Apakah Benar Seimbang Selalu Lebih Baik?
Mengejar keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan atau akrab disebut work-life balance secara terus-menerus memang mengagumkan, tetapi bisa jadi menakutkan. Ada pandangan baru yang menawarkan cara hidup yang lebih realistis dan dapat dicapai.
Kita bisa mengibaratkannya menggunakan alam sebagai pedoman dalam menciptakan ide dan bertindak, yaitu gaya hidup pendulum, gerakan maju mundur pendulum dengan pasang surut kehidupan sehari-hari.
Ketika kita mencoba yang terbaik, untuk memiliki keseimbangan hidup namun tidak selalu berkelanjutan. Karena seperti bandul, ada ritme alami dalam hidup.
Ada beberapa cara praktis yang dapat dilakukan dalam memanfaatkan pasang surut kehidupan demi keseimbangan.
Saat pendulum berayun ke arah yang tidak kita sukai, mulailah alihkan fokus kita dari ekspektasi untuk mencapai tujuan dan alihkan lebih ke langkah yang sangat sederhana dan tunggal yang dapat kita ambil untuk sekadar menggerakkan sesuatu kembali ke arah lain.
Anggaplah hal tersebut sebagai tantangan yang menyenangkan.
Work-life balance atau keseimbangan antara kehidupan kerja dan kehidupan pribadi telah menjadi konsep populer dalam dunia kerja modern. Banyak orang dan perusahaan menjadikan work-life balance sebagai tujuan utama demi mencapai kebahagiaan dan produktivitas yang optimal. Namun, di balik manfaatnya, konsep ini juga memiliki sisi buruk yang sering kali tidak disadari.
Apakah work-life balance benar-benar selalu lebih baik, atau ada situasi di mana penerapannya bisa justru merugikan?
Berikut beberapa sisi buruk dari konsep work-life balance yang perlu diperhatikan.
1. Definisi "Seimbang" yang Beragam dan Sulit Dicapai
Work-life balance sering kali digambarkan sebagai kondisi di mana seseorang dapat membagi waktu dan energi antara pekerjaan dan kehidupan pribadi secara merata. Namun, definisi "seimbang" bisa sangat bervariasi tergantung individu. Apa yang dianggap sebagai keseimbangan bagi satu orang bisa jadi sangat berbeda bagi orang lain.
Kondisi ini dapat menimbulkan frustrasi karena banyak orang berjuang untuk mencapai keseimbangan yang ideal menurut standar eksternal, padahal keseimbangan yang sejati harus disesuaikan dengan kebutuhan, tujuan, dan prioritas pribadi. Tekanan untuk "mengimbang-imbangkan" kedua aspek ini bisa menyebabkan rasa bersalah ketika salah satu sisi (pekerjaan atau kehidupan pribadi) terasa kurang mendapat perhatian.
2. Mengurangi Fleksibilitas dalam Kehidupan
Salah satu kekurangan dari upaya mempertahankan work-life balance adalah bahwa hal ini bisa mengurangi fleksibilitas seseorang dalam menjalani kehidupan. Kehidupan manusia pada dasarnya dinamis dan tidak selalu dapat diatur secara sempurna antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Ada kalanya pekerjaan membutuhkan lebih banyak waktu dan perhatian, dan ada kalanya keluarga atau urusan pribadi memerlukan lebih banyak komitmen.
Jika seseorang terlalu kaku dalam mempertahankan work-life balance, mereka bisa kehilangan kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan yang muncul secara tiba-tiba, baik di tempat kerja maupun dalam kehidupan pribadi. Fleksibilitas dalam mengelola dua aspek ini justru kadang lebih penting daripada mencoba mempertahankan keseimbangan yang sempurna.
3. Menurunkan Potensi Pertumbuhan Karier
Pengejaran work-life balance yang ketat dapat berdampak pada pertumbuhan karier, terutama bagi individu yang bekerja di industri yang sangat kompetitif atau dinamis. Dalam beberapa bidang pekerjaan, dedikasi waktu dan tenaga yang lebih besar dibutuhkan untuk mencapai keberhasilan yang signifikan. Karyawan yang terlalu fokus pada pembagian waktu yang "seimbang" bisa kehilangan peluang untuk naik jabatan atau mengembangkan keterampilan baru.
Industri seperti teknologi, keuangan, dan hiburan sering kali menuntut karyawan untuk memberikan komitmen ekstra dalam periode tertentu. Mereka yang mampu beradaptasi dengan jam kerja yang lebih panjang dalam jangka pendek sering kali mendapatkan kesempatan karier yang lebih baik. Dengan berfokus terlalu ketat pada keseimbangan, individu mungkin melewatkan kesempatan untuk tumbuh secara profesional.
4. Membatasi Pencapaian Kreativitas dan Inovasi
Bagi sebagian orang, terutama yang bekerja di bidang kreatif atau inovatif, periode kerja yang intens dapat menjadi momen produktivitas tinggi dan pencapaian ide-ide brilian. Kreativitas tidak selalu muncul secara teratur, dan terkadang ide-ide terbaik muncul saat seseorang benar-benar tenggelam dalam pekerjaan mereka. Ketika seseorang merasa terikat dengan jam kerja yang terbatas demi menjaga work-life balance, hal ini bisa membatasi ruang untuk kreativitas dan inovasi yang spontan.
Sebaliknya, ada banyak contoh orang-orang sukses yang menemukan kebahagiaan dan kepuasan dalam bekerja secara intens tanpa batasan waktu yang ketat. Penerapan work-life balance yang terlalu ketat dapat menghalangi potensi seseorang untuk mencapai momen-momen terbaik dalam pekerjaan mereka.
5. Menciptakan Tekanan Sosial dan Rasa Bersalah
Konsep work-life balance sering kali disajikan sebagai standar emas bagi kesejahteraan hidup. Namun, hal ini juga bisa menciptakan tekanan sosial yang tidak perlu bagi mereka yang tidak dapat atau tidak ingin menyesuaikan diri dengan pola tersebut. Beberapa orang merasa lebih produktif ketika mereka bekerja dalam jam kerja yang panjang atau menemukan kepuasan dalam menyelesaikan proyek besar, tetapi mereka bisa merasa bersalah atau dinilai negatif oleh masyarakat yang terlalu menekankan pentingnya keseimbangan.
Bagi sebagian orang, bekerja lebih keras atau lebih lama bukanlah sesuatu yang negatif, melainkan sesuatu yang mereka nikmati. Namun, narasi yang terlalu menekankan work-life balance bisa membuat mereka merasa terisolasi atau bersalah karena tidak memenuhi harapan tersebut.
6. Mengabaikan Peran Siklus Kehidupan dan Prioritas
Work-life balance sering kali dianggap sebagai solusi tunggal yang harus dicapai sepanjang waktu. Namun, realitas kehidupan sangat bervariasi. Ada periode dalam hidup seseorang di mana mereka mungkin perlu bekerja lebih keras, seperti saat merintis bisnis atau mengejar gelar akademik. Di sisi lain, ada periode di mana perhatian utama mungkin lebih berfokus pada keluarga, seperti saat merawat anak kecil atau orang tua yang sakit.
Penerapan work-life balance yang ketat mengabaikan bahwa prioritas hidup manusia berubah seiring waktu. Ada kalanya pekerjaan membutuhkan lebih banyak perhatian, dan ada kalanya kehidupan pribadi menjadi fokus utama. Mencoba memaksakan keseimbangan yang sama sepanjang hidup dapat mengakibatkan perasaan tidak puas karena kebutuhan aktual pada momen tertentu tidak terpenuhi dengan baik.
Kesimpulan: Keseimbangan Tidak Selalu Sama untuk Semua Orang
Work-life balance memang merupakan tujuan yang baik untuk mencapai kehidupan yang lebih seimbang dan bermakna. Namun, seperti halnya dengan banyak konsep lainnya, keseimbangan tidak selalu mudah dicapai dan tidak selalu tepat untuk setiap orang atau setiap situasi.
Fleksibilitas, pemahaman tentang prioritas yang berubah, dan kesadaran bahwa keseimbangan tidak harus sama untuk semua orang merupakan kunci untuk menemukan kehidupan yang lebih memuaskan, baik di dunia kerja maupun dalam kehidupan pribadi. Daripada terjebak pada gagasan work-life balance yang kaku, penting untuk mencari keseimbangan yang paling sesuai dengan kebutuhan dan tujuan pribadi, serta situasi yang dihadapi pada setiap fase kehidupan.
Sumber :
https://www.cnbcindonesia.com/lifestyle/20240922135242-33-573629/work-life-balance-bisa-jadi-bumerang-profesor-harvard-sarankan-ini