Oleh: Argo Sangkaeng
Kilas balik melihat perjalanan pertumbuhan Indonesia merupakan suatu perjalanan waktu yang sangat berkesan. Tepatnya di era sekitar 2004 dan 2005, dimana dapat dikatakan sebagai puncak pertumbuhan ekonomi ritel di Indonesia. Pada saat itu banyak outlet baru bermunculan, baik outlet ritel elektronik, busana, hingga restoran dan kafe.
Bahkan Mega Supermartket pun meraih masa kejayaannya saat itu. Beberapa diantaranya adalah Hertz Chicken Buffet, Giant Supermarket, Jaringan Hero Supermarket, Seven Eleven, Carrefour, Hypermarts, Matahari Department Stores; dan outlet ritel tradisional pun masih menguasai pasar saat itu, yakni pusat-pusat perbelanjaan khusus seperti Duta Merlin, Glodok dan Mangga Dua.
Saat itu pusat perbelanjaan tradisional ini masih belum tergeserkan sebagai top of mind destination untuk elektronik maupun belanja grosir yang relatif murah di Jakarta.
Fast forward kembali ke tahun 2019, merupakan tahun yang penuh kejutan. Sebetulnya kejutan sudah di mulai sejak dua tahun sebelumnya, dimana outlet-outlet ritel dan pusat-pusat grosir mulai rontok satu per satu.
Sebut saja diantaranya jaringan ritel Seven Eleven yang menutup operasionalnya di Indonesia di tahun 2017, Hertz Chicken Buffet sudah tak tampak lagi. Mega Supermarket Giant kemudian baru saja mengumumkan menutup beberapa gerainya di Jakarta.
Hypermart dan Carrefour mulai mengurangi karyawannya mengikuti menurunnya pertumbuhan mereka serta pusat-pusat elektronik dan grosir mulai bergeser image nya sehingga tidak lagi menjadi top of mind bagi konsumen Indonesia, khususnya Jakarta.
Nama-nama besar tersebut saat ini telah tumbang dan kalah bersaing dengan unicorns yang baru bermunculan di Indonesia. Unicorn yang berbasis e-commerce yang lebih dinamis, lebih lincah serta lebih mengikuti perkembangan teknologi telah menggantikan posisi mereka.
Tentu saja banyak juga nama besar lain yang tetap masih ada, dan mereka survive karena ikut beradaptasi dengan teknologi dan dinamika perubahan yang ada saat ini. Sejarah telah membuktikan sekali lagi bahwa yang bertahan bukanlah yang paling besar, paling cepat atau paling kuat, melainkan yang paling bisa beradaptasi.
Mengamati perusahaan-perusahaan yang saat ini masih beroperasi dan bahkan makin berkembang, dapat dilihat ada satu kesamaan, yakni kemampuan beradaptasi. Kemampuan beradaptasi ini di tampilkan dalam kemampuan orang-orang di dalamnya yang ulet, tidak mau menyerah dan memiliki dorongan yang begitu kuat untuk tetap bertahan dan memberikan yang terbaik untuk organisasinya (agility).
Keunggulan inilah yang tampil dari organisasi-organisasi yang bertahan saat ini dan kekuatan ini merupakan buah dari Budaya Organisasi yang ditanam beberapa tahun bahkan puluhan tahun sebelumnya. Tidak bisa dipungkiri, budaya inilah salah satu hal yang membuat mereka bertahan dan sukses seperti saat ini. Ini adalah salah satu bukti juga bahwa budaya adalah salah satu kunci bagi perusahaan untuk menghadapi persaingan dan perubahan yang ada.
Dalam hal ini budaya merupakan hal yang mengikat seluruh elemen dalam organisasi tersebut dan sejalan/selaras dengan landscape organisasi baik saat ini maupun masa yang akan datang.
Itulah sebabnya, untuk dapat berhasil dengan baik, budaya wajib ditaati oleh seluruh elemen organisasi, terutama oleh seluruh manusia yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, bagi perusahaan-perusahaan tersebut, seleksi karyawan mejadi krusial. Penempatan karyawan yang tepat di posisi yang tepat dalam lingkungan yang tepatlah yang dapat memastikan kesinambungan organisasi.
Budaya Organisasi ini bukanlah sesuatu yang super canggih. Hal ini sudah ada sejak lama dan sudah dikenal oleh seluruh pelaku bisnis, khususnya di Indonesia. Dikenal oleh pelaku bisnis di Indonesia karena di sekitar tahun 2005, jika kita kilas balik kembali, adalah tahun dimana jargon ini menjadi top of mind saat itu.
Pada saat itu beberapa organisasi di Indonesia telah menjadi pusat studi kasus atas keberhasilannya menerapkan Budaya Organisasi, sebut saja PT Astra Internasional yang telah mengimplementasikannya sejak awal 1990an, serta beberapa organisasi perbankan seperti BCA, Bank Danamon dan lainnya yang juga telah membangunnya sejak beberapa tahun sebelumnya.
Namun demikian, tanpa bermaksud untuk menuduh atau menghakimi siapapun, saya telah melihat banyak kasus di mana ada juga beberapa organisasi yang menggunakan hal ini hanya sebagai ikut-ikutan trend saja. Mereka memang membangun budaya organisasi, bahkan dengan bantuan konsultan terbaik, tetapi sebetulnya tidak terlalu peduli terhadap hasil dan apalagi mau komitmen terhadapnya.
Jadi tidak mengherankan jika beberapa dari mereka yang kemudian hilang dari kancah bisnis di Indonesia saat ini. Sebaliknya, perusahaan yang mampu membangun organisasinya pada landscape yang benar, dengan budaya yang benar dan di berikan dukungan dan komitmen penuh dari setiap stakeholder di organisasi maka agility akan muncul di sana.
Kekuatan untuk bersaing akan muncul dan akhirnya, dibantu teknologi, mereka bisa lebiih siap mengantisipasi dan bahkan menang di era selanjutnya. Dalam hal ini Budaya organisasi memang hanya akan berhasil apabila ada keselarasan antara landscape perusahaan now and future serta komitmen dari seluruh manusia (top to bottom) yang ada didalamnya, yang mampu menggunakan teknologi sebagai enabler untuk menciptakan proses yang cepat dan tepat.
Sebaliknya jelas sekali bahwa seberapa “kuat”-pun budaya organisasinya, tapi apabila di berikan pada orang yang salah, maka failure bukan pilihan lagi, melainkan suatu kepastian bagi mereka, apalagi dalam era hyper competition di industry 4,0 saat ini.
Industri 4,0 saat ini kita tahu merupakan industri yang di bangun pada basis Digital. Oleh karena itu, agak aneh rasanya apabila ada, atau masih ada organisasi yang tidak mau membangun platform digital dalam proses bisnsisnya.
Sayangnya, waktu untuk membangun platform ini sangat sedikit, sebab tidak lama lagi era persaingan akan bergeser ke Industri 5,0. Lihat saja perkembangan teknologi yang ada. Baru saja kita menikmati teknology 4G dalam dunia teknologi komunikasi, kini teknologi 5G sudah mulai di install, dan bahkan teknologi 6G sudah dimulai risetnya.
Artinya, era digital akan semakin cepat cepat sehingga sesuatu yang saat ini masih tidak mungkin akan menjadi mungkin, bisnis platform yang tadinya tidak masuk akal, kemungkinan akan mulai bermunculan nantinya. Jadi apabila tidak segera ambil sikap, habislah.
Untuk bisa antisipasi hal ini, tidak ada pilihan selain memperkuat budaya di dalam organisasinya masing-masing. Budaya inilah yang akan menentukan orang-orang seperti apa yang ada di dalam organisasi dan budaya inilah yang akan memampukan adanya kreatifitas dan agility di dalam organisasi untuk bisa beradaptasi di kemudian hari.
Sekali lagi budaya ini merupakan kunci dalam keberhasilan organisasi tetapi budaya ini wajib di terjemahkan ke dalam pola pikir dan perilaku setiap manusia yang ada di dalam organisasi tersebut. Oleh karena itu setiap organisasi yang mau berhasil dengan budayanya dan untuk berhasil meraih masa depannya, wajib memilih orang-orangnya dengan lebih bijak lagi. Hal ini disebabkan karena budaya merupakan fungsi dari setiap orang di dalam organisasi.
Pertanyaannya adalah apakah budaya dapat di bangun sendiri? Bukankah budaya merupakan suatu proses yang panjang dan natural?
Tentu saja bisa, tetapi akan membutuhkan waktu yang lama. Betul akan memakan waktu yang lama sebagai proses yang natural, tapi dengan keseriusan dan komitmen, dapat di akselerasi. Membangun budaya secara teori sebetulnya mudah sekali. Semudah dengan mengikuti langkah-langkah berikut ini:
- Tentukan Strategic Intent organisasi (Tentukan kondisi yang diharapkan oleh setiap organisasi)
- Tentukan perilaku-perilaku apa saja yang wajib dimiliki oleh setiap stakeholder-nya
- Tentukan bagaimana karyawan atau supplier atau distributor menilai mereka saat ini dan terhadap Strategic Intentnya
- Bangun aturan yang jelas yang mendukung arah kebijakan organisasi
- Menyusun sistem yang dapat mendukung setiap proses yang ada dan juga untuk melindungi atau memperkuat perilaku baru yang sudah terbangun.
Kelima tahap ini sedemikian sederhananya sehingga semua orang sebetulnya dapat melakukannya. Tapi sayangnya tidak semua orang memiliki KOMITMEN yang sama untuk mewujudkan itu.
Itulah sebabnya mengapa Heidi Reeder mengatakan bahwa komitmen adalah dasar dari semua pencapaian yang luar biasa.
Komitmen adalah action bukan sekedar kata-kata (Jean-Paul Sartre). Jadi untuk membangun budaya yang kompetitif, sebetulnya mudah. Yang sulit adalah berkomitmen terhadapnya.
Bagaimana menurut Anda?
Sudah siapkah organisasi Anda?
Jakarta, Medio July 2019
Argo Sangkaeng
0818959221
No comments:
Post a Comment