Wednesday, December 31, 2025

Benar Saja Tidak Cukup, Kita Juga Harus Baik

Berkaca dari Kasus Samuel vs Nenek Elina

Kasus Samuel versus Nenek Elina menjadi cermin yang cukup jernih bagi kehidupan sosial kita hari ini. Di atas kertas, persoalan ini tampak sederhana: ada pihak yang merasa berada di posisi benar secara hukum, aturan, atau prosedur. Namun ketika kasus itu dilihat dari sudut pandang kemanusiaan, rasa keadilan publik justru terusik. Di sinilah kita diingatkan bahwa kebenaran formal tidak selalu berjalan seiring dengan kebijaksanaan moral. Benar saja ternyata belum tentu cukup.

Dalam kehidupan modern, kita sering diajarkan untuk mengejar kebenaran versi kita sendiri. Kita berlomba membuktikan siapa yang paling sesuai aturan, siapa yang paling punya dasar hukum, dan siapa yang paling berhak. Sayangnya, dalam proses itu, empati sering tertinggal. Ketika seseorang berdiri di posisi yang “benar”, muncul godaan untuk merasa sah secara moral, bahkan ketika tindakan tersebut melukai pihak yang jauh lebih lemah. Kasus ini mengingatkan kita bahwa kebenaran yang kehilangan rasa kemanusiaan akan terasa dingin dan menyesakkan.

Nenek Elina, sebagai sosok lansia, secara simbolik merepresentasikan kelompok rentan dalam masyarakat. Ketika relasi kuasa tidak seimbang—antara yang kuat dan yang lemah, yang muda dan yang tua, yang paham sistem dan yang awam—maka kebenaran perlu ditemani kebijaksanaan. Tanpa itu, hukum dan aturan berubah menjadi alat yang sah, tetapi tidak selalu adil di mata nurani. Publik pun merespons bukan semata-mata pada siapa yang benar, melainkan pada siapa yang dianggap paling manusiawi.

Kasus ini juga mengajarkan bahwa kebaikan bukanlah kelemahan. Bersikap lunak bukan berarti kalah, dan mengalah bukan berarti salah. Dalam banyak situasi hidup, memilih untuk berbuat baik justru menuntut kedewasaan yang lebih tinggi dibanding sekadar berpegang pada pembenaran diri. Kebaikan adalah kemampuan untuk melihat konteks, memahami kondisi orang lain, dan menyadari bahwa tidak semua persoalan harus dimenangkan.

Di era media sosial, kebenaran sering dikemas dalam potongan narasi yang kaku. Siapa pun bisa menunjukkan pasal, aturan, atau argumen logis. Namun empati tidak bisa ditampilkan dalam tangkapan layar. Ia hadir dalam sikap, nada, dan pilihan untuk menahan diri. Ketika masyarakat bereaksi keras terhadap kasus seperti ini, sebenarnya yang sedang mereka suarakan bukan penolakan terhadap hukum, melainkan kerinduan pada keadilan yang lebih berperikemanusiaan.


Kebenaran Tanpa Empati Adalah Kekerasan

Dalam kehidupan sosial, kebenaran sering ditempatkan di posisi tertinggi, seolah ia berdiri sendiri dan cukup untuk membenarkan segala tindakan. Kita diajarkan untuk mencari siapa yang benar dan siapa yang salah, lalu menganggap persoalan selesai ketika kebenaran ditemukan. Namun realitas manusia tidak sesederhana itu. Ada satu elemen penting yang kerap terlupakan: empati. Tanpa empati, kebenaran justru bisa berubah menjadi alat yang melukai.

Kebenaran yang berdiri sendiri sering kali bersifat kaku. Ia berpegang pada aturan, data, dan logika, tetapi mengabaikan konteks manusia di baliknya. Ketika seseorang menggunakan kebenaran untuk menekan, mempermalukan, atau mengalahkan pihak yang lebih lemah, maka kebenaran tersebut kehilangan nilai moralnya. Ia mungkin sah secara hukum atau logika, tetapi terasa kejam secara kemanusiaan. Di titik inilah kebenaran berubah wajah, dari sesuatu yang mencerahkan menjadi sesuatu yang menyakiti.

Empati bukanlah upaya untuk membenarkan kesalahan, melainkan kemampuan untuk memahami kondisi manusia yang sedang berada di dalam sebuah situasi. Ia mengajak kita melihat bukan hanya apa yang terjadi, tetapi juga siapa yang mengalaminya. Tanpa empati, kita mudah terjebak dalam pembenaran diri. Kita merasa berhak bersikap keras hanya karena berada di posisi yang benar. Padahal, kekerasan tidak selalu berbentuk fisik; ia bisa hadir dalam kata-kata, keputusan, dan sikap yang merendahkan martabat orang lain.

Dalam masyarakat yang semakin terpolarisasi, kebenaran sering dijadikan senjata. Media sosial mempercepat proses ini. Siapa pun bisa mengutip aturan, potongan fakta, atau narasi sepihak untuk menyerang. Di ruang seperti ini, empati dianggap kelemahan, dan kepekaan dipersepsikan sebagai ketidaktegasan. Akibatnya, kita melahirkan budaya saling menghakimi, di mana menang argumen lebih penting daripada menjaga kemanusiaan.

Padahal, empati justru memperkaya kebenaran. Dengan empati, kebenaran menjadi lebih utuh dan bijaksana. Kita tidak hanya bertanya “apakah ini benar?”, tetapi juga “apa dampaknya bagi orang lain?”. Kita belajar bahwa tidak semua kebenaran harus ditegakkan dengan cara yang keras. Ada saat di mana mengalah bukan berarti salah, dan ada momen di mana menahan diri justru menunjukkan kedewasaan.

Kebenaran tanpa empati juga berbahaya karena menciptakan luka yang tidak terlihat. Orang mungkin patuh secara lahiriah, tetapi menyimpan rasa sakit, dendam, atau rasa tidak adil di dalam hati. Luka-luka inilah yang perlahan merusak kepercayaan sosial. Masyarakat menjadi dingin, relasi menjadi transaksional, dan rasa saling percaya terkikis. Semua itu berawal dari kebenaran yang ditegakkan tanpa mempertimbangkan rasa.

Pada akhirnya, tujuan kebenaran seharusnya bukan untuk menang, melainkan untuk menuntun. Ia hadir untuk memperbaiki, bukan mempermalukan; untuk menyadarkan, bukan menghancurkan. Empati adalah jembatan yang membuat kebenaran bisa sampai ke hati manusia, bukan sekadar ke pikiran. Tanpa jembatan itu, kebenaran akan jatuh sebagai kekerasan—sah, tetapi melukai.

Maka, dalam setiap posisi di mana kita merasa benar, ada satu pertanyaan penting yang perlu diajukan: apakah cara kita menyampaikan kebenaran ini masih menjaga martabat manusia? Jika jawabannya tidak, mungkin yang kita tegakkan bukan lagi kebenaran, melainkan ego yang bersembunyi di baliknya. Karena pada akhirnya, kebenaran sejati selalu berjalan beriringan dengan empati. Tanpa empati, ia kehilangan jiwanya.

Berkaca dari peristiwa ini, kita diajak untuk bertanya pada diri sendiri: ketika kita merasa benar, apakah kita juga sudah adil? Ketika kita punya kuasa, apakah kita menggunakannya dengan bijak? Dan ketika kita bisa menang, apakah kemenangan itu benar-benar perlu diraih? Pertanyaan-pertanyaan ini relevan bukan hanya dalam kasus besar, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari—di tempat kerja, di keluarga, dan dalam relasi sosial.

Pada akhirnya, hidup bukan sekadar soal siapa yang benar, tetapi siapa yang mampu menjaga kemanusiaannya. Kebenaran tanpa kebaikan akan terasa keras, sementara kebaikan tanpa kebenaran bisa menjadi naif. Yang dibutuhkan adalah keseimbangan: keberanian untuk berdiri pada prinsip, sekaligus kerendahan hati untuk berempati. Kasus Samuel vs Nenek Elina mengingatkan kita akan satu hal sederhana namun mendalam—menjadi benar itu penting, tetapi menjadi baik jauh lebih bermakna.

No comments:

Post a Comment

Related Posts