Tuesday, December 15, 2020

Kisah Sukses Coklat Silverqueen

Sejarah Di Balik Manisnya Coklat Silverqueen

Lelehan manisnya coklat Silverqueen pasti pernah Anda rasakan, bukan? Tahukah Anda sejarah manis dibalik perusahaan Coklat Silverqueen asal Garut ini?

Simak kisah sukses pemilik pabrik coklat Silverqueen yang berhasil menebar manisnya coklat Silverqueen yang mampu berekspansi dari Garut hingga ke Singapura bahkan Filipina dan Jepang.

Siapa yang tak kenal dengan manisnya rasa coklat Silverqueen. Sebuah merek cokelat yang tak asing lagi di lidah kita semua. Dengan berbagai varian dan kacang mede yang ada di dalamnya, coklat Silverqueen memang sudah jadi idola bagi banyak kalangan.

Bahkan coklat Silverqueen tak jarang menjadi sebuah kado atau bingkisan kecil yang biasa diberikan kepada orang-orang tercinta atau pasangan.

Tahukah Anda bahwa coklat Silverqueen adalah coklat buatan dalam negeri di mana pabriknya berasal dari kota Garut?

Dialah Ming Chee Chuang, seorang pria berkebangsaan Burma atau yang disebut Myanmar, konon tinggal di Garut dan membeli perusahaan cokelat NV Ceres dari orang Belanda. Ia membeli perusahaan ini pada tahun 50-an dan mengganti namanya menjadi PT Perusahaan Industri Ceres, yang kini menghasilkan coklat bernama Silverqueen.

Coklat Silverqueen yang kini banyak ditemui di berbagai toko dan swalayan adalah produk coklat asli Indonesia.

Pabriknya sendiri berawal dari kota Garut, sebuah pabrik cokelat yang tidak hanya memproduksi cokelat dengan brand Silverqueen, tetapi juga berbagai merek lainnya seperti Ritz, Delfi, Chungky, Jago, Wafer Briko, Top, Biskuit Selamat, dan Meises Ceres.

Berdasarkan sejarah berdirinya, pabrik cokelat yang dulunya bernama NV Ceres ini sebelumnya adalah milik orang Belanda.

Pada tahun 1942 ketika Jepang menjajah Indonesia, sang pemilik (orang Belanda) berusaha untuk kabur meninggalkan Garut dan mencual aset perusahaan cokelatnya degan harga yang murah.

Peluang ini dimanfaatkan oleh Ming Chee Chuang seornag pria asal Burma yang menetap di Bandung pada zaman kolonial.

Ia membeli Perusahaan cokelat NV Ceres tersebut dan mengganti namanya menjadi PT Perusahaan Industri Ceres.

Coklat Silverqueen diproduksi dengan campuran cokleat dengan kacang mede dan di tahun 1950, coklat ini diproduksi dalam bentuk batangan.

Sebuah inovasi dari kemustahilan karena membuat cokelat batangan di negara tropis dinilai tak mungkin, ditambah lagi belum ada teknologi yang mendukung.

Ming Chee Chuang tak habis akal dan berusaha mencari jalan keluar. Ia kemudian mencampur adonan cokelat dengan kacang mede yang membuat coklat Silverqueen terlihat kuat.

Berdasarkan komposisinya, coklat Silverqueen diproduksi dengan beberapa bahan dasar pilihan berkualitas, diantaranya yaitu:

Gula, Kacang Mete, Minyak Nabati, Kakao Massa, Tepung Terigu, Bubuk Kakao,Susu Bubuk, Lemak Kakao,  Beras Kripsi, Pengemulsi (Lesitin Kedelai PGPR), Bubuk Whey, Garam, Perisa Vanili & Antioksida BHT.

 

Tantangan Perkembangan Pabrik Coklat Silverqueen

Sekitar tahun 1950-an, pemerintah sempat mengeluarkan kebijakan mengenai Program Benteng. Program tersebut bertujuan untuk membina pengusaha Indonesia, dalam hal ini adalah kelas pengusaha Pribumi – non Tionghoa.

Program tersebut dicanangkan berdasarkan adanya tekanan politis, agar kekuasaan ekonomi diambil dari perusahaan swasta Belanda yang masih ada di Indonesia saat itu.

Intinya, para pengusaha pribumi mendapat fasilitas yang lebih baik daripada pengusaha asing yang memiliki usaha di Indonesia.

Bahkan, melalui Program Benteng tersebut ditentukan bahwa paling tidak 70% dari pemegangan saham perusahaan harus dimiliki oleh bangsa Indonesia asli.

Program Benteng tersebut jelas memberi tantangan tersendiri bagi Ming Chee Chuang yang bukan orang asli Indonesia.

Ia mengaku tidak mendapat fasilitas yang se-enak orang-orang asli Indonesia yang mendapatkan fasilitas khusus sebagai dampak dari Program Benteng tersebut.

Meski ia tidak mendapatkan fasilitas yang sama seperti orang pribumi, usaha Ming Chee Chuang bukan berarti mengalami kemunduran.

Malah pabrik yang tadinya berada di Garut, bisa berekspansi ke Kota Bandung di pertengahan tahun 1950-an.

Kala itu, diadakan Konferensi Asia Afrika (KAA) di tahun 1955 dan Ming Chee Chuang mendapatkan pesanan yang lumayan banyak untuk dihidangkan kepada para tamu undangan dalam acara besar tersebut.

Itulah yang membuat Ming Chee Chuang memindahkan pabriknya dari Garut ke Bandung.

Dari situ, nama Ming Chee Chuang semakin dikenal sebagai pembuat cokelat yang enak.

Julukan itu bukanlah tanpa alasan dan tanpa bukti. Saking enak dan lezatnya, cokelat buatan Ming Chee Chuang dipuji oleh Presiden Soekarno. Beliau tidak mau makan cokelat selain buatan Ming Chee Chuang.

Menanggapi hal itu, Ming Chee Chuang mengaku hanya meracik cokelat dengan bahan dasar sederhana, tidak ada yang istimewa. Hanya saja cara memainkan temperature alat pemanas cokelat saja yang butuh pengalaman dan keahlian khusus.


Warisan Coklat Silverqueen

Coklat Silverqueen semakin berkembang dan semakin dikenal luas. Ming Chee Chuang pun semakin bertambah usia dan perkembangan perusahaan yang ia miliki harus dilanjutkan oleh generasi selanjutnya.

Estafet kepemimpinan pun harus diwariskan Ming Chee Chuang kepada anak-anaknya.

Ming Chee Chuang mewariskan perusahaan coklat itu kepada John Chuan, anak laki-laki tertuanya.

Kini, John Chuang adalah CEO dari perusahaan yang juga bertugas dalam mengontrol keuangan perusahaan. Serta dibantu oleh adiknya Joseph Chuang yang mendapatkan bagian untuk mengurusi tentang food service dan berbagai urusan dalam pabrik.

Perusahaan coklat Silverqueen semakin berkembang di tangan generasi kedua Ming Chee Chuang. Di tangan anak-anaknya, perusahaan ini mendirikan perusahaan baru bernama Petra Food yang kantor pusatnya terletak di Singapura.

Dari tahun 1987 hingga 1989, perusahaan Ming Chee Chuang semakin naik daun hingga mampu melakukan pengadaan bahan baku yang dilakukan dari Thailand.

Di tahun 1987 pun perusahaan coklat keluarga Ming Chee Chuang ini juga terlibat dalam distribusi merek ketiga di Indonesia dan di tahun berikutnya mereka mampu mengekspansi bisnis di negara Filipina, termasuk dalam pengadaan dan pengolahan cokelat.

Selain itu, perusahaan ini pun mengadakan program kerja sama dengan industrial Jepang.

Berbagai merek produk andalan yang kini dikenal luas disamping coklat Silverqueen antara lain adalah Delfi, Ritz, Biskuit Selamat, Chunky, Wafer Briko, Top dan Meises Ceres.


Sumber :

https://www.finansialku.com/coklat-silverqueen/

Kisah Sukses Air Minum AQUA

Penuh Perjuangan, Ini Kisah Sukses Berdirinya Air Minum AQUA

Memulai sebuah bisnis bukanlah hal yang mudah, mempertahankannya apalagi, bisa lebih sulit. Tetapi pendiri AQUA, Tirto Utomo tak pernah menyerah dengan banyak cemooh yang ia hadapi.

Pria yang lahir 9 Maret 1930 ini mengawali bisnisya membuat air minum kemasan tatkala banyak tamu dari luar negeri yang berkunjung ke Indonesia namun kemudian mengeluh mengenai air minum yang disajikan. Bahkan, tamu-tamu tersebut merasa bahwa air minum yang disajikan tidak enak dan mengakibatkan beberapa dari mereka mengalami diare.

Saat itu, belum ada air minum kemasan seperti saat ini. Tetapi, air tanah yang direbus secara tradisional. Bahkan, bau tanah masih terasa.

Pria lulusan Hukum Universitas Indonesia ini mendirikan perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK) AQUA saat ia masih menjadi pegawai Pertamina pada awal tahun 1970-an. Ketika itu Tirto bertugas menjamu delegasi sebuah perusahaan Amerika Serikat. 

Namun, jamuan itu terganggu ketika istri ketua delegasi mengalami diare yang disebabkan karena mengkonsumsi air di Indonesia. Dari sinilah ide untuk memuat air putih kemasan di Indonesia berasal, pasalnya di Indonesia belum ada.

Tirto memutuskan untuk mengetahui secara langsung tentang cara membuat air minum kemasan ke Thailand. Akhirnya dengan modal sebesar Rp150 juta bersama adiknya, Slamet Utomo, mereka mendirikan pabrik di Bekasi pada tahun 1973 dengan nama PT. Golden Mississippi yang awal mulanya bernama Puritas.

Saat itu karyawan Tirto Utomo hanya berjumlah 38 orang dan hanya mampu memproduksi 6 juta liter pertahun. Akhirnya, Tirto pun memutuskan untuk pensiun dini dari PT Pertamina agar fokus kepada perusahaannya.

Nama AQUA sendiri dibuat atas masukan dari Eulindra Lim, Konsultan Indonesia yang bermukim di Singapura, nama tersebut dianggap mudah untuk diucapkan dan diingat.

Percobaan produksi dimulai pada agustus 1974 dengan produk pertamanya yakni AQUA botol kaca berukuran 950ml dan AQUA galon yang terbuat dari kaca juga. Perjuangan pun dimulai. Tak mudah memasarkan produk baru di Indonesia karena tentu saja belum banyak diminati dan belum populer.

Produk pertama AQUA diluncurkan pada 1 Oktober 1974. Saat itu minuman ringan berkarbonasi seperti Coca-Cola sedang naik daun sehingga gagasan menjual air mineral dianggap sebagai ide gila.

Awal produksi pun dianggap menjadi masa-masa yang sulit sampai orang tak mau mencoba AQUA karena mereka menganggap "untuk apa air minum mentah".

Tiga tahun pertama sangat berat bagi Tirto, penjualan pun merosot hingga Tirto sempat hampir menutup pabriknya karena masa depan AQUA yang tidak jelas. Padahal, segala upaya ia kerahkan sampai keluar dari tempat kerjanya yang nyaman di Pertamina. Tetapi yang ia dapatkan hanyalah penolakan dan cibiran.

Namun, Tirto tak ingin menyerah. Ia pun menerapkan ide gila dengan menaikkan harga AQUA hingga tiga kali lipat. Lalu, distribusi AQUA beralih dari masyarakat biasa ke perusahaan asing seperti perusahaan Korea yang saat itu sedang menangani proyek Tol Jagorawi.

Alhasil, pasar pun mulai terbuka, omset mulai naik. Orang-orang mulai percaya bahwa air minum AQUA merupakan air minum dengan kualitas tinggi.

Tirto pun mendistribusikan ke toko-toko pinggir jalan dengan menaruh 3 botol AQUA terlebih dahulu dan lihat proses pasar yang terjadi. Hasilnya luar biasa. Permintaan untuk AQUA semakin naik dan 3 botol yang tadinya didistribusikan secara gratis, kini mulai dikenai biaya untuk penjualan AQUA.

Hingga akhirnya berbuah manis dan AQUA mulai digunakan di restoran mewah dan perusahaan-perusahaan Indonesia.

Pada tahun 1982, AQUA juga mengganti bahan baku air yang digunakan dari yang semula menggunakan sumur bor beralih ke mata air pegunungan karena dianggap mengandung komposisi alami yang kaya nutrisi.

Salah satu kutipan dari Tirto Utomo sangat terkenal, yaitu:

"Banyak orang mengira bahwa memproduksi air kemasan adalah hal yang mudah. Mereka pikir yang dilakukan hanyalah memasukkan air kran ke dalam botol. Sebetulnya, tantangannya adalah membuat air yang terbaik, mengemasnya dalam botol yang baik dan menyampaikannya ke konsumen."


Sumber :

https://www.wartaekonomi.co.id/read301448/penuh-perjuangan-ini-kisah-sukses-berdirinya-air-minum-aqua/0

Related Posts