Monday, September 15, 2025

Benarkah Ekonomi Indonesia Tumbuh 5%?

Pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir kerap disebut stabil di kisaran 5 persen. Angka ini sering muncul dalam laporan Badan Pusat Statistik (BPS), pidato pemerintah, maupun analisis berbagai lembaga internasional. Namun pertanyaan yang muncul di masyarakat adalah: benarkah pertumbuhan ekonomi Indonesia benar-benar mencapai 5 persen, ataukah angka tersebut sekadar statistik yang tidak sepenuhnya menggambarkan realitas di lapangan? Keraguan ini wajar, karena bagi sebagian masyarakat, pertumbuhan ekonomi terasa belum sepenuhnya membawa perubahan signifikan dalam kesejahteraan mereka.

Kondisi ekonomi Indonesia yang meski secara data tumbuh 5,12 persen pada kuartal kedua tahun 2025, namun kondisi sesungguhnya tengah dalam kondisi darurat. Hal ini terlihat adanya penurunan kualitas hidup terjadi di berbagai lapisan masyarakat secara masif.

Pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen berarti Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia meningkat dengan stabil setiap tahunnya. Secara teori, angka ini cukup baik, mengingat banyak negara di dunia hanya mampu mencatat pertumbuhan di bawah 3 persen, terutama setelah pandemi Covid-19 dan ketidakpastian global. Namun, angka makro ini seringkali menyembunyikan ketimpangan. Sebagian besar pertumbuhan ekonomi ditopang oleh konsumsi rumah tangga, yang menyumbang lebih dari separuh PDB. Konsumsi memang penting, tetapi jika pertumbuhan hanya bergantung pada konsumsi, tanpa didukung peningkatan produktivitas, industrialisasi, dan ekspor bernilai tinggi, maka pertumbuhan tersebut rapuh dan tidak berkelanjutan.

Penjualan di sektor otomotif seperti mobil mengalami penurunan di beberapa bulan terakhir, begitu juga sektor properti yang mengalami kelesuan. Seandainya angka pertumbuhan benar 5 persen, maka mestinya pemutusan hubungan kerja (PHK) bisa ditekan.

Jika angka statistik 5 persen tersebut salah, maka akan dapat berdampak pada kebijakan pemerintahan. Dalam kondisi ini, kebijakan akan salah arah dan jauh dari realita yang dibutuhkan. Selain itu, jumlah lapangan kerja juga akan sangat terbatas jika ada kesalahan dari angka yang dirilis BPS.

Selain itu, distribusi pertumbuhan juga menjadi masalah utama. Pertumbuhan ekonomi 5 persen secara rata-rata tidak berarti seluruh masyarakat merasakan dampaknya secara merata. Di kota-kota besar, kelas menengah mungkin menikmati pertumbuhan melalui gaji yang meningkat, akses ke layanan digital, dan peluang usaha baru. Namun di daerah, terutama wilayah terpencil atau berbasis agraris, dampak pertumbuhan 5 persen ini seringkali tidak terasa. Inilah yang menimbulkan kesan paradoks: di atas kertas ekonomi tumbuh, tetapi daya beli masyarakat masih lemah, lapangan kerja berkualitas terbatas, dan ketimpangan pendapatan tetap tinggi.

Semen mencatat penjualan domestik mengalami penurunan 2,5 persen secara tahunan menjadi 27,7 juta ton pada semester satu tahun 2025 dibandingkan periode yang sama tahun 2024 lalu sebesar 28,48 juta ton.

Penyebab utama dari penurunan penjualan semen yaitu masih lemahnya daya beli masyarakat dan melambatnya proyek-proyek infrastruktur nasional. Adapun, penyebab penurunan penjualan semen saat ini juga masih menjadi tantangan utama untuk semester kedua tahun ini. Kondisi pasar saat ini masih oversupply sehingga utilisasi pabrik masih rendah sekitar 55,6 persen.

Faktor eksternal juga perlu diperhitungkan dalam membaca angka pertumbuhan 5 persen. Indonesia masih bergantung pada ekspor komoditas, terutama batu bara, minyak sawit, dan nikel. Harga komoditas global yang naik memang mendongkrak PDB, tetapi ini bukan pertumbuhan yang berbasis produktivitas jangka panjang. Jika harga komoditas anjlok, maka pertumbuhan bisa langsung tertekan. Artinya, angka pertumbuhan 5 persen tidak selalu mencerminkan kekuatan fundamental ekonomi, melainkan bisa dipengaruhi oleh fluktuasi eksternal yang sifatnya sementara.

Lebih jauh, jika melihat indikator lain seperti tingkat pengangguran terbuka, inflasi bahan pangan, dan gini ratio, terlihat bahwa pertumbuhan 5 persen belum sepenuhnya menjawab tantangan pembangunan. Pertumbuhan ekonomi seharusnya bukan hanya tentang besarnya angka, melainkan juga kualitasnya: apakah mampu menciptakan lapangan kerja baru, mengurangi kemiskinan, dan meningkatkan produktivitas nasional. Jika pertumbuhan 5 persen tidak diiringi dengan peningkatan kualitas manusia, inovasi, dan industrialisasi, maka Indonesia berisiko masuk ke dalam jebakan pertumbuhan menengah (middle income trap), di mana ekonomi tumbuh tetapi kesejahteraan stagnan.

Dengan demikian, pertanyaan “benarkah ekonomi Indonesia tumbuh 5 persen?” tidak bisa dijawab sekadar dengan data PDB resmi. Secara statistik, iya, Indonesia tumbuh stabil di kisaran itu. Namun secara substantif, masih ada banyak pekerjaan rumah agar pertumbuhan ini benar-benar inklusif dan berkelanjutan. Pertumbuhan ekonomi tidak boleh hanya menjadi retorika politik atau angka di atas kertas, melainkan harus diwujudkan dalam bentuk nyata: turunnya angka pengangguran, meningkatnya kualitas pendidikan dan kesehatan, serta berkurangnya ketimpangan antarwilayah. Hanya dengan cara itulah pertumbuhan 5 persen benar-benar bermakna bagi seluruh rakyat Indonesia.

No comments:

Post a Comment

Related Posts