Transformasi dari Ibukota DKI menjadi Kota Otonom Baru.
Status Ibu Kota DKI Jakarta akan resmi dipindahkan ke Ibu Kota Negara (atau IKN) Nusantara ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Keputusan Presiden (atau Keppres) terkait perpindahan IKN ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
Jakarta, sebuah megapolitan yang selama ini dikenal sebagai Ibukota Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI), telah mengalami perubahan besar yang mengguncang landasannya. Sebuah keputusan historis telah mengubah identitasnya, menghapuskan status DKI dan menggantikannya dengan entitas baru yang menandai era baru dalam sejarah kota ini.
Dengan disetujuinya Rancangan Undang-Undang Otonomi Baru oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pengesahannya oleh Presiden, Jakarta kehilangan status DKI yang telah melekat padanya sejak lama. Dalam perubahan yang ditandai dengan perdebatan panjang dan kontroversial, Jakarta bertransformasi menjadi "Kota Otonom Baru", menciptakan arah baru bagi perkembangan kota yang penuh warna ini.
Akhirnya, DPR RI resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) menjadi UU pada Kamis, tanggal 28 Maret 2024. Pengesahan itu dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-14 yang digelar di Gedung Nusantara II Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Dengan disahkannya aturan ini, maka Jakarta tidak lagi menyandang status Daerah Khusus Ibukota (atau DKI). UU DKJ tetap memiliki kekhususan bagi Jakarta meski sudah tidak akan jadi ibu kota negara lagi.
Poin penting dari Undang-undang tersebut, adalah:
- Kedudukan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Jakarta telah diubah menjadi Provinsi Daerah Khusus Jakarta.
- Ibu Kota Provinsi DKJ ditetapkan pada Peraturan Pemerintah.
- Provinsi Daerah Khusus Jakarta merupakan daerah otonom pada tingkat provinsi.
- Provinsi Daerah Khusus Jakarta menjadi berkedudukan sebagai Pusat Perekonomian Nasional dan Kota Global.
- Fungsi Provinsi DKJ adalah sebagai Pusat Perekonomian Nasional dan Kota Global.
- Provinsi Daerah Khusus Jakarta sebagai Pusat Perekonomian Nasional dan Kota Global berfungsi sebagai pusat perdagangan, pusat kegiatan layanan jasa dan layanan jasa keuangan, serta pusat kegiatan bisnis nasional, regional, dan global.
Perubahan ini merupakan hasil dari serangkaian faktor kompleks. Pertumbuhan pesat dan tantangan yang dihadapi oleh Jakarta selama beberapa dekade terakhir telah menyebabkan tuntutan akan perubahan struktural yang lebih dalam. Sebagai kota terpadat di Indonesia, Jakarta telah menghadapi masalah serius terkait dengan kemacetan lalu lintas, banjir, polusi udara, dan ketimpangan sosial-ekonomi yang semakin memburuk.
Jakarta kedepan idealnya cukup sebagai daerah otonom murni. Keuntungannya, Jakarta akan lebih lincah dan kreatif guna mengembangkan diri sebagai wilayah perkotaan yang khas. Otonomi luas itu akan mendorong Jakarta mengembangkan diri sebagai kota bisnis nomor satu di Asia Tenggara. Titik berat otonominya akan memberi ruang yang lega bagi pengembangan sektor ekonomi, sosial budaya, dan politik lokalnya.
Pengembangan ekonomi perkotaan akan lebih mungkin jika Jakarta inklusif bagi ragam bisnis terbaik di dunia. Pulau-pulau reklamasi dan terpencil dapat menjadi penopang pariwisata. Sementara wilayah Tanah Abang dan Mangga Dua dapat menjadi sentral perdagangan international. Transportasi dan infrastruktur tentu saja menjadi tantangan tersendiri dalam mencipta mobilisasi urban ke sentra-sentra ekonomi.
Kebijakan otonomi baru bertujuan untuk memberikan Jakarta lebih banyak kewenangan dalam mengelola urusan lokalnya sendiri. Ini mencakup pengaturan keuangan, infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan layanan masyarakat lainnya. Dengan demikian, pemerintah kota diharapkan dapat merespons lebih cepat terhadap kebutuhan warganya dan mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi tantangan yang dihadapi.
Namun, perubahan ini tidak terjadi tanpa kontroversi. Sebagian penduduk Jakarta menyambut perubahan tersebut dengan optimisme, melihatnya sebagai langkah maju dalam memberdayakan kota untuk mencapai potensinya yang sebenarnya. Namun, ada juga kekhawatiran bahwa perubahan ini dapat menimbulkan konflik kepentingan antara pemerintah pusat dan pemerintah kota, serta membingungkan tata kelola administratif.
Pada tingkat praktis, perubahan status ini juga memengaruhi dinamika politik dan ekonomi di tingkat lokal dan nasional. Para pemimpin politik di Jakarta sekarang memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam menavigasi tantangan yang kompleks dan menyeimbangkan kepentingan beragam pemangku kepentingan.
Dalam beberapa bulan pertama setelah perubahan ini, telah terjadi serangkaian penyesuaian dan penataan ulang dalam administrasi kota. Hal ini termasuk restrukturisasi anggaran, peningkatan kemitraan antara pemerintah kota dan sektor swasta, serta perubahan dalam kebijakan lingkungan dan transportasi.
Dengan semua perubahan ini, warga Jakarta menantikan masa depan yang lebih cerah di bawah kepemimpinan kota yang baru. Terlepas dari tantangan yang ada, perubahan status menjadi Kota Otonom Baru memberikan kesempatan bagi Jakarta untuk menetapkan standar baru dalam pemerintahan kota, inovasi, dan pembangunan berkelanjutan.
Jakarta sebagai ibu kota dengan level megalopolitan menunjukkan adanya kestabilan di berbagai bidang. Kota strategis bangsa yang harus dijaga dengan segala daya upaya.
Kota besar megalopolitan kelas dunia tak mungkin dikelola dalam keadaan tak stabil. Pemerintahan daerah untuk wilayah perkotaan, terlebih yang sudah membesar, haruslah stabil. Ini bisa dijaga, salah satunya, dengan lebih mengandalkan demokrasi perwakilan ketimbang demokrasi langsung (representative democracy). Hal ini karena tipikal tata kelola kota-kota yang telah membesar cenderung menjadi market enabler oriented.
Pemindahan ibu kota negara dilandasi semangat yang baik untuk membangun Indonesia lebih merata. Pemindahan ibu kota sekaligus mengubah konsep pembangunan yang cenderung Jawa sentris menjadi Indonesia sentris. Dengan pemindahan ini, pemerintah terus mendorong Jakarta tetap menjadi pusat perekonomian dan kota global, serta melaksanakan kebijakan otonomi satu tingkat.
Pemerintah memandang penting adanya harmonisasi, penataan, serta evaluasi pembangunan kawasan aglomerasi yang menjadi satu kesatuan dengan banyaknya permasalahan bersama, mulai dari, polusi, lalu lintas, banjir, migrasi penduduk, hingga masalah kesehatan. Untuk itu, Pemerintah semula mengusulkan agar kawasan aglomerasi dipimpin oleh wakil presiden (wapres) sebagai Ketua Dewan Kawasan Aglomerasi.
Namun pada akhirnya, DPR bersama Pemerintah menyetujui rumusan baru dalam draf RUU DKJ, yakni agar ketua dan anggota Dewan Kawasan Aglomerasi dipilih oleh Presiden RI dengan tata cara penunjukannya diatur lebih lanjut dalam peraturan presiden.
Sejarah telah mencatat perubahan yang menandai langkah besar bagi Jakarta. Dalam perjalanan menuju masa depannya yang belum terjadi, Kota Otonom Baru berdiri sebagai lambang harapan, kemajuan, dan aspirasi bagi semua yang memanggil Jakarta sebagai rumah mereka.
Sudah saatnya Jakarta dinyatakan oleh bangsa Indonesia sendiri sebagai kota megalopolitan dan dijaga kestabilan otonominya. Kelak tanpa status ibu kota, Jakarta tetap menjadi kota hebat dunia yang didukung oleh kelembagaan yang mencerminkan kota modern dan maju.
Sumber :
https://kabar24.bisnis.com/read/20240328/15/1753517/dpr-sahkan-ruu-dkj-jadi-undang-undang-selangkah-lagi-jakarta-lepas-status-ibu-kota
https://video.kompas.com/watch/1345551/dpr-ri-sahkan-uu-dkj-jakarta-sudah-tidak-berstatus-dki
https://jakarta.ipdn.ac.id/?p=1551
https://fia.ui.ac.id/stabilitas-otonomi-jakarta/
https://www.kaltimprov.go.id/berita/pascaperpindahan-ibu-kota-negara-akmal-jakarta-tetap-daerah-khusus
https://www.antaranews.com/berita/4026543/mencari-kekhususan-jakarta-dalam-ruu-dkj-usai-tak-jadi-ibu-kota
https://www.tribunnews.com/nasional/2024/03/28/uu-dkj-disahkan-ini-fungsi-jakarta-setelah-tak-lagi-jadi-ibu-kota-negara.
No comments:
Post a Comment