Di India, berdiri megah sebuah bangunan yang menjadi simbol cinta sejati: Taj Mahal. Dibangun oleh Kaisar Mughal, Shah Jahan, untuk mengenang istrinya Mumtaz Mahal, monumen ini bukan hanya karya arsitektur luar biasa, tetapi juga simbol dari keabadian perasaan manusia.
Namun di balik keindahannya, Taj Mahal juga menyimpan pertanyaan yang tak pernah usang: “Apakah cinta dan kebahagiaan selalu datang bersamaan?”
Kita hidup di zaman yang serba cepat, serba sibuk, dan serba ingin. Banyak orang mengejar kebahagiaan, tapi tak tahu bentuknya seperti apa. Mungkin itulah mengapa pertanyaan sederhana seperti “Apa itu bahagia?” terasa begitu sulit dijawab dengan jujur.
Bahagia: Antara Waktu, Uang, dan Kehampaan
Coba kita lihat sekeliling. Ada orang yang punya waktu, tapi tidak punya uang. Mereka bisa istirahat, bisa menikmati sore, tapi tidak bisa pergi ke tempat yang mereka impikan. Kadang, rasa tenang mereka terganggu oleh tagihan yang belum terbayar, atau mimpi yang tertunda karena keterbatasan finansial.
Lalu, ada juga yang punya uang, tapi tidak punya waktu.
Mereka bekerja tanpa henti, berpacu dengan target, karier, dan ambisi. Rumahnya megah, mobilnya banyak, tapi hari-harinya terasa sempit. Hidupnya penuh jadwal, tapi kosong dari rasa.
Dan ada pula yang punya uang dan waktu, tapi tidak punya pasangan.
Mereka bisa liburan kapan pun, bisa membeli apa pun, tapi tetap merasa ada ruang kosong di dada yang tak bisa diisi oleh apa pun selain kehadiran seseorang yang dicintai.
Semua ini menunjukkan bahwa kebahagiaan tidak bisa diukur dari satu dimensi saja. Bukan hanya uang, bukan hanya waktu, dan bukan pula hanya cinta. Bahagia adalah ketika ketiganya bertemu dalam keseimbangan.
Taj Mahal: Cinta Abadi atau Duka yang Tak Selesai?
Bila kita kembali merenung pada kisah Taj Mahal, monumen itu memang dibangun atas dasar cinta yang mendalam. Tapi ironisnya, Taj Mahal juga lahir dari rasa kehilangan. Shah Jahan membangun monumen itu bukan ketika bahagia, melainkan ketika berduka.
Maka pertanyaannya: apakah kebahagiaan sejati selalu datang dari memiliki, atau justru dari menghargai apa yang pernah ada?
Mungkin, Taj Mahal adalah simbol paradoks kehidupan — bahwa sesuatu yang indah bisa lahir dari kesedihan, dan sesuatu yang abadi bisa tumbuh dari kehilangan. Begitu pula dengan hidup kita: sering kali, baru setelah kehilangan waktu, uang, atau orang tercinta, kita sadar betapa berharganya kebahagiaan sederhana yang dulu sering kita abaikan.
Kebahagiaan Tidak Dicari, Tapi Diciptakan
Banyak orang menghabiskan hidup mengejar bahagia, seolah itu tujuan akhir yang bisa dicapai di ujung jalan. Padahal, bahagia bukan tujuan — ia adalah cara berjalan.
Ia ada dalam hal-hal kecil yang sering kita lewatkan: secangkir kopi hangat di pagi hari, tawa bersama teman lama, atau sekadar waktu tenang untuk bernapas tanpa dikejar apa pun.
Ketika kita punya waktu, gunakan untuk hal-hal yang bermakna.
Ketika kita punya uang, gunakan untuk berbagi dan menciptakan kenangan.
Dan ketika kita punya cinta, rawatlah seperti Shah Jahan merawat kenangan tentang Mumtaz — bukan dengan batu marmer, tapi dengan ketulusan yang bertahan melewati waktu.
Bahagia Itu Tentang Merasa Cukup
Mungkin kebahagiaan tidak terletak pada berapa banyak yang kita punya, tapi pada seberapa dalam kita merasa cukup.
Taj Mahal mungkin berdiri megah sebagai simbol cinta, tapi kebahagiaan sejati tidak selalu membutuhkan monumen besar. Ia cukup hadir dalam hati yang tenang, dalam hidup yang seimbang, dan dalam rasa syukur yang sederhana.
Karena pada akhirnya, setiap orang punya versi Taj Mahal-nya sendiri —
sebuah kisah, seseorang, atau bahkan momen yang membuatnya mengerti bahwa bahagia bukan tentang memiliki segalanya, tapi tentang menyadari betapa berharganya yang kita miliki saat ini.
No comments:
Post a Comment