Sunday, December 28, 2025

Siapa kita?

 Tubuh hanyalah casing atau avatar dalam sebuah permainan yang dinamakan dunia

Kita akan terjebak dalam avatar ini

Sehingga kita akan mengira dirinya bukan kesadaran tapi  peran atau terjebak dalam identitas fisik misal aku adalah pekerjaanku, aku adalah statusku, aku adalah pencapaianku

Kemudian kita akan menggantungkan rasa aman pada sesuatu yang bersifat fana, misal uang dan materi akan menjadi sumber ketenangannya, orang lain menjadi penopang jiwa, dan rencana menjadi sandaran hidup

Lalu terjebak ilusi kontrol, dimana kita akan merasa bahwa kita harus mengontrol segalanya, selain mengontrol dirinya sendiri bahkan mengontrol hidup orang lain

Siapa Kita?

Pertanyaan “siapa kita?” terdengar sederhana, tetapi justru menjadi salah satu pertanyaan paling sulit dijawab sepanjang sejarah manusia. Sebagian besar hidup kita dihabiskan untuk menjawab pertanyaan lain: kita bekerja sebagai apa, punya apa, sudah sampai di mana. Tanpa disadari, kita jarang berhenti untuk bertanya siapa sebenarnya yang sedang menjalani semua peran itu. Kita terlalu sibuk mengelola hidup, sampai lupa mengenali kesadaran yang sedang mengalaminya.

Tubuh yang kita miliki sering kali kita anggap sebagai diri kita sepenuhnya. Padahal, jika direnungkan lebih dalam, tubuh ini lebih mirip casing, wadah, atau avatar dalam sebuah permainan besar yang bernama dunia. Ia bergerak, menua, sakit, dan suatu hari akan selesai fungsinya. Namun ada sesuatu di balik tubuh ini yang selalu menyadari perubahan itu. Ada kesadaran yang tahu ketika tubuh lelah, pikiran kacau, atau emosi terluka. Kesadaran inilah yang sering kita abaikan, karena perhatian kita terlalu tertarik pada avatar yang tampak di permukaan.

Avatar dalam sebuah filosofi, terutama jika merujuk pada serial animasi atau filmnya yang kaya nilai, membahas keseimbangan alam, spiritualitas Asia (Buddha, Hindu, Taoisme), tanggung jawab, dan konflik kolonialisme, serta konsep inkarnasi ilahi dalam tradisi Hindu (Awatara). Filosofi ini mengajarkan hidup harmonis dengan semesta, mengendalikan diri (emosi), dan keharusan menjaga keseimbangan dunia. 

Masalahnya, kita mudah terjebak di dalam avatar ini. Kita mulai percaya bahwa kita adalah tubuh, jabatan, dan label sosial yang melekat. Kita mengatakan, “aku adalah pekerjaanku,” “aku adalah statusku,” atau “aku adalah pencapaianku.” Identitas fisik dan sosial ini lama-kelamaan terasa begitu nyata hingga kita lupa bahwa semuanya hanyalah peran. Ketika pekerjaan hilang, status turun, atau pencapaian memudar, kita merasa diri kita ikut runtuh. Padahal yang runtuh hanyalah peran, bukan kesadaran yang menjalankannya.

Karena merasa diri kita adalah peran dan identitas, kita pun mulai menggantungkan rasa aman pada hal-hal yang bersifat fana. Uang dan materi menjadi sumber ketenangan, seolah tanpa itu hidup kehilangan makna. Orang lain dijadikan penopang jiwa, seakan kebahagiaan kita sepenuhnya bergantung pada kehadiran atau pengakuan mereka. Bahkan rencana masa depan kita jadikan sandaran hidup, seolah tanpa kepastian esok hari, kita tidak sanggup bernapas hari ini. Kita lupa bahwa semua itu bisa berubah kapan saja, tanpa permisi.

Dari sinilah lahir ilusi kontrol. Karena takut kehilangan rasa aman, kita merasa harus mengendalikan segalanya. Kita ingin mengontrol hasil, keadaan, bahkan jalan hidup orang lain. Kita marah ketika realitas tidak sesuai rencana, kecewa ketika orang tidak berperilaku seperti yang kita harapkan, dan cemas ketika masa depan terasa tidak pasti. Ironisnya, semakin kita berusaha mengontrol segalanya, semakin lelah batin kita. Kita sibuk mengatur dunia, tetapi lupa mengelola diri sendiri.

Padahal, satu-satunya hal yang benar-benar bisa kita kendalikan adalah respons kita sendiri. Kesadaran kita terhadap apa yang kita rasakan, pikirkan, dan pilih di setiap momen. Ketika kita mulai menyadari bahwa kita bukan sekadar tubuh, bukan jabatan, bukan status, dan bukan pencapaian, ruang batin pun terbuka. Kita tetap bisa memainkan peran dengan sungguh-sungguh, bekerja dengan penuh tanggung jawab, dan mengejar tujuan hidup, tanpa harus kehilangan diri ketika semua itu berubah.

Menjawab pertanyaan “siapa kita?” bukan berarti menolak dunia, uang, relasi, atau rencana. Tetapi menyadari bahwa semua itu adalah bagian dari permainan, bukan sumber identitas sejati. Kita adalah kesadaran yang sedang mengalami hidup melalui sebuah avatar bernama tubuh, dalam dunia yang terus berubah. Ketika kesadaran ini hadir, hidup menjadi lebih ringan. Kita tidak lagi terlalu melekat, tidak terlalu takut kehilangan, dan tidak terlalu sibuk mengontrol.

Pada akhirnya, mungkin jawaban paling jujur dari pertanyaan “siapa kita?” adalah ini: kita bukan apa yang kita miliki, bukan apa yang kita capai, dan bukan peran yang kita mainkan. Kita adalah kesadaran yang menyaksikan semuanya datang dan pergi. Dan ketika kita mulai hidup dari kesadaran itu, dunia tetap sama, tetapi cara kita menjalaninya berubah sepenuhnya.

No comments:

Post a Comment

Related Posts