of military career they enjoyed.
What the school found was that when it came to its graduates who eventually became general officers in the U.S. Army--people who lead thousands of people and manage budgets in the billions of dollars--a disproportionately high number of them were B students.
The point is that leading organizations rarely has anything to do with pure intellect alone. While A students can make great individual contributors, maybe as scientists, engineers, or professors, they may not have developed the same interpersonal skills that B students have.
When I was studying engineering as an undergrad, for example, I was never the smartest person in any of my classes. But, unlike my genius classmates who went on to much more distinguished academic careers, I learned what it took to lead and inspire people instead.
We all have friends who are super smart--but who almost might be too smart, which can make them hard to relate to. B students, however, have learned to flourish by using a combination of good-enough mental horsepower with a kind of emotional intelligence that gives them the ability to relate to and motivate people.
Not to overlook C students, but they tend to be wild cards. I remember a joke someone told me about a wealthy philanthropist who visits his alma mater. As he talks to a dean at the school, he shares this advice: Take care of your A students, because they'll become your professors. Also, take care of your B students, because they'll become your steady alumni donors. But really take care of your C students, because they're the ones who will most likely build a new library in their name because they're the entrepreneurial mavericks who will go on to start successful companies. The record $31 million donation to the University of Maryland by Oculus VR co-founder and UMD dropout Brendan Iribe demonstrates this nicely.
The point is that in today's education system, which treats learning like a post-industrial-age production line, it can be easy to fall prey to the idea that your child or student needs to get perfect report cards to find a successful career.
The truth is that there are skills that are far more important to success than grades, such as, as I've written before, learning to work and play well with others.
So when a student brings home a B on his or her report card, don't freak out. You might even consider celebrating the fact that you might have a future leader on your hands. And, kids, this article doesn't get you out of doing your homework. So get back to work!
PUBLISHED ON: DEC 11, 2018
The opinions expressed here by Inc.com columnists are their own, not those of Inc.com.
Sumber :
https://www.inc.com/jim-schleckser/why-b-students-make-best-leaders.html
By Jim SchleckserCEO, Inc. CEO Project@incCEOProject
We live in a world where nearly every parent encourages their children to get good grades in school. Not only that, there might even be the expectation that their child get all A's--a perfect 4.0 grade point average--for their entire academic life. Anything less would be considered a disappointment (you know who you are, parents).
The belief, of course, is that unless a child performs well in school, they won't experience the same success in life as those children who get all A's.
Don't get me wrong: I am all for kids excelling in school. I've even encouraged my own kids to earn more A's on their report cards. But let's be clear: The ability to get A's in school demonstrates a highly refined ability to get A's in school and not success in business or leadership.
But, as a B student in college myself, there's a dirty little secret that a lot of parents, teachers, and students might want to know: A students don't grow up to lead companies. Matter of fact, they rarely go on to lead anything. It's the B students who actually make the best leaders.
Consider the study that West Point conducted on its graduates to see how their grades correlated with the kind of military career they enjoyed.
What the school found was that when it came to its graduates who eventually became general officers in the U.S. Army--people who lead thousands of people and manage budgets in the billions of dollars--a disproportionately high number of them were B students.
The point is that leading organizations rarely has anything to do with pure intellect alone. While A students can make great individual contributors, maybe as scientists, engineers, or professors, they may not have developed the same interpersonal skills that B students have.
When I was studying engineering as an undergrad, for example, I was never the smartest person in any of my classes. But, unlike my genius classmates who went on to much more distinguished academic careers, I learned what it took to lead and inspire people instead.
We all have friends who are super smart--but who almost might be too smart, which can make them hard to relate to. B students, however, have learned to flourish by using a combination of good-enough mental horsepower with a kind of emotional intelligence that gives them the ability to relate to and motivate people.
Not to overlook C students, but they tend to be wild cards. I remember a joke someone told me about a wealthy philanthropist who visits his alma mater. As he talks to a dean at the school, he shares this advice: Take care of your A students, because they'll become your professors. Also, take care of your B students, because they'll become your steady alumni donors. But really take care of your C students, because they're the ones who will most likely build a new library in their name because they're the entrepreneurial mavericks who will go on to start successful companies. The record $31 million donation to the University of Maryland by Oculus VR co-founder and UMD dropout Brendan Iribe demonstrates this nicely.
The point is that in today's education system, which treats learning like a post-industrial-age production line, it can be easy to fall prey to the idea that your child or student needs to get perfect report cards to find a successful career.
The truth is that there are skills that are far more important to success than grades, such as, as I've written before, learning to work and play well with others.
So when a student brings home a B on his or her report card, don't freak out. You might even consider celebrating the fact that you might have a future leader on your hands. And, kids, this article doesn't get you out of doing your homework. So get back to work!
PUBLISHED ON: DEC 11, 2018
The opinions expressed here by Inc.com columnists are their own, not those of Inc.com.
Sumber :
https://www.inc.com/jim-schleckser/why-b-students-make-best-leaders.html
Friday, January 17, 2020
CROWD & CASH
Facebook (FB) dan Instagram (IG) adalah dua senjata penjualan andalan kita saat ini. Boleh dibilang, FB dan IG sekarang tengah ramai-ramainya, terutama IG. Ada keunikan di sana.
Apa itu?
Ibaratnya media, di FB dan IG, yang menjadi redaktur dan editornya adalah Anda. Ya, Anda. Pembacanya? Teman-teman Anda dan keluarga Anda. Mereka pun bisa me-reply. Interaktif. Di social media, begitulah cara kerjanya. Beda dengan koran biasa (koran fisik).
Orang-orang bisnis dan pemasaran mesti melek soal beginian.
Prinsip pemasaran itu kan sederhana. Di mana ada keramaian (crowd), di situlah entrepreneur dan marketer turut berada. Mendekat. Merapat. Dari sana bisa menghasilkan uang (cash). Pesan senior saya, "Mari kelola baik-baik akun Facebook dan Instagram kita. Sepertinya Facebook dan Instagram akan bertahan sangat lama dan semakin berpengaruh."
Di koran biasa, komunikasi hanya berlaku satu arah. Kalau di FB dan IG? Yah, dua arah. Interaktif.
Memiliki akun FB dan IG adalah langkah awal yang bijak. Maka aktiflah di sana. Tapi maaf, itu sama sekali tidak cukup. Kita harus belajar ilmu optimasi agar akun kita bisa muncul dan selalu muncul ketika netizen melakukan pencarian (search atau explore). Dan ini ada ilmunya. Optimasi nama ilmunya. Saat ini saya bikin training-nya hanya untuk mitra-mitra saya.
Berikut ini adalah beberapa tips IG untuk kita semua.
5 Cara Bertumbuh Secara Organik di IG
Siap praktek ya?
8 Alasan Kenapa Orang Unfollow Anda
1. Kurang keterlibatan (interaksi)
2. Posting yang tidak konsisten
3. Terlalu banyak posting dalam satu waktu
4. Kualitas video dan foto yang buruk
5. Postingan yang terlalu emosional
6. Posting hal dan gambar aneh
7. Tiba-tiba bicara di luar topik
8. Terlalu sering merepost
Semua hal ada ilmunya, termasuk mengelola Instagram.
Semoga bermanfaat.
Sekian dari saya, Ippho Santosa.
Apa itu?
Ibaratnya media, di FB dan IG, yang menjadi redaktur dan editornya adalah Anda. Ya, Anda. Pembacanya? Teman-teman Anda dan keluarga Anda. Mereka pun bisa me-reply. Interaktif. Di social media, begitulah cara kerjanya. Beda dengan koran biasa (koran fisik).
Orang-orang bisnis dan pemasaran mesti melek soal beginian.
Prinsip pemasaran itu kan sederhana. Di mana ada keramaian (crowd), di situlah entrepreneur dan marketer turut berada. Mendekat. Merapat. Dari sana bisa menghasilkan uang (cash). Pesan senior saya, "Mari kelola baik-baik akun Facebook dan Instagram kita. Sepertinya Facebook dan Instagram akan bertahan sangat lama dan semakin berpengaruh."
Di koran biasa, komunikasi hanya berlaku satu arah. Kalau di FB dan IG? Yah, dua arah. Interaktif.
Memiliki akun FB dan IG adalah langkah awal yang bijak. Maka aktiflah di sana. Tapi maaf, itu sama sekali tidak cukup. Kita harus belajar ilmu optimasi agar akun kita bisa muncul dan selalu muncul ketika netizen melakukan pencarian (search atau explore). Dan ini ada ilmunya. Optimasi nama ilmunya. Saat ini saya bikin training-nya hanya untuk mitra-mitra saya.
Berikut ini adalah beberapa tips IG untuk kita semua.
5 Cara Bertumbuh Secara Organik di IG
- Posting dengan data dan kata-kata yang positif. Kalau postingan negatif, orang-orang yang positif dan potensial akan unfollow.
- Upload setidaknya 1 postingan dan 4 story per hari. Ini menunjukkan keaktifan dan menjaga interaksi.
- Gunakan semua fitur yang ada di IG, seperti Video, IGTV, Stickers, dan Live. Setidaknya, gunakan dua di antaranya.
- Gunakan headline yang dominan dan mencuri perhatian. So, cukup pilih satu atau dua kata sebagai headline.
- Tetap pada niche kita. Fokus, fokus, fokus. Jangan gonta-ganti topik, tetaplah bahas satu topik.
Siap praktek ya?
8 Alasan Kenapa Orang Unfollow Anda
1. Kurang keterlibatan (interaksi)
2. Posting yang tidak konsisten
3. Terlalu banyak posting dalam satu waktu
4. Kualitas video dan foto yang buruk
5. Postingan yang terlalu emosional
6. Posting hal dan gambar aneh
7. Tiba-tiba bicara di luar topik
8. Terlalu sering merepost
Semua hal ada ilmunya, termasuk mengelola Instagram.
Semoga bermanfaat.
Sekian dari saya, Ippho Santosa.
Thursday, January 16, 2020
4 LAPIS YANG MENENTUKAN
Di setiap pembinaan ke mitra-mitra, panjang-lebar penjelasan yang saya berikan dan salah satunya tentang pergaulan dan lingkungan. Istilah lainnya, ekosistem. Saya percaya, bisnis yang bagus BUKAN soal tim dan sistem saja, tapi juga ekosistem.
Bergaul dengan siapa saja, boleh. Supel. Namun soal sahabat, jangan main-main. Mesti kita pilah dan pilih. Karena akan mempengaruhi akhak, amal, dan pendapatan kita. Nggak percaya? Coba ingat-ingat lagi kalimat hikmah berikut ini, "Bergaul dengan penjual wangi, dapat bau wanginya. Bergaul dengan pembakar besi, dapat bau bakarannya."
Dan menurut ilmu pengembangan diri, siapa Anda tercermin melalui lima orang sampai sepuluh orang yang terdekat dengan Anda. Nabi Muhammad pun wanti-wanti, "Kesolehan seseorang sesuai dengan kesolehan teman dekatnya. Hendaklah kalian melihat siapa yang menjadi teman dekatnya,¡± yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi.
Menariknya, sebanyak apapun teman Facebook Anda dan follower Instagram Anda, sebenarnya Anda hanya bisa memiliki lima orang teman yang benar-benar dekat dalam satu waktu. Apa iya? Iya! Pernyataan mengejutkan tersebut dibuktikan Robin Dunbar lewat penelitian antropologis.
Pada tahun 1990-an, Robin Dunbar menghelat penelitian akbar terhadap enam juta panggilan telepon dari 35 juta orang. Dia menganalisis hubungan seseorang dengan yang lainnya. Lalu, dia mencermati frekuensi menelepon satu sama lain dan mengkategorikan hubungan tersebut.
Hasilnya?
Berdasarkan penelitian ini, ia mengemukakan Teori Lapisan Dunbar. Teori tersebut menyatakan bahwa manusia pada dasarnya hanya mampu membangun hubungan yang berarti dengan maksimal 150 orang dan dibagi menjadi empat lapisan.
- Lapisan pertama adalah 4 sampai 5 orang sahabat terdekat.
- Lapisan kedua yaitu 11 orang terdekat.
- Lapisan ketiga yaitu 30 orang teman.
- Lapisan keempat yaitu 129 orang teman.
Karena bagi Anda tulisan ini sangat penting, Anda boleh men-share tulisan ini. Boleh sekarang, atau nanti saja begitu Anda selesai membacanya.
Uniknya, menurut Washington Post, orang-orang pintar biasanya memiliki teman lebih sedikit.
Salah satu sebabnya, seringkali pemikiran orang-orang pintar ini mengembara pada hal-hal yang sangat besar atau terkait masa depan (visioner), di mana khayalak awam lazimnya belum sanggup mengimbanginya.
Sekali lagi, terkait sahabat, jangan main-main. Mesti kita pilah dan pilih. Keberadaan mereka hendaknya mengarahkan kita pada impian kita, baik impian jangka pendek (dunia) maupun impian jangka panjang (akhirat). Insya Allah ekosistem di BP sangat memperhatikan dua hal itu, impian jangka pendek dan impian jangka panjang.
Pada akhirnya, bisnis yang bagus BUKAN soal tim dan sistem saja, tapi juga ekosistem. Insya Allah kita semua bisa menemukan bisnis yang tepat.
Sekian dari saya, Ippho Santosa.
Boleh di-share.
Bergaul dengan siapa saja, boleh. Supel. Namun soal sahabat, jangan main-main. Mesti kita pilah dan pilih. Karena akan mempengaruhi akhak, amal, dan pendapatan kita. Nggak percaya? Coba ingat-ingat lagi kalimat hikmah berikut ini, "Bergaul dengan penjual wangi, dapat bau wanginya. Bergaul dengan pembakar besi, dapat bau bakarannya."
Dan menurut ilmu pengembangan diri, siapa Anda tercermin melalui lima orang sampai sepuluh orang yang terdekat dengan Anda. Nabi Muhammad pun wanti-wanti, "Kesolehan seseorang sesuai dengan kesolehan teman dekatnya. Hendaklah kalian melihat siapa yang menjadi teman dekatnya,¡± yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi.
Menariknya, sebanyak apapun teman Facebook Anda dan follower Instagram Anda, sebenarnya Anda hanya bisa memiliki lima orang teman yang benar-benar dekat dalam satu waktu. Apa iya? Iya! Pernyataan mengejutkan tersebut dibuktikan Robin Dunbar lewat penelitian antropologis.
Pada tahun 1990-an, Robin Dunbar menghelat penelitian akbar terhadap enam juta panggilan telepon dari 35 juta orang. Dia menganalisis hubungan seseorang dengan yang lainnya. Lalu, dia mencermati frekuensi menelepon satu sama lain dan mengkategorikan hubungan tersebut.
Hasilnya?
Berdasarkan penelitian ini, ia mengemukakan Teori Lapisan Dunbar. Teori tersebut menyatakan bahwa manusia pada dasarnya hanya mampu membangun hubungan yang berarti dengan maksimal 150 orang dan dibagi menjadi empat lapisan.
- Lapisan pertama adalah 4 sampai 5 orang sahabat terdekat.
- Lapisan kedua yaitu 11 orang terdekat.
- Lapisan ketiga yaitu 30 orang teman.
- Lapisan keempat yaitu 129 orang teman.
Karena bagi Anda tulisan ini sangat penting, Anda boleh men-share tulisan ini. Boleh sekarang, atau nanti saja begitu Anda selesai membacanya.
Uniknya, menurut Washington Post, orang-orang pintar biasanya memiliki teman lebih sedikit.
Salah satu sebabnya, seringkali pemikiran orang-orang pintar ini mengembara pada hal-hal yang sangat besar atau terkait masa depan (visioner), di mana khayalak awam lazimnya belum sanggup mengimbanginya.
Sekali lagi, terkait sahabat, jangan main-main. Mesti kita pilah dan pilih. Keberadaan mereka hendaknya mengarahkan kita pada impian kita, baik impian jangka pendek (dunia) maupun impian jangka panjang (akhirat). Insya Allah ekosistem di BP sangat memperhatikan dua hal itu, impian jangka pendek dan impian jangka panjang.
Pada akhirnya, bisnis yang bagus BUKAN soal tim dan sistem saja, tapi juga ekosistem. Insya Allah kita semua bisa menemukan bisnis yang tepat.
Sekian dari saya, Ippho Santosa.
Boleh di-share.
Monday, January 6, 2020
JUJUR = MUJUR
Memiliki orangtua yang kaya memang membanggakan. Tapi dikaruniai orangtua yang jujur, amanah, dan bisa dipercaya lebih membanggakan.
Betul apa betul?
Kalau ngomong orangtua dan keluarga, biasanya kita selalu membahasnya dengan penuh perhatian. Bahkan sampai terharu. Begitulah, hampir semua orang membanggakan orangtuanya. Dan itu sah-sah saja karena demikian besar jasa mereka.
Didikan dari orangtua selama belasan tahun, membekas dalam hati kita, bahkan dalam tarikan nafas kita. Nggak heran kalau kemudian itu mewarnai keputusan-keputusan kita. Bahkan mempengaruhi peruntungan kita. Dan ini jamak terjadi pada siapa saja, termasuk Anda dan saya.
Sekarang, giliran kita yang menjadi orangtua, setidaknya calon orangtua. Maka bawa pulanglah rezeki yang baik-baik, yang bersih. Jangan sampai kepolosan anak-anak kita di rumah, kita kotori dengan rezeki yang tidak halal.
Jangan sampai.
Ingatlah, rezeki yang halal akan mempengaruhi peruntungan anak-anak kita dan keluarga kita. Sudah banyak contohnya. Apalagi kita ingin menjadi orangtua yang benar-benar dibanggakan oleh anak-anaknya.
Menurut riset Thomas Stanley, sikap jujur adalah salah satu faktor penentu menuju kesuksesan. Jujur yah mujur. Selanjutnya, menurut riset Anita Kelly dan Lijuan Wang dari University of Notre Dame, jika ingin hidup tenang dan sehat, maka berhentilah berbohong.
Ya, demikianlah faktanya!
Sukses atau tidak, terkenal atau tidak, kaya atau tidak, sudah semestinya kita berusaha menjadi orangtua yang bisa dibanggakan oleh anak-anak kita. Dengan apa? Dengan menjadi sosok yang jujur, amanah, dan bisa dipercaya, apapun latar belakang kita. Saya yakin, Anda setuju dengan saya.
Teman-teman setuju?
Pada akhirnya, saat kita jujur, anak pun akan merasa, "Aku adalah anak yang beruntung."
Mujur!
Sekian dari saya, Ippho Santosa.
Betul apa betul?
Kalau ngomong orangtua dan keluarga, biasanya kita selalu membahasnya dengan penuh perhatian. Bahkan sampai terharu. Begitulah, hampir semua orang membanggakan orangtuanya. Dan itu sah-sah saja karena demikian besar jasa mereka.
Didikan dari orangtua selama belasan tahun, membekas dalam hati kita, bahkan dalam tarikan nafas kita. Nggak heran kalau kemudian itu mewarnai keputusan-keputusan kita. Bahkan mempengaruhi peruntungan kita. Dan ini jamak terjadi pada siapa saja, termasuk Anda dan saya.
Sekarang, giliran kita yang menjadi orangtua, setidaknya calon orangtua. Maka bawa pulanglah rezeki yang baik-baik, yang bersih. Jangan sampai kepolosan anak-anak kita di rumah, kita kotori dengan rezeki yang tidak halal.
Jangan sampai.
Ingatlah, rezeki yang halal akan mempengaruhi peruntungan anak-anak kita dan keluarga kita. Sudah banyak contohnya. Apalagi kita ingin menjadi orangtua yang benar-benar dibanggakan oleh anak-anaknya.
Menurut riset Thomas Stanley, sikap jujur adalah salah satu faktor penentu menuju kesuksesan. Jujur yah mujur. Selanjutnya, menurut riset Anita Kelly dan Lijuan Wang dari University of Notre Dame, jika ingin hidup tenang dan sehat, maka berhentilah berbohong.
Ya, demikianlah faktanya!
Sukses atau tidak, terkenal atau tidak, kaya atau tidak, sudah semestinya kita berusaha menjadi orangtua yang bisa dibanggakan oleh anak-anak kita. Dengan apa? Dengan menjadi sosok yang jujur, amanah, dan bisa dipercaya, apapun latar belakang kita. Saya yakin, Anda setuju dengan saya.
Teman-teman setuju?
Pada akhirnya, saat kita jujur, anak pun akan merasa, "Aku adalah anak yang beruntung."
Mujur!
Sekian dari saya, Ippho Santosa.
Wednesday, January 1, 2020
Golden time
Apa persamaan mereka?
CEO Apple, Tim Cook
CEO Disney, Bob Iger
CEO Starbucks, Howard Schultz
CEO Twitter, Dan Dorsey
CEO Chrysler, Sergio Marchionne
CEO General Motors, Mary Barra
CEO Virgin America, David Cush
Founder Virgin, Richard Branson
Michelle Obama
Martha Stewart
Kris Jenner
Mereka semua ternyata gemar bangun pagi, bahkan bangun awal. Btw tulisan ini pernah saya posting beberapa minggu yang lalu dan hari ini kembali saya posting dengan sedikit tambahan. Karena memang penting.
Satu hal yang pasti, sejak lama, saya membiasakan bangun sebelum subuh. Istilahnya, bangun awal. Dan saya berharap ini menjadi tradisi juga di BP. Besar manfaatnya. Bagi saya, setengah jam sebelum subuh dan setengah jam setelah subuh, adalah waktu istimewa. Golden time.
Kok disebut istimewa? Yah, karena memang begitu. Apapun yang Anda kerjakan di waktu itu akan menjadi sesuatu. Apakah itu menyusun rencana, mengevaluasi hasil, menyapa tim, mengirim VN, menulis artikel, ataupun kesibukan-kesibukan produktif lainnya.
Tubuh yang baru bangun dan lagi segar-segarnya, lalu disergap dengan udara yang segar, wah benar-benar men-simsalabim-kan keadaan. Extra fresh! Nggak percaya? Yah, Anda coba saja. Bangun awal.
Awet muda, menyehatkan, menyegarkan, meringankan kesibukan, dan mengundang keberkahan, itulah manfaat-manfaat tersembunyi dari bangun lebih awal. Hm, berat? Kalau bangun awal aja susah, gimana mau bangun rumah tangga? Hehehe.
Mereka yang selalu telat bangunnya (setelah subuh) kemungkinan akan sering mengeluh karena sakit-sakit yang mungkin kesannya sepele. Misalnya pening dan lemas. Tapi jangan salah. Lama-lama ini nggak sepele lagi. Bisa parah.
Hati-hati, bangun telat lama-lama bisa mengganggu metabolisme tubuh. Selain itu, bisa memicu sakit kepala berterusan karena cairan serebrospinal bergerak menuju otak. Bukan itu saja, bangun telat juga bisa memicu masalah pencernaan dan kanker hati.
Pantaslah Nabi menganjurkan kita untuk bangun awal dan bergerak, nggak diam. Karena memang itu menyehatkan, mengundang rezeki, dan mengundang keberkahan. Itu janji Nabi. Daripada tersinggung, lebih baik Anda lakukan dan rutinkan saja, bangun awal. Nggak ada ruginya! Untung malah!
Siap? Sekian dari saya, Ippho Santosa.
CEO Apple, Tim Cook
CEO Disney, Bob Iger
CEO Starbucks, Howard Schultz
CEO Twitter, Dan Dorsey
CEO Chrysler, Sergio Marchionne
CEO General Motors, Mary Barra
CEO Virgin America, David Cush
Founder Virgin, Richard Branson
Michelle Obama
Martha Stewart
Kris Jenner
Mereka semua ternyata gemar bangun pagi, bahkan bangun awal. Btw tulisan ini pernah saya posting beberapa minggu yang lalu dan hari ini kembali saya posting dengan sedikit tambahan. Karena memang penting.
Satu hal yang pasti, sejak lama, saya membiasakan bangun sebelum subuh. Istilahnya, bangun awal. Dan saya berharap ini menjadi tradisi juga di BP. Besar manfaatnya. Bagi saya, setengah jam sebelum subuh dan setengah jam setelah subuh, adalah waktu istimewa. Golden time.
Kok disebut istimewa? Yah, karena memang begitu. Apapun yang Anda kerjakan di waktu itu akan menjadi sesuatu. Apakah itu menyusun rencana, mengevaluasi hasil, menyapa tim, mengirim VN, menulis artikel, ataupun kesibukan-kesibukan produktif lainnya.
Tubuh yang baru bangun dan lagi segar-segarnya, lalu disergap dengan udara yang segar, wah benar-benar men-simsalabim-kan keadaan. Extra fresh! Nggak percaya? Yah, Anda coba saja. Bangun awal.
Awet muda, menyehatkan, menyegarkan, meringankan kesibukan, dan mengundang keberkahan, itulah manfaat-manfaat tersembunyi dari bangun lebih awal. Hm, berat? Kalau bangun awal aja susah, gimana mau bangun rumah tangga? Hehehe.
Mereka yang selalu telat bangunnya (setelah subuh) kemungkinan akan sering mengeluh karena sakit-sakit yang mungkin kesannya sepele. Misalnya pening dan lemas. Tapi jangan salah. Lama-lama ini nggak sepele lagi. Bisa parah.
Hati-hati, bangun telat lama-lama bisa mengganggu metabolisme tubuh. Selain itu, bisa memicu sakit kepala berterusan karena cairan serebrospinal bergerak menuju otak. Bukan itu saja, bangun telat juga bisa memicu masalah pencernaan dan kanker hati.
Pantaslah Nabi menganjurkan kita untuk bangun awal dan bergerak, nggak diam. Karena memang itu menyehatkan, mengundang rezeki, dan mengundang keberkahan. Itu janji Nabi. Daripada tersinggung, lebih baik Anda lakukan dan rutinkan saja, bangun awal. Nggak ada ruginya! Untung malah!
Siap? Sekian dari saya, Ippho Santosa.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Related Posts
-
Teknik Motivasi Douglas McGregor: Teori X, Y, dan Z Teori X dan Teori Y adalah teori motivasi manusia diciptakan dan dikembangkan oleh ...
-
Di setiap pembinaan ke mitra-mitra, panjang-lebar penjelasan yang saya berikan dan salah satunya tentang pergaulan dan lingkungan. Istilah l...
-
Symmetry is a beautiful thing. Things that are symmetrical exist in perfect harmony. Each part is proportional, equal and inseparable. No pa...
-
Membentuk masyarakat yang sadar terhadap perubahan iklim, berarti akan memahami pentingnya menjaga wilayah laut dan pesisir. Hal itu akan te...
-
Konsultan bekerja tidak sendirian untuk itu konsultan harus bekerja bagus dalam tim. Proses brainstorming juga jelas melibatkan peer kita...