Wednesday, May 14, 2025

Gelombang PHK Awal 2025

73.992 Pekerja Terdampak, Apindo Soroti Akar Masalah Ekonomi

Awal tahun 2025 membawa angin suram bagi dunia ketenagakerjaan di Indonesia. Menurut data yang dihimpun oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), sebanyak 73.992 pekerja telah mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) hanya dalam kurun waktu tiga bulan pertama, yakni dari Januari hingga Maret 2025. Angka ini menjadi alarm serius tentang kondisi riil dunia usaha dan ekonomi nasional yang masih diliputi ketidakpastian dan tekanan.

Apindo menyampaikan bahwa gelombang PHK tersebut tidak hanya terjadi di sektor padat karya seperti tekstil dan alas kaki, tetapi juga mulai merambah ke industri elektronik, otomotif, logistik, hingga perusahaan berbasis teknologi digital. Tekanan yang berasal dari melemahnya permintaan global, naiknya biaya produksi akibat fluktuasi harga bahan baku dan energi, hingga ketatnya likuiditas akibat bunga tinggi menjadi kombinasi faktor yang membuat banyak perusahaan terpaksa melakukan efisiensi, dan PHK menjadi langkah paling ekstrem yang mereka ambil.

Apindo juga mencermati bahwa kondisi ekonomi global yang belum sepenuhnya pulih pasca-pandemi, diperparah oleh ketegangan geopolitik dan dampak dari kebijakan proteksionis di beberapa negara mitra dagang, turut memukul daya saing industri dalam negeri. Banyak pelaku usaha yang mengalami penurunan ekspor dan terganggu rantai pasoknya, sehingga tidak dapat mempertahankan tingkat produksi seperti sebelumnya. Dalam situasi tersebut, tenaga kerja menjadi korban pertama dari upaya penyelamatan struktur bisnis yang tengah goyah.

Dari sisi tenaga kerja, PHK massal ini tentu berdampak sosial yang besar. Angka hampir 74 ribu pengangguran baru dalam waktu singkat menambah beban pasar tenaga kerja yang sudah kompetitif. Selain itu, banyak dari mereka yang terdampak merupakan tulang punggung keluarga, sehingga efek domino terhadap kesejahteraan rumah tangga semakin besar. Pemerintah pun didorong untuk mempercepat pelaksanaan program reskilling dan upskilling tenaga kerja, serta memperkuat perlindungan sosial dan kebijakan jaring pengaman ekonomi yang lebih adaptif terhadap dinamika krisis.

Apindo berharap adanya komunikasi yang lebih erat antara pemerintah dan pelaku usaha dalam mencari jalan keluar bersama. Keringanan pajak, insentif bagi industri padat karya, serta upaya menjaga stabilitas nilai tukar dan suku bunga, menjadi beberapa kebijakan yang dinilai perlu segera diperkuat untuk mencegah eskalasi gelombang PHK di kuartal-kuartal berikutnya.

Gelombang PHK di awal 2025 ini mengingatkan bahwa pemulihan ekonomi bukanlah jalan yang mulus. Di tengah tantangan global yang kompleks, dibutuhkan sinergi antara kebijakan makro, kekuatan sektor riil, serta perlindungan tenaga kerja, agar ekonomi Indonesia tidak hanya tumbuh, tetapi juga tumbuh dengan inklusif dan berkelanjutan.


Peluang Baru di Tengah Ketidakpastian: Menata Ulang Arah di Era PHK Massal dan Krisis Ekonomi

Dalam pusaran badai ketidakpastian ekonomi yang melanda Indonesia sejak awal 2020 hingga 2025, ribuan perusahaan tumbang, ribuan pekerja kehilangan pekerjaan, dan jutaan keluarga terdampak secara langsung maupun tidak langsung. Data dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mencatat bahwa hanya dalam rentang Januari hingga Maret 2025, sudah ada lebih dari 73.000 pekerja terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Namun, di balik kabar kelam dan angin dingin krisis ini, harapan tak pernah benar-benar padam. Seiring dengan runtuhnya struktur lama, terbuka pula jalan bagi peluang-peluang baru yang sebelumnya tak terlihat.

PHK memang menyakitkan. Ia bukan sekadar soal kehilangan penghasilan, tetapi juga bisa mengguncang harga diri, rasa aman, bahkan identitas diri. Namun dalam sejarah krisis di seluruh dunia, justru banyak inovasi dan terobosan besar lahir dari ketidakpastian. Waktu yang dulunya terikat dengan pekerjaan kini menjadi ruang kosong yang bisa diisi dengan pembelajaran baru. Banyak korban PHK mulai merintis bisnis kecil, menjual produk secara daring, atau mengambil pelatihan keterampilan digital dan teknis secara gratis dari berbagai platform.

Ekonomi digital menjadi salah satu oasis di tengah gurun ketidakpastian ini. Layanan berbasis teknologi seperti e-commerce, food delivery, konsultasi daring, bahkan pendidikan online mengalami lonjakan permintaan. Mereka yang mampu mengalihkan keterampilannya ke dunia digital—baik sebagai content creator, freelancer, marketing specialist, ataupun tenaga ahli IT—memiliki peluang besar untuk tumbuh tanpa harus bergantung pada korporasi besar.

Di sisi lain, sektor informal dan UMKM juga menunjukkan ketahanan luar biasa. Ketika banyak perusahaan besar gulung tikar, justru pelaku usaha mikro seperti pedagang makanan rumahan, penyedia jasa pengiriman lokal, hingga usaha kerajinan tangan lokal mulai menunjukkan geliat. Berkat media sosial dan platform jual beli online, pasar mereka tak lagi terbatas hanya pada lingkungan sekitar, melainkan bisa menjangkau seluruh penjuru negeri, bahkan mancanegara.

Peran pemerintah dan lembaga pendidikan nonformal juga penting dalam menciptakan jembatan dari keterpurukan ke peluang. Program reskilling dan upskilling seperti pelatihan coding, bahasa asing, kewirausahaan, dan keuangan dasar mulai digalakkan untuk mengubah mereka yang terdampak krisis menjadi individu yang lebih siap menghadapi tantangan ekonomi baru.

Krisis memang membuka luka, tetapi juga membuka mata. Ia memaksa banyak orang untuk menilai ulang apa yang penting, mengevaluasi arah hidup, dan mengambil risiko yang dulu tak berani dilakukan. Di tengah runtuhnya stabilitas lama, banyak yang justru menemukan keberanian untuk mengejar mimpi, membangun usaha sendiri, atau beralih karier ke bidang yang lebih sesuai dengan minat dan kebutuhan masa depan.

Peluang tidak selalu datang dalam bentuk yang indah atau waktu yang sempurna. Kadang ia hadir dalam bentuk kesulitan yang memaksa kita untuk tumbuh. Di tengah ketidakpastian, harapan masih bisa ditanam. Dan dari tanah yang tandus sekalipun, selalu ada kemungkinan tunas kehidupan yang baru tumbuh dengan akar yang lebih kuat.

Monday, May 12, 2025

Panasonic Hadapi Restrukturisasi Besar

PHK 10.000 Karyawan dan Tantangan Global

Panasonic Holdings, raksasa elektronik asal Jepang, mengumumkan langkah restrukturisasi besar-besaran dengan rencana pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 10.000 karyawan secara global. Langkah ini merupakan bagian dari upaya perusahaan untuk meningkatkan efisiensi operasional dan menghadapi tantangan bisnis yang semakin kompleks.

Dalam pernyataan resminya pada 9 Mei 2025, Panasonic menyatakan bahwa PHK akan mencakup 5.000 karyawan di Jepang dan 5.000 lainnya di luar negeri, termasuk melalui penawaran pensiun dini dan penutupan serta konsolidasi berbagai operasi. Presiden Panasonic Holdings, Yuki Kusumi, mengungkapkan bahwa biaya penjualan, umum, dan administrasi perusahaan saat ini "sangat tinggi" dibandingkan dengan pesaing industri, dan menekankan perlunya langkah-langkah drastis untuk memastikan pertumbuhan perusahaan di masa depan. 

Langkah ini diambil setelah Panasonic melaporkan penurunan laba bersih sebesar 17,5% pada tahun fiskal yang berakhir Maret 2025, menjadi 366 miliar yen, serta penurunan penjualan sebesar 0,5% menjadi 8,46 triliun yen. Perlambatan ekonomi global dan melemahnya permintaan kendaraan listrik disebut sebagai faktor utama di balik kinerja keuangan yang lemah tersebut. 

Di Indonesia, meskipun belum ada pengumuman resmi mengenai PHK, kekhawatiran mulai muncul di kalangan pekerja Panasonic. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, menyatakan bahwa terdapat sekitar 7.000 karyawan Panasonic di Indonesia yang tersebar di berbagai wilayah, termasuk Bekasi, DKI Jakarta, Bogor, Pasuruan, dan Batam. Ia menambahkan bahwa hingga saat ini belum ada pengumuman PHK di Indonesia, namun situasi ini tetap menjadi perhatian serius bagi para pekerja. 

Panasonic menargetkan peningkatan laba operasional sebesar 150 miliar yen melalui reformasi manajemen, termasuk peninjauan efisiensi operasional di setiap entitas grup, khususnya di divisi penjualan dan fungsi tidak langsung. Perusahaan juga akan mengevaluasi ulang kebutuhan organisasi dan personel secara menyeluruh. 

Langkah-langkah ini mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan besar dalam menyesuaikan diri dengan perubahan pasar dan teknologi. Restrukturisasi yang dilakukan Panasonic menjadi contoh nyata bagaimana perusahaan harus beradaptasi untuk tetap kompetitif di tengah dinamika ekonomi global yang terus berubah.

Mengurai Akar Kebangkrutan: Apa yang Menyebabkan Bisnis Gagal

Kebangkrutan dalam dunia bisnis bukanlah peristiwa yang terjadi dalam semalam. Ia adalah akumulasi dari berbagai keputusan, faktor eksternal, dan kondisi internal yang akhirnya menempatkan sebuah perusahaan dalam kondisi tidak lagi mampu bertahan. Fenomena kegagalan bisnis telah terjadi di berbagai skala, dari UMKM hingga perusahaan multinasional. Untuk memahami akar dari kebangkrutan, kita perlu melihat lebih dalam tidak hanya pada gejala yang tampak, tetapi juga pada fondasi-fondasi mendasar yang rapuh.

Salah satu penyebab paling umum dari kegagalan bisnis adalah lemahnya manajemen keuangan. Banyak bisnis tidak memiliki sistem pengelolaan arus kas yang baik, gagal memisahkan keuangan pribadi dan bisnis, atau mengambil terlalu banyak utang tanpa mempertimbangkan kemampuan untuk membayarnya. Ketika arus kas terganggu, perusahaan kehilangan fleksibilitas untuk menghadapi tantangan-tantangan tak terduga seperti penurunan permintaan, kenaikan harga bahan baku, atau biaya operasional yang meningkat. Masalah keuangan yang tidak segera ditangani bisa berujung pada ketidakmampuan membayar gaji, cicilan, atau supplier—yang menjadi permulaan dari spiral kebangkrutan.

Selain aspek keuangan, kesalahan dalam membaca pasar juga menjadi penyebab utama banyak bisnis runtuh. Sebuah produk yang inovatif sekalipun bisa gagal jika tidak relevan dengan kebutuhan pasar atau diluncurkan pada waktu yang salah. Kurangnya riset pasar, kegagalan mengenali tren konsumen, atau bahkan ketidaksesuaian harga dengan daya beli pelanggan bisa membuat bisnis kesulitan bertahan. Di sisi lain, beberapa perusahaan gagal berinovasi dan terus menerus mengandalkan model lama yang tidak lagi kompetitif dalam era digital dan disrupsi teknologi.

Faktor internal lain yang tak kalah penting adalah budaya organisasi yang buruk. Tim manajemen yang tidak solid, komunikasi internal yang lemah, serta kepemimpinan yang otoriter atau tidak visioner sering menjadi racun yang perlahan melumpuhkan semangat tim. Ketika pegawai kehilangan kepercayaan terhadap arah perusahaan, produktivitas dan loyalitas menurun. Ini diperparah jika tidak ada transparansi dalam pengambilan keputusan atau tidak ada keterlibatan pegawai dalam proses perubahan strategis.

Di luar faktor-faktor internal, banyak perusahaan juga goyah karena tekanan eksternal seperti krisis ekonomi, perubahan kebijakan pemerintah, konflik geopolitik, atau pandemi global seperti COVID-19. Meski ini bukan sepenuhnya kesalahan manajemen, perusahaan yang tidak memiliki strategi mitigasi risiko atau diversifikasi sumber pendapatan akan lebih mudah jatuh. Globalisasi yang mempercepat rantai pasokan juga membawa risiko tersendiri—ketergantungan pada satu negara produsen atau pemasok membuat perusahaan rentan terhadap guncangan eksternal.

Namun, pada akhirnya, akar dari kebangkrutan sering kali adalah kegagalan untuk berubah. Dunia bisnis menuntut adaptasi yang konstan. Perusahaan yang tidak mau atau tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan akan tertinggal, dan ketertinggalan ini bisa sangat mahal. Mengurai kebangkrutan berarti memeriksa ulang keselarasan antara visi bisnis, strategi pasar, struktur keuangan, budaya organisasi, dan dinamika eksternal. Kebangkrutan bukanlah akhir dari cerita, tapi bisa menjadi pelajaran penting bagi bisnis lain agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Tuesday, May 6, 2025

Gelombang Bangkrut : Potret Buram Dunia Usaha Indonesia 2020-2025

Bayangkan ribuan pabrik menutup pintu, ribuan pekerja kehilangan mata pencaharian, dan bank-bank runtuh satu demi satu—itulah wajah ekonomi Indonesia yang terguncang antara 2020 hingga 2025. Krisis ini bukan sekadar angka di laporan keuangan, tetapi pukulan nyata yang mengguncang fondasi hidup jutaan orang. Apa sebenarnya yang menyebabkan gelombang kebangkrutan ini, dan ke mana arah perekonomian Indonesia ke depan?

Memasuki tahun 2025, perekonomian Indonesia menghadapi dinamika yang kompleks, diwarnai oleh harapan pertumbuhan yang stabil dan tantangan global yang signifikan. Pada kuartal pertama 2025, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tercatat sebesar 4,87% secara tahunan, menandai laju terendah sejak kuartal ketiga 2021 dan penurunan dari 5,02% pada kuartal sebelumnya. Perlambatan ini dipengaruhi oleh ketegangan perdagangan global, terutama dengan Amerika Serikat, serta melemahnya permintaan domestik.

Konsumsi rumah tangga, yang menyumbang lebih dari separuh PDB, hanya tumbuh 4,89%, menjadi yang terendah dalam lima kuartal terakhir, meskipun bertepatan dengan musim Ramadan. Sementara itu, investasi tumbuh pada laju terendah dalam dua tahun, dan belanja pemerintah mengalami kontraksi. Di sisi lain, kontribusi ekspor neto membaik seiring penurunan impor, dan sektor pertanian menunjukkan pertumbuhan yang kuat, khususnya dalam produksi beras dan jagung.

Banyak perusahaan bangkrut selama pandemi covid-19 melanda dunia. Pandemi membuat perekonomian dunia dan Indonesia tertekan hingga masuk ke jurang resesi. Adapun dari data World Bank sebesar 60% perusahaan bisnis di dunia sudah mengalami kebangkrutan.

Tercatat dari lima pengadilan niaga yang ada di Indonesia, pada 2019, jumlah permohonan kepailitan dan PKPU tercatat hanya 435 pengajuan.

Proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun 2025 telah direvisi oleh berbagai lembaga internasional. Dana Moneter Internasional (IMF) menurunkan proyeksi pertumbuhan dari 5,1% menjadi 4,7%, sementara Bank Dunia juga menyesuaikan perkiraannya ke angka yang sama. Penurunan ini mencerminkan kekhawatiran terhadap ketidakpastian global, termasuk potensi tarif tinggi dari AS dan perlambatan ekonomi di China, mitra dagang utama Indonesia.

Penyebab perusahaan pailit (dinyatakan bangkrut secara hukum) umumnya karena ketidakmampuan membayar utang kepada dua atau lebih kreditur, yang telah jatuh tempo. Hal ini dapat terjadi karena berbagai faktor seperti ketidakmampuan mengelola perusahaan, kurang peka terhadap kebutuhan konsumen, berhenti melakukan inovasi, atau ekspansi berlebihan. 

Pemerintah Indonesia, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, menetapkan target ambisius untuk mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 8%. Namun, upaya ini dihadapkan pada tantangan struktural dan eksternal yang kompleks. Kebijakan efisiensi fiskal, termasuk pemotongan anggaran Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), telah mempengaruhi pembangunan daerah dan konsumsi rumah tangga. Selain itu, ketegangan perdagangan global dan perlambatan permintaan dari China menambah tekanan pada sektor ekspor Indonesia.

Bank Indonesia telah mengambil langkah-langkah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, termasuk pemotongan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin. Namun, ruang untuk pelonggaran moneter lebih lanjut terbatas oleh tekanan terhadap nilai tukar rupiah dan ketidakpastian pasar global. Oleh karena itu, koordinasi kebijakan antara pemerintah dan otoritas moneter menjadi kunci untuk menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan.

Pailit maupun bangkrut sejatinya dapat dilihat pada kondisi keuangan perusahaan. Pailit maupun bangkrut yang terjadi pada perusahaan dapat dihindari oleh pelaku bisnis.

Pailit dan bangkrut sering diartikan sama, padahal makanya berbeda dengan status hukum yang berbeda. Dari segi keuangan, pailit bisa saja terjadi pada perusahaan yang keuangannya dalam keadaan baik-baik saja, namun bangkrut terdapat unsur keuangan yang tidak sehat dalam perusahaan.

Meskipun menghadapi tantangan, Indonesia memiliki potensi untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang solid. Fokus pada diversifikasi ekspor, peningkatan investasi dalam sektor-sektor produktif, dan reformasi struktural dapat membantu mengatasi hambatan pertumbuhan. Dengan strategi yang tepat dan implementasi kebijakan yang efektif, Indonesia dapat memanfaatkan peluang di tengah tantangan global untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Dalam dunia bisnis, risiko kebangkrutan selalu menjadi ancaman nyata, tidak hanya bagi perusahaan kecil tetapi juga untuk perusahaan besar dan terkenal. Kebangkrutan bisa menjadi efek domino yang memengaruhi berbagai sektor, mulai dari pekerja, pemasok, hingga komunitas lokal.

Belajar dari penyebab kebangkrutan adalah langkah penting untuk memahami mengapa perusahaan-perusahaan besar ini gagal. Kebangkrutan sering kali berasal dari kombinasi faktor internal dan eksternal yang kompleks.

Kebangkrutan sering kali berasal dari faktor internal yang melibatkan manajemen, strategi, dan keuangan. Manajemen yang tidak efektif dapat menghasilkan keputusan yang buruk dan tidak tepat waktu, yang dapat memengaruhi seluruh organisasi. 

Selain itu, strategi bisnis yang tidak jelas dan tidak beradaptasi dengan perkembangan pasar akan menyulitkan perusahaan untuk bersaing. 

Pengelolaan keuangan yang buruk, termasuk utang yang tidak terkelola dengan baik dan arus kas yang tidak sehat, juga merupakan penyebab signifikan kebangkrutan. 


Sumber :

https://tentangpekerjaan.blogspot.com/2021/09/60-perusahaan-bangkrut-gegara-covid-19.html

https://www.cnbcindonesia.com/market/20231018164046-17-481667/perusahaan-bangkrut-ri-cetak-rekor-pengamat-sarankan-ini

https://www.hukumonline.com/berita/a/perbedaan-pailit-dan-bangkrut-lt62bc216145909/

https://www.tempo.co/ekonomi/sritex-dinyatakan-pailit-apa-saja-faktor-penyebab-pailit--1163354

https://grc-indonesia.com/4-perusahaan-besar-indonesia-bangkrut-analisis-dan-solusinya/

Related Posts