Thursday, December 26, 2019

Hari Ibu

Hari Ibu telah berlalu? Nggak juga. Karena pada hakekatnya, Hari Ibu itu harus diperingati, dimaknai, dan diisi setiap hari.

Cristiano Ronaldo terkenal sangat dekat dengan ibunya. Ia sempat memberikan kejutan kepada ibunya. Nggak main-main, ketika ibunya berulang tahun pada 31 Desember beberapa waktu yang lalu, Ronaldo menghadiahkan sebuah mobil Porsche Boxster berwarna putih!

Orang seperti ini mungkin disebut anak mami.

Disebut anak mami, emang napa? Yang penting, nggak manja. Satu temuan dari Grant Study, Harvard University, justru menunjukkan anak mami memiliki potensi sukses lebih besar ketimbang mereka yang memiliki hubungan kurang harmonis dengan ibunya.

Nah lho!

Studi tersebut memaparkan 'anak mami' secara konsisten dan persisten mengalami peningkatan karier dan income. Sedangkan pria yang selalu bersitegang dengan ibunya, jarang mendapatkan promosi jabatan bahkan sering mandek!

Pria yang harmonis dan berbakti sama ibunya diketahui beroleh gaji bulanan yang lebih tinggi. Selain itu, risiko terjangkit dementia saat mencapai masa lansia, disinyalir sangat rendah. Keren ya, berbakti itu ternyata menyukseskan juga menyehatkan!

Btw, benarkah penelitian ini?

Grant Study adalah penelitian terkait hubungan orangtua dan anak paling lama dalam sejarah ilmu psikologi. Bermula tahun 1938 dan terus berjalan hingga puluhan tahun kemudian. Studi ini di-refresh 2 tahun sekali, dengan meneliti kehidupan 200-an mahasiswa pria di Harvard University, sewaktu mereka masih kuliah, lulus, dan bekerja.

Menurut YourTango.com pula, pria yang berlabel 'anak mami' rupa-rupanya cenderung lebih setia, lebih empati, lebih bertanggung-jawab, dan lebih menghormati wanita. Jadi, nggak usah risih disebut 'anak mami'. Hehehe. Asal nggak cengeng aja.

Di komunitas bisnis saya, kami menempatkan keluarga sebagai salah satu prioritas. Masih ingat soal 3A?

Pesan seorang senior, "Jangan takut dicemooh 'anak mami'. Pemuda yang dekat dan menghormati orang tuanya, pastilah lebih sukses." Saya sejak lama membahas ini dalam ilmu #7KeajaibanRezeki. Apa pendapat Anda?

Kalau boleh, sampaikan tulisan ini kepada saudara-saudara Anda.

Mengingatkan.

Sekian dari saya, Ippho Santosa.

Semoga berkah berlimpah.

Successful People Wear the Same Thing

Why Successful People Wear the Same Thing Every Day

Simplify your day and reduce decision fatigue: Wear the same thing, just like these successful entrepreneurs.
By Craig BloemFounder and CEO, FreeLogoServices.com@craigbloem

Everyone wants to be more productive -- especially entrepreneurs. One way to increase productivity? Simplify your decision-making processes by building habits.

In studying the effects of extraneous variables on the outcome of legal cases, researchers segmented judicial deliberations into three distinct "decision sessions." Over the course of these "decision sessions," they found the percentage of favorable rulings dropped gradually from about 65 percent to nearly zero within each session. After a break, it spiked back up to around 65 percent.

Part of the reason? Decision fatigue.

It's said the average person makes 35,000 decisions every day. What to eat for breakfast? What shirt to wear? Which door to go through? Where to go for lunch?

A simple way to save brain power is to cut down on the number of decisions you need to make. Some of the most successful people have already figured this out. They simply wear the same thing each and every day.


Uniforms for Success

In HBO's 2017 documentary series, Defiant Ones, Andre Young -- better known as Dr. Dre -- mentions he wears the same shoes every day: Nike's Air Force 1. Barack Obama wears only gray or blue suits. Mark Zuckerberg sports his iconic gray Brunello Cucinelli t-shirt. Steve Jobs became famous for a black turtleneck, jeans, and New Balance sneakers.

I've been wearing the same clothes for over 10 years. My getups typically include: Asics Gel Kayano sneakers, Levi's 513 jeans, a zip-up Lululemon Sojourn Jacket, ST33LE t-shirts, and Grant Slim-Fit Non-Iron Banana Republic dress shirts.

I have 15 pairs of Levi's, six Lululemon jackets, 10 of those t-shirts, and 15 dress shirts. No joke.

Unlike some entrepreneurs, I do swap out colors. But the staples remain the same.


Here's why we do it, and why you should too:

1. You'll waste less time.
I hate wasting time. Having a regular uniform makes it quick and easy to get dressed. Rather than deliberating for five or even ten minutes, I can grab my outfit, throw it on, and get started on the more important things on my to-do list.

A go-to outfit also saves loads of time shopping. You know what you're looking for and can get right to your favorite store. Or better yet, if you know your size, style, and color, you can order everything online -- without the annoyance of sending back returns.

2. You'll save brainpower.
As Obama said in an interview with Vanity Fair, "You need to focus your decision-making energy. You need to routinize yourself. You can't be going through the day distracted by trivia."

When you wear the same thing, you're one step closer to avoiding the distraction of trivia. It takes no thought to get dressed in the morning. You can channel all that decision-making power directly into growing your business.

3. You'll always feel good in what you're wearing.
If you choose your clothes for comfort, they'll always feel good. If you choose them for style, you'll always think they look good on you (even if others disagree). Either way, you'll feel good about what you're wearing. It's an automatic confidence boost.

I constantly get made fun of by my friends and family for wearing the same thing, but it works. See if it could work for you.


Sumber :
https://www.inc.com/craig-bloem/this-1-unusual-habit-helped-make-mark-zuckerberg-steve-jobs-dr-dre-successful.html

Monday, December 23, 2019

Being Happy At Work Matters


Anda bahagia?

Rekan-rekan anda bahagia?

Sebuah artikel bertajuk "16 Things Guaranteed To Make You Happy At Work" yang dimuat di Forbes menyarankan kita agar bahagia, untuk menjaga jarak dari orang-orang yang berpikiran negatif. Ya, menjaga jarak. Kenapa?

Soalnya, orang-orang yang berpikiran negatif cenderung tidak bahagia dan sering berkubang pada masalah. Sehingga gagal mencurahkan perhatian pada solusi. Repotnya lagi, mereka senang jika ada orang lain yang merasakan masalah yang sama.

Rupanya, hal itu dapat membuat mereka merasa lebih baik. Yang paling berbahaya adalah jika pengaruh negatif itu datang dari atasan (leader) yang tidak memiliki keterikatan. Ini parah.

Di BP, kita percaya bahwa leader adalah contoh alias teladan. Harus membawa pengaruh positif terhadap tim, setiap hari. Sekiranya sesekali leader keliru, kemungkinan tim masih bisa menerima dan memaafkan. Diterima, kenapa? Karena setiap hari leader itu sudah berusaha memberikan pengaruh yang positif terhadap tim.

Sebuah artikel berjudul "Being Happy At Work Matters" di Harvard Business Review memaparkan bahwa orang-orang yang tidak bahagia dan tidak memiliki keterikatan bukanlah rekan bisnis yang menyenangkan.

Lebih dari itu, mereka tidak bisa membawa nilai tambah, malahan dapat membawa pengaruh negatif terhadap bisnis. Lebih gawat lagi jika pihak yang lebih superior (leader) yang bersikap sedemikian. Disebut gawat, karena dapat mempengaruhi orang banyak.

So, hati-hati. Jangan biarkan bahagia anda direnggut oleh mereka yang berpikiran negatif dan tidak bahagia. Kalau anda bahagia, insya Allah itu akan sangat baik dampaknya buat diri anda, bisnis anda, dan keluarga anda.

Sekian dari saya, Ippho Santosa.


Sumber photo:
https://hbr.org/2014/11/being-happy-at-work-matters

Friday, December 20, 2019

Money Magnet

Internet + Socmed + WA Chat = Money Magnet

Ya, internet jika digunakan bareng socmed dan WA chat bisa menjelma jadi magnet. Tepatnya, mesin uang. Saran saya, "Biarkan mesin uang itu bekerja, maka kita akan punya waktu lebih leluasa untuk keluarga dan ibadah. Juga untuk liburan."

Senior-senior saya di bisnis selalu mengingatkan, "Nggak harus punya toko dan budget promosi yang besar untuk memulai bisnis. Nggak harus. Sebaliknya, cobalah kurangi penggunaan flyer, spanduk, dan salesman."

Ngelapak? Nggak harus. Buka stand? Nggak harus. Dengan mesin bernama internet dan socmed, kita bisa menghasilkan penjualan yang jauh lebih banyak dengan biaya yang jauh lebih hemat, dengan cara yang jauh lebih simple. Betul apa betul?

Belakangan ini, kekuatan media konvensional seperti spanduk, koran, dan radio kian dipertanyakan oleh pakar-pakar. Ternyata memang begitu, menurut saya. Makanya, sudah nggak zaman, promosi pakai brosur, flyer, spanduk, iklan koran, dan iklan radio. Kalaupun masih ada, yah nggak sebanyak dulu lagi.

Yang saya rasakan, dengan internet dan socmed, hasilnya bisa lebih efektif, lebih efisien, dan sangat terukur. Di komunitas saya (komunitas BP), mitra-mitra dilatih untuk melakukan sosialisasi produk melalui socmed. Setelah itu, diarahkan ke WA chat. Nah, karena penawaran yang menarik dan bukti-bukti yang real, akhirnya prospek pun berubah jadi konsumen, bahkan jadi partner. Alhamdulillah.

Begitulah. Lima tahun terakhir, internet dan socmed kian menunjukkan taring dan cakarnya. Ditambah semakin meratanya penyebaran smartphone di tengah masyarakat. Apalagi orang perkotaan menghabiskan waktunya 3-5 jam sehari bersama smartphone.

Sudah semestinya semua pihak (mulai dari brand owner, distributor, agent, reseller, termasuk staff CS) harus belajar benar-benar soal internet dan socmed. Jika tidak, akan digilas zaman! Ya, digilas zaman!

Ingat, BUKAN zaman yang kejam. BUKAN internet yang kejam. BUKAN socmed yang kejam. Mungkin kita yang tidak mempersiapkan diri. Saran saya, mari mempersiapkan diri. Daripada anti sama socmed, lebih baik mempelajari dan memanfaatkannya. Ready?

Sekian dari saya, Ippho Santosa.

Wednesday, December 18, 2019

Masa Muda

Kadang orang-orang muda memiliki kerancuan berpikir tentang masa muda. Bahkan ini terjadi pada orang-orang yang sudah berusia 30-an. Harus dipahami ada perbedaan nyata antara menikmati masa muda dan menghancurkan masa depan.

Sebenarnya, terdapat berbagai pilihan untuk menikmati waktu luang. Terlebih di masa muda. Nah, pastikan kita memilih kegiatan-kegiatan positif yang membawa manfaat optimal bagi diri, keluarga, dan tim kita. Toh kita sama-sama tahu, waktu jauuuuuh lebih berharga daripada uang.

Right?

Rasulullah pernah bersabda, Ada dua nikmat yang banyak membuat manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan nikmat waktu luang. (HR Al-Bukhari). Di tulisan ini, penekanan kita pada waktu luang.

Syaikh As-Sa'di pun mengingatkan, Termasuk di antara keajaiban takdir dan hikmah ilahiyyah adalah sesiapa yang meninggalkan hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya, padahal memungkinkan baginya untuk meraihnya (namun dia tidak berusaha meraihnya), maka dia akan mendapat UJIAN dengan disibukkan dalam hal-hal yang membahayakan bagi dirinya.

Dengan kata lain, tidak sungguh-sungguh untuk hal-hal yang membawa manfaat akan menjatuhkan diri kita pada hal-hal yang membawa mudharat. Hati-hati, ini nggak main-main.

Uang itu amanah. Tapi jangan salah, waktu lebih amanah. Perlu dikelola benar-benar. Pastikan diri kita terlepas dari hal yang sia-sia, apalagi yang mudharat. Terutama kita yang sudah menjadi kepala rumahtangga, di mana tindakan kita akan dicontoh dan diteladani oleh istri juga anak-anak kita.

Tambahan lagi kalau kita pengusaha. Ya, kita punya tim dan mitra. Mereka perlu diperhatikan. Benar-benar diperhatikan. Kok kita sampai hati, begitu punya kelapangan waktu kita malah buang-buang waktu? Tim dan mitra juga mengharapkan keteladanan dari kita.

Sekali lagi, keteladanan.

Ketimbang kepo-kepo di socmed (IG dan FB), lebih baik kasih komen-komen positif di socmed tim. Itu namanya motivasi. Ketimbang nonton konten-konten unfaedah di YouTube, lebih baik kasih chat positif di grup WA sama tim. Itu namanya interaksi.

Pada akhirnya, penuhi dan sesaki HARI KITA dengan aktivitas-aktivitas yang bermanfaat. Otomatis kita akan menjauh dari aktivitas-aktivitas yang sia-sia. Insya Allah.

Semoga tulisan ini menginspirasi.

Sekian dari saya, Ippho Santosa.

Tuesday, December 17, 2019

3i

Tetap berhemat dan hanya membeli barang-barang yang tepat, menjadi tantangan bagi mereka yang tiba-tiba 'punya uang'. Di antara mereka ada yang mendekati boros.

Bagaimanapun, boros adalah akhlak yang buruk.

Sepenting-pentingnya uang, ingat, lebih penting lagi ilmu dan akhlak di balik uang. Tanpa ilmu dan akhlak yang tepat, uang bisa menjadi bencana.

Dari dulu sampai sekarang, uang tidak pernah membawa masalah. Sekalipun tidak pernah. Yang masalah itu manusianya. Kurang ilmu, kurang pengendalian diri.

Terkait cara mencari uang, pahami dulu konsekuensi dan risikonya. Kalau memang mau bekerja, yah terimalah konsekuensinya. Uangnya (gajinya) nggak seberapa.

Kalau memang mau berbisnis, yah bersiaplah dengan segala konsekuensi dan resikonya. Bisnis mengharuskan kerja keras. Selain itu, kita harus pandai-pandai memutar uang dan menghemat uang.

Setidaknya ada tiga hal atau 'tiga i' yang dianjurkan saat kita mengelola penghasilan alias income:
- invest (putar lagi di bisnis, jadi stok)
- infaq (10% - 20% sedekahkan)
- insyaf (jangan lagi konsumtif)

Sayangnya, mereka yang tidak bertanggung-jawab cenderung menyalah-nyalahkan (blame) dan beralasan (excuse) saat keadaan tidak sesuai dengan harapan. Ini kurang bijak.

Kadang mereka mengeluh soal profit yang nggak seberapa. Padahal, profit-nya sudah lumayan. Pengendalian dirinya yang kurang. Betul apa betul?

Kadang mereka mengeluh soal produk yang sesekali indent. Padahal, produksi dari pusatnya sudah bagus. Manajemen stok di mitranya yang belum bagus.

Ada juga yang ngeluh soal nasibnya yang gitu-gitu aja. Dia lupa, ternyata infaq-nya selama ini juga gitu-gitu aja. Dan siapapun tahu, sedekah itu wasilah untuk berbagai macam perubahan.

Ya, sebagian orang tidak bertanggung-jawab dengan keputusan-keputusan yang telah diambil. Nggak serius di stok. Nggak serius di infaq. Selalu konsumtif, nggak insyaf-insyaf.

Padahal, yang namanya entrepreneur itu harus 100% bertanggung-jawab, nggak boleh menyalahkan keadaan. Pada akhirnya, daripada menyalah-nyalahkan keadaan, mari sama-sama kita berbenah. Siap?

Sekian dari saya, Ippho Santosa.

Monday, December 16, 2019

Tegas, Tidak harus Marah

Bolehkah menghardik dan membentak anak?

Begini. Tegas, nggak harus marah. Kalaupun harus marah (karena hal-hal prinsip), nggak perlu menghardik dan membentak.

"Memarahi anak dengan berteriak ternyata dapat merusak kepribadian mereka saat dewasa," ungkap Dr Ming-Te Wang, pemimpin penelitian dari Universitas Pittsburgh. Di mana penelitian ini dimunculkan di Journal of Child Development.

Apabila orangtua memarahi anak saat berusia 13 tahun, maka anak tersebut akan berisiko besar memiliki masalah perilaku dan masalah emosional saat dewasa. Bukan itu saja. Si anak bisa menderita depresi di usia 13 dan 14 tahun. Mereka pun cenderung berperilaku negatif di sekolah, sering berbohong, mencuri, dan berkelahi.

Dr. Ming-Te Wang menegaskan, memarahi anak dengan menghardik dan membentak BUKAN langkah yang efektif dalam menyelesaikan masalah. Sama sekali nggak efektif. Tindakan tersebut justru akan berdampak buruk pada anak, kendati hubungan anak dan orangtua cukup dekat. Bahkan anak cenderung MENIRU hardikan dan bentakan yang diterimanya.

Menurut Dr. Laura Markham lulusan Columbia University, hardikan dan bentakan orangtua kepada anak akan membuat anak menutup diri secara emosional. Menurut Martin Teicher, profesor di Harvard Medical School, teriakan orangtua kepada anak akan merusak struktur otak anak.

Terkait itu, menurut Lise Eliot dari Chicago Medical School, memarahi anak dengan nada tinggi dapat mengganggu struktur otak anak. Malah pada masa pertumbuhan (golden age), suara keras dan hardikan dari orangtua dapat menggugurkan sel otak yang sedang tumbuh.

Sebagian kita mungkin berkilah, "Ah, nggak juga. Buktinya, aku dulu sering dibentak-bentak ibu. Toh sekarang pintar juga, IPK tiga koma sekian." Benarkah argumen ini? Padahal, mungkin saja, tanpa bentakan, ia bisa lebih pintar. Bahkan jenius!

Hal ini perlu kita bahas karena pada umumnya kita menempatkan anak dan keluarga sebagai prioritas.

Ya, prioritas.

Sekiranya kita sayang sama anak-anak kita dan peduli dengan kecerdasan juga pertumbuhan mereka, baiknya kita urungkan saja niat kita untuk menghardik mereka. Sekiranya sesekali kita terpaksa marah (karena hal-hal prinsip), toh masih bisa dilakukan tanpa menghardik dan membentak.

Sekian dari saya, Ippho Santosa.

Semoga bermanfaat.

Wednesday, December 11, 2019

3D

Kadang dunia ini tidak ideal. Dalam perjalanan hidup, mungkin kita bertemu dengan orang-orang yang menzalimi kita dan menganiaya kita. Pada akhirnya, ini memancing kita untuk mendendam atau sikap-sikap negatif lainnya. Ini sebenarnya nggak baik.

Adalah 3D yang bisa menghalangi rezeki dan menutupi potensi. Bahkan juga bisa merusak kesehatan. Ya, merusak kesehatan.

Apa saja 3D itu?

Dengki, Dongkol, Dendam.

Sebaliknya, lapang hati dan memaafkan, seperti dilansir Mayo Clinic dan Telegraph, terbukti menyehatkan. Manfaatnya, antara lain, terhindar dari penyakit tekanan darah tinggi. Benarkah sampai seperti itu?

Ya, benar.

Para peneliti dari University of California, San Diego, menemukan bahwa orang-orang yang mampu mengelola amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain, cenderung lebih rendah risikonya mengalami lonjakan tekanan darah.

Sekiranya kita sadar bahwa dendam itu berdampak buruk terhadap rezeki dan kesehatan kita, tentulah kita akan membuang jauh-jauh sikap negatif ini. Kita pun semakin berhati-hati karena dendam ternyata juga memberangus amal-amal alias membuat hangus amal-amal.

Ngeri.

Kesimpulannya, kalau lapang hati, akan lapang rezeki. Kalau sempit hati, akan sempit rezeki. Pilih mana? Saya yakin Anda akan menjatuhkan pilihan pada sikap yang memberdayakan untuk masa depan Anda.

Sekian, semoga bermanfaat.

Tuesday, December 10, 2019

10 Orang Terkaya Dunia Sepanjang Sejarah

Ini 10 Orang Terkaya Dunia Sepanjang Sejarah

Belum lama ini Majalah Forbes mengeluarkan daftar orang paling kaya dunia di 2019. Pendiri Amazon Jeff Bezos didapuk menjadi orang paling kaya sedunia harta US$ 131 miliar, atau setara Rp 1.830 triliun (Kurs: Rp 14.000/dolar AS).

Jeff Bezos mungkin adalah orang terkaya dalam sejarah modern. Tapi dia sama sekali bukan orang terkaya sepanjang masa.

Melansir BBC, Senin (18/3/2019), gelar orang terkaya sepanjang masa masih dimiliki oleh Mansa Musa, penguasa Afrika Barat dari abad ke-14 yang begitu kaya.

"Catatan kontemporer tentang kekayaan Musa begitu sesak sehingga hampir tidak mungkin untuk mengetahui seberapa kaya dan kuat dirinya sebenarnya," kata Rudolph Butch Ware, profesor sejarah di Universitas California, kepada BBC.

Pada 2012, situs web AS Celebrity Net Worth memperkirakan kekayaan Mansa Musa sebesar US$ 400 miliar atau setara, tetapi para sejarawan ekonomi sepakat bahwa kekayaannya tidak mungkin dijabarkan karena sangat banyak

Selain Mansa Musa, BBC menyebutkan ada 9 orang lainnya yang memiliki kekayaan lebih besar dari Jeff Bezos dan terkaya sepanjang masa. Berikut daftarnya.


Augustus Caesar

Pria ini merupakan Kaisar Romawi setelah Julius Caesar. Kekayaannya menurut money.com mencapai US$ 4,6 triliun atau setara Rp 64.400 triliun.

Augustus Caesar tidak hanya bertanggung jawab atas sebuah kekaisaran yang menyumbang 25% hingga 30% dari output ekonomi dunia, tetapi menurut profesor sejarah Stanford Ian Morris, Augustus pada suatu saat memegang kekayaan pribadi setara dengan seperlima dari ekonomi kekaisarannya.


Zhao Xu

Nama lain pria ini adalah Kaisas Shenzong. Kekayaannya tak bisa ditaksir namun dia menguasai kerajaan dengan 25% hingga 30% dari PDB global

Dinasti Song China (960 - 1279) adalah salah satu kerajaan paling kuat secara ekonomi sepanjang masa. Menurut Prof. Ronald A. Edwards, seorang sejarawan ekonomi Tiongkok dari Dinasti Song di Universitas Tamkang, negara ini menyumbang antara 25% dan 30% dari output ekonomi dunia selama puncaknya.


Akbar I

Pria asal India ini memerintah kerajaan dengan 25% dari PDB global. Kaisar terbesar dari dinasti Mughal India, Akbar mengendalikan sebuah kekaisaran yang menyumbang sekitar seperempat dari output ekonomi global.

Chris Matthews dari Fortune mengutip almarhum sejarawan ekonomi Angus Maddison, yang berspekulasi PDB per kapita India di bawah Akbar sebanding dengan Elizabethan Inggris, tetapi dengan "kelas penguasa yang gaya hidupnya yang mewah melampaui gaya hidup masyarakat Eropa."


Andrew Carnegie

Pria ini hidup dari tahun 1835 hingga 1919. Total kekayaannya ditaksi mencapai US$ 372 miliar atau setara Rp 5.208 triliun. Andrew Carnegie mungkin menjadi orang Amerika terkaya sepanjang masa.

Imigran Skotlandia ini menjual perusahaannya, A.S. Steel, kepada J.P. Morgan dengan harga US$ 480 juta pada tahun 1901. Jumlah itu setara dengan sekitar 2,1% dari PDB AS pada saat itu.


John D Rockefeller

Rockefeller merupakan pengusaha Amerika Serikat lahir pada 1839 dan wafat pada 1937. Kekayaannya ditaksir mencapai US$ 341 miliar atau setara Rp 4.774 triliun.

Rockefeller mulai berinvestasi di industri perminyakan pada tahun 1863 dan pada tahun 1880 perusahaan Standard Oil-nya menguasai 90% produksi minyak Amerika.

Menurut New York Times, obituary-nya, Rockefeller dihargai sekitar US$ 1,5 miliar berdasarkan pengembalian pajak penghasilan tahun 1918.


Nikolai Alexandrovich Romanov

Pria yang hidup dari 1868 hingga 1918 ini memiliki kekayaan US$ 300 miliar atau setara Rp 4.200 triliun. Dia juga dikenal sebagai Tsar Nicholas II dari Rusia, memerintah kerajaan Rusia dari tahun 1894 hingga 1917 ketika kaum revolusioner Bolshevik menggulingkan dan membunuhnya serta keluarganya.

Pada tahun 1916, kekayaan bersih Tsar Nicholas II sebenarnya hampir US$ 900 juta. Namun karena disesuaikan dengan inflasi maka diperkirakan setara dengan US$ 300 miliar pada dolar 2012.


Mir Osman Ali Khan

Mir Osman Ali Khan yang juga dikenal sebagai The Nizam of Hyderabad, adalah penguasa Hyderabad sampai negara itu diserbu oleh tetangga India. Mir Osman Ali Khan memiliki koleksi emas pribadi yang bernilai lebih dari US$ 100 juta dan memiliki lebih dari US$ 400 juta perhiasan termasuk Berlian Yakub yang terkenal yang bernilai US$ 95 juta saat ini.

Khan bahkan menggunakan berlian sebagai penindih kertas di kantornya. Dia konon memiliki lebih dari 50 mobil Rolls Royces. Total kekayaannya pria yang hidup di antara 1886 hingga 1967 diperkirakan mencapai US$ 230 miliar atau setara Rp 3.220 triliun.


William The Conqueror

William The Conqueror hidup pada 1028 hingga 1087. Total kekayaannya diperkirakan mencapai US$ 229,5 miliar atau setara Rp 3.213 triliun.

Dia terkenal karena menyerbu dan kemudian merebut Inggris pada 1066. Dalam perebutan itu dia memperoleh cukup banyak uang. Ketika William meninggal dia meninggalkan yang setara dengan US$ 229,5 miliar kepada putra-putranya.


Muammar Gaddafi

Siapa yang tak kenal Muammar Gaddafi di era modern saat ini. Pria yang lahir pada 1924 dan meninggal di 2011 merupakan pimpinan Libya yang cukup lama.

Setelah kematiannya pada tahun 2011, muncul laporan bahwa Muammar Gaddafi diam-diam adalah orang terkaya di dunia dengan kekayaan bersih US$ 200 miliar atau setara Rp 2.800 triliun.

Dalam bulan-bulan sekitar kematiannya, hampir US$ 70 miliar uang tunai disita di rekening bank asing dan real estat. Ladang minyak Libya merupakan sisa kekayaan bersihnya.


Sumber :
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4472989/ini-10-orang-terkaya-dunia-sepanjang-sejarah/3

Friday, December 6, 2019

Jangan Digegas, Jangan Di-gas.

Sebenarnya, pasangan kita (suami kita atau istri kita) adalah orang ditakdirkan untuk memperbaiki kita sekaligus melengkapi kita. Begitu juga sebaliknya, vice versa. Percayalah, dialah yang paling tepat. Tidak ada orang lain yang lebih tepat.

Terbukti kita ditakdirkan berjodoh dan menikah dengan dia. Padahal ada miliaran manusia yang hidup di dunia ini.

Saat kita berharap pasangan untuk berubah dan membaik, yang sebenarnya perubahan dan perbaikan itu harus dimulai dari diri kita. Ya, dari diri kita. Berharap dia yang berubah duluan adalah pekerjaan yang melelahkan dan tidak terlalu bijak.

Satu hal lagi.

Apa itu?

Harus ada kesabaran. Nabi sabar menunggu para sahabat untuk berubah. Allah? Maha Sabar. Lantas, kenapa kita nggak sabar?

Kadang kita kurang sabar ketika berharap pasangan untuk berubah. Kadang kita merasa sudah relatif baik, lalu kita menuntut pasangan untuk berubah dan membaik. Hei ingat, kecepatan dan momentum orang itu berbeda-beda ketika diharapkan untuk berubah.

Jangan digegas. Jangan di-gas.

Kita boleh berharap perubahan yang cepat kalau orang itu adalah diri kita sendiri. Perlu contoh? Misal, kita pengen tahajjud dan rutin. Ya sudah, mulai malam ini juga, berlanjut malam-malam berikutnya. Tapi saat kita berharap pasangan yang rutin tahajjud-nya, yah kita mesti sabar. Jangan mendesak dia untuk memulai malam ini juga.

Sabar. Doakan. Dan mulai perubahan itu dari diri kita.

Seperti Nabi Yunus yang awalnya gagal berdakwah utk sebuah kampung. Iya, gagal. Tapi kemudian, beliau berhasil juga. Kok bisa? Krn beliau memutuskan utk bertobat dan berubah. Tepatnya, memperbaiki diri dan memantaskan diri.

Dalam mendoakan, mesti ada sikap sabar dan rasa sayang. Hadirkan itu selalu. Apalagi terhadap orang yang ditakdirkan untuk melengkapi kita, yaitu pasangan kita. Sering kali, krn kesal, kita tidak membawa 'rasa sayang' dlm mendoakan. Ini kurang tepat.

Di mana-mana, setiap perubahan perlu pendampingan. Ya, setiap perubahan. Apalagi di komunitas BP yang saya rintis, kami selalu mengedepankan konsep couple-preneur. Perlu kesabaran. Perlu baiksangka. Perlu doa yang tidak putus-putus. Pastikan kita menghadirkan itu semua, demi pasangan kita.

Siap?

Thursday, November 28, 2019

Interconnected


Jadilah mukmin.
Jadilah rahmatan lil alamin.

Dan jadikan ini gaya hidup.

Sebenarnya, gaya hidup 'rahmatan' adalah gaya hidup yang diimpi-impikan oleh kebanyakan orang.

Kenapa?

Yah, karena di dalamnya terdapat asas kebermanfaatan, kebersamaan, dan keadilan.

Jujur, ini sangat langka. Tapi kalau kita bisa menjadi seperti itu, yah kita akan dicari-cari orang. Diimpikan banyak orang. Betul apa betul?

Termasuk dalam muamalah (kerjasama bisnis). Harus ada gaya hidup 'rahmatan lil alamin' di sana. Bukankah Nabi menganjurkan kebermanfaatan dan keadilan dalam muamalah? Tentu ini kita harapkan terjadi di semua sektor, bukan di sektor tertentu saja.

Di rumah makan Padang misalnya, kita berharap ada gaya hidup 'rahmatan' ini. Maksudnya, ada keadilan dan kejelasan pada harga. Makanan? Relatif sehat. Dan itulah yang seharusnya. Jadi, yang namanya 'rahmatan' BUKAN pada bisnis-bisnis yang berlabel agama saja, seperti travel umrah dan distributor jilbab.

Melainkan pada SEMUA bisnis.

Terus, bagaimana dengan kebersamaan atau sering disebut dengan sinergi?

Sepenting apa?

Bagi saya sinergi adalah saling percaya, saling saling membantu, dan saling mendoakan. Ini semacam keterkaitan satu sama lain. Interconnected.

Terus, seperti apa contoh konkritnya?

Begini. Saat kita membantu seseorang, jangan berharap orang itu langsung membantu kita sebagai timbal-baliknya. Nggak harus begitu. Sebagai mukmin kita percaya sepenuhnya bahwa Allah itu maha membalas.

Right?

Kalau mau bantu yah bantu saja. Soal timbal-balik atau balasan, kita serahkan ke Allah.

Bantu orang lain, maka Allah akan membantu kita. Muliakan orang lain, maka Allah akan memuliakan kita. Doakan orang lain, maka Allah akan mengabulkan doa kita. Donorkan darah ke orang lain, maka Allah akan menyehatkan darah kita.

Inilah bagian dari gaya hidup 'rahmatan'.

Masih soal bisnis. Bagaimana dengan harga? Jangan over-price bagi konsumen. Bagi mitra-mitra, yah diuntungkan secara adil dan merata.

Kalau produk? Usahakan benar-benar bermanfaat. Jangan bikin orang konsumtif (fashion misalnya). Seperlunya saja. Jangan juga mengundang kolestrol dan asam urat (misalnya kalau kita jual makanan).

Begitulah kurang-lebih.

Dan kalau ini diterapkan, sungguh-sungguh diterapkan, mudah-mudahan kita pelan-pelan menuju gaya hidup 'rahmatan lil alamin'.

Aamiin.


Sumber foto :
https://medium.com/@YJProfessionals/finding-good-in-an-interconnected-society-c77eeeda5fc8

Tuesday, November 26, 2019

Internet adalah Now Market dan Next Market

Internet dan gadget adalah kekuatan yang sangat dahsyat. Termasuk dalam bisnis.

Sayangnya, sebagian besar UKM kita kurang melek soal internet. Padahal internet adalah now market dan next market. Maksudnya? Saat ini, sangat besar. Ke depannya, jauh lebih besar.

Terus, sampai kapan kita cuma diam jadi penonton? Saran saya, jadilah pemain. Jadilah pelaku. Dengan internet, kita tidak perlu lagi menyewa ruko atau buka stand. Tidak perlu lagi memasang spanduk, flyer, dan iklan koran.

Hemat tho? Sangat hemat. Cukuplah kita mengoptimasi Facebook, Instagram, Whatsapp, dan Blogspot, sehingga otomatis bisnis kita muncul di mana-mana ketika konsumen mencari. Saya harap teman-teman semua siap dan terbiasa dengan itu.

Mitra-mitra saya alhamdulillah sudah terbiasa dengan itu semua. Misalnya, ganti profile picture, terus dapat closingan. Update WA story, terus dapat closingan. Posting di IG, terus dapat closingan. Simple tapi sangat ngefek.

Alhamdulillah, mereka sudah terbiasa. Karena memang sudah di-training dan dikondisikan setiap harinya. Bukan asal update. Bagi teman-teman yang belum paham, saran saya, cobalah belajar. Atau bergabung di komunitas di tepat.

Zaman sekarang, percayalah, nyari rupiah itu relatif mudah dan nggak harus keluar rumah. Salah satu caranya, pandai-pandailah kita memanfaatkan internet dan gadget. Simple banget. Bisa insya Allah, asalkan kita mau membuka mindset dan memantaskan diri.

Siap?

Wednesday, November 13, 2019

Jenis Bisnis Konsultan

10 Jenis Bisnis Konsultan Paling Populer

November 13th, 2013
Sumber: Google

Menurut kamus, kata consultant berarti "ahli dibidang tertentu yang menjadi penasihat kepada sebuah perusahaan atau individu", sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata Konsultan artinya "ahli yang tugasnya memberi petunjuk, pertimbangan, atau nasihat dl suatu kegiatan (penelitian, dagang, dsb); penasihat ."

Bisnis konsultan mulai populer di Indonesia sejak tahun 1990an. Bahkan pada beberapa tahun terakhir, bidang bisnis konsultasi mulai bertambah dengan munculnya berbagai kebutuhan yang baru. Seperti yang diungkapkan di atas, bidang usaha konsultan adalah memberi nasihat, tidak kurang dan tidak lebih. Sepertinya sederhana, namun bukanlah hal mudah membangun sebuah firma atau perusahaan konsultan yang berhasil.

Yang membedakan konsultan yang bagus dan buruk menurut Entrepreneur.com adalah passion dan mengejar keunggulan. Selain itu, tentunya ahli dibidangnya. Beberapa hal yang harus Anda pertimbangkan sebelum terjun dalam bisnis konsultan adalah :


- Apakah perlu sertifikasi atau ijin tertentu dibidang tersebut? Hal ini tergantung profesi Anda, Anda mungkin butuh sertifikasi khusus atau ijin sebelum bisa memulai usaha konsultan. Sebagai contoh untuk konsultan bidang pembangunan atau real estate dan juga keuangan serta pajak.

- Apakah saya memiliki kualifikasi untuk menjadi konsultan? Sebelum Anda berharap ada klien yang mau membayar Anda, pastikan Anda memiliki kualifikasi yang cukup baik.

- Apakah saya cukup terorganisir untuk menjadi seorang konsultan? Apakah Anda suka merencakan hari-hari Anda? Apakah Anda sangat baik dalam managemen waktu? Jika jawabannya ya, maka Anda dapat terus melangkah.

Apakah saya suka membangun jaringan? Jaringan adalah hal penting dalam kesuksesan bisnis konsultasi hari ini.

- Apakah saya memiliki target jangka panjang dan jangka pendek? Jika target  tidak sesuai dengan waktu dan energi yang Anda miliki, maka pertimbangkan kembali arah usaha Anda.

Saat ini ada banyak jenis bisnis konsultan, namun berikut ini adalah yang paling populer

1. Akunting : Hampir semua usaha membutuhkannya, tidak peduli seberapa besar atau kecilnya usaha tersebut.

2. Advertising/periklanan : tipe bisnis ini biasanya dibutuhkan untuk mengembangkan strategi kampanye iklan.

3. Auditor : Konsultan yang mengaudit berbagai bidang dalam bisnis, mulai yang umum hingga spesifik.

4. Konseling Karir : Dengan semakin besarnya angkatan kerja yang tidak sebanding dengan lapangan kerja yang tersedia, banyak orang membutuhkan bimbingan untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dan mereka inginkan baik dari pekerja maupun perusahaan pemberi kerja.

5. Konsultan Bisnis : Jika Anda memiliki indra bisnis yang bagus, maka Anda bisa terjun dalam bidang ini. Kebanyakan mereka dibutuhkan untuk meningkatkan keuntungan perusahaan atau dalam memulai usaha disuatu bidang.

6. Konsultan komputer : Mulai dari software hingga hardware, hal ini sangat dibutuhkan dalam dunia usaha saat ini. Bisa dipastikan bidang ini sedang meroket di beberapa tahun terakhir.

7. Writing & Editorial Servise : Mulai memberikan pelatihan penulisan hingga menghasilkan newsletter hingga laporan tahunan perusahaan. Mereka yang ahli dibidang ini selalu dibutuhkan.

8. Human Resources Developmen/Sumber Daya Manusia : Konsultan dibidang HRD salah satu bidang yang selalu dibutuhkan perusahaan, namun saat ini pesaingnya pun sangat banyak. Anda harus memiliki nilai tambah yang membuat perusahaan konsultan Anda dilirik oleh klien.

9. Pajak : Konsultan pajak memberikan arahan agar perusahaan  menjalankan usaha secara legal dengan pembayaran pajak seefektif mungkin. Dengan banyaknya kasus pajak saat ini, konsultan pajak selalu dibutuhkan.

10. Public Relation : Mendapatkan liputan media untuk sebuah perusahaan dengan cara yang ideal adalah sebuah seni. Ketika perusahaan mendapatkan konsultan PR yang baik, maka dipastikan branding dan marketing perusahaan tersebut bisa semakin baik.


Sumber :
https://www.jawaban.com/read/article/id/2013/11/13/11/131113113820/10_jenis_bisnis_konsultan_paling_populer

Tuesday, November 12, 2019

Asosiasi Jasa Konsultan

Berbagai Jasa Konsultan dan Asosiasi yang Bisa Diikuti

November 12th, 2013

Menurut wikipedia, konsultan adalah seorang tenaga profesional yang menyediakan jasa penasihatan dalam bidang keahlian tertentu, misalnya akuntansi, pajak, lingkungan, biologi, hukum, dan lain-lain. Perbedaan konsultan dengan ahli biasa yaitu sang konsultan bukan merupakan pegawai perusahaan melainkan seseorang yang menjalankan usahanya sendiri atau bekerja di bawah perusahaan khusus kepenasihatan.

Sebagai penyedia jasa konsultan, tergabung dalam berbagai organisasi khusus sangatlah penting seperti tergabung dalam Inkindo (Ikatan Nasional Konsultan Indonesia). Selain itu bisa juga tergabung dalam organisasi konsultan bidang khusus. Misalnya saja untuk konsultan pajak, bisa tergabung dalam IKPI (Ikatan Konsultan Pajak Indonesia) dan lain sebagainya.

Pertanyaannya, bidang konsultan apa yang ingin kita geluti atau kita kuasai? Berikut ini ada beberapa pilihan bidang konsultan yang sering / umum terdapat di Indonesia beserta asosiasi yang mewadahi konsultan tersebut yaitu :


Konsultan Pajak                  - IKPI (Ikatan Konsultan Pajak Indonesia)

Konsultan Akuntansi            - IAI (Ikatan Akuntan Indonesia)

Konsultan Politik                 - AKPI (Asosiasi Konsultan Politik Indonesia)

Konsultan Hukum                - AKHI (Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia)

Konsultan Hukum Pasar Modal – HKHPM (Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal)

Konsultan Keuangan            - AKAI (Asosiasi Konsultan Aktuaria Indonesia)

Konsultan Manajemen          - AMA (Asosiasi Manajemen Indonesia)

Konsultan Konstruksi           - Perkindo (Persatuan Konsultan Indonesia)

Konsultan Pendidikan           - AKPI (Asosiasi Konsultan Pendidikan Indonesia) dan IKPII (Ikatan Konsultan Pendidikan International Indonesia)


Kesemua konsultan tersebut ahli di bidangnya masing-masing dan masih banyak yang lainnya yang bergerak di bidang konsultan.


Sumber :
https://www.jawaban.com/read/article/id/2013/11/12/82/131112141209/Berbagai-Jasa-Konsultan-dan-Asosiasi-yang-Bisa-Diikuti.html

Tuesday, November 5, 2019

Kill Your Productivity

5 Mental Mistakes That Kill Your Productivity


Alice Boyes
November 04, 2019

If you’re sometimes frustrated about how little you accomplish during your work day, you’re not alone. Research indicates that only 26% of people often leave the office having accomplished the tasks they set out to do.

It’s common to feel as if you’ve been busy but haven’t done anything important. Of course, life isn’t about being a productivity robot in which every second is optimized. But most of us do want to feel well-organized and efficient in pursuing key goals and solving critical problems.

A good first step is to understand the mental mistakes that typically prevent us from focusing on and finishing meaningful work.  Here are five common ones:

1. You overestimate how much focused time you have in a typical day.
Long-term creative projects, strategic thinking, and skill- and relationship-building require big blocks of concentrated attention. It’s easy to optimistically think you’ve got all day, or even several hours, for that type of work and subsequently plan your priorities based on that assumption. However, for many of us, meetings, email, Slack, phone calls, and “quick questions” take up a considerable portion of our time in the office. Aggregated data from the time-tracking app RescueTime suggests that people have as little as one hour and 12 minutes of uninterrupted time in their day.

If you acknowledge the limited time you’ll have for focused work, you can more ruthlessly select your absolute top priority and protect yourself from distractions for certain periods. When you do have 60 to 90 minutes available, try to focus on your bigger-picture goals (as tempting as it might be to focus on more time-sensitive routine work). Remember, too, that even those complex and important projects usually have some admin tasks associated with them (e.g., hunting down a reference when writing a book) that don’t require as much focus or creativity. As a workaround for having limited time for the harder work, identify those to-dos and slot them into that spare 15 minutes you have between meetings or those longer free periods during which you suspect there will be interruptions.

2. You overlook proven, sustainable methods that seem too boring or too simple.
If you consume a lot of productivity self-help material, you’re probably familiar with many core concepts from cognitive-behavioral psychology. For instance, if you form “implementation intentions” you’re more likely to follow through. This involves planning when and where you’ll do a task and how you’ll overcome obstacles you’ll encounter. Likewise, you might’ve previously read about how shrinking the number of decisions you make in a day will reduce your mental fatigue and improve your willpower. And, you might know that when you make any task easier, for example by ensuring you have the needed materials on hand, you’re more likely to begin. However, once we’ve heard these principles, we often write them off as “old news” even when we haven’t fully implemented them or tried them at all.

For each of your important projects, have your next action defined and everything you need to complete it handy and ready to go. For instance, if you want to video yourself rehearsing a big speech, set up the space you plan to use, do a test recording for a minute, and make sure you have enough free space on your recording device. If you remove these types of practical barriers to getting started, they won’t eat into your focused time.

If you like to see yourself as a special or unique individual, you might find that simple solutions don’t sit well with that, since you don’t like to see yourself as being like everyone else. This is a trap. Make sure you’re employing boring, but easy and proven-to-work, strategies in all the ways you could be. Get better at creatively applying simple ideas rather than searching for complex ones.

3. You think about change in an all-or-nothing way.
We often suspect that a certain habit change would help our productivity but feel psychologically resistant to doing it. For instance, you might believe that getting more sleep would help your productivity but you’re a night owl and bristle at advice about going to bed early. Instead of perseverating on what you feel resistant to, look for changes you’re willing to make that don’t feel like a big deal. Automating your house lights to dim (or turn red), using blue light filters on your devices, or spending the last 30 minutes of your work day planning the following day (creating a transition), might help you effortlessly shift the time you want to go to sleep 10-15 minutes earlier. However, if you think you have to make a two-hour change to your bedtime or nothing, or you’re only focused on the fact you don’t want to give up sleeping with your phone, you won’t make any changes at all. Collect the easy wins that don’t trigger your psychological resistance. When you successfully make a low-key change, your willingness to make other changes will probably naturally expand.

4. You forget how to do recurrent but infrequent tasks.
If you do a task daily, you likely have an efficient process for getting it done. If you do it once or a few times a year, you might not. In The Healthy Mind Toolkit, I wrote about how every time I needed to clean my printer drum, I would spend at least 10 minutes finding the instructions online for how to do it. Now I have those instructions saved in an email to myself under the subject line “how to clean printer drum” so I no longer have to go through all the steps of finding my printer’s model number and Googling it.

After you’ve finished any process that you’ll need to repeat in the future, write yourself instructions for the most efficient way to do it and save those in an easily searchable place.

5. You underestimate the costs of small time/energy leaks.
Spending a little bit of time most days on your important but not urgent big-picture projects and/or improving your skills is often enough to dramatically enhance your overall outcomes compared with spending no time. On the flip side, small time and energy leaks can have a bigger negative impact than people perceive. That ten minutes you spend searching for keys or responding to an email that didn’t need an immediate reply, is inconsequential in and of itself. However, many of these instances can disrupt your flow, reinforce a negative sense of identity, and generally sap your energy. When you create systems (e.g., reducing unnecessary decisions, streamlining and simplifying tasks, batching, automating, outsourcing, or using checklists) that address small time/energy leaks, you’ll experience mental clarity benefits from doing so that far outstrip the time savings.

While the tips in this article won’t solve all your productivity problems, they can give you a better shot at getting the most important things done.


Sumber :
https://hbr.org/2019/11/5-mental-mistakes-that-kill-your-productivity

Wednesday, October 30, 2019

We Need Leadership, Not Likership

Why Likable Leaders Seem More Effective

In late 2007, one of us, Charn, found himself in Camp Buehring, Kuwait, preparing to fly a Kiowa Warrior helicopter over the Iraqi border. Kuwait is a stopover where U.S. soldiers finish all required training just prior to deploying into combat.

The only treacherous part of Kuwait is the sand — it is deep and very fine so walking is slow and cumbersome. One morning, as he waded through the sand on the way to the airfield, he saw a sign proclaiming, “We Need Leadership, Not Likership.”


Sumber :
https://hbr.org/2019/10/why-likable-leaders-seem-more-effective

Tuesday, October 29, 2019

Menjual Indent

Hampir setiap hari saya bertemu dengan entrepreneur dan calon entrepreneur. Pas bertemu, biasanya mereka nanya-nanya ke saya. Salah satunya tentang membesarkan usaha.

Saran saya, jangan buru-buru berpikir ngutang dalam membesarkan usaha. Terutama buat pemula. Apalagi di bidang yang relatif baru dan berisiko bagi Anda.

Sekali lagi, jangan buru-buru berpikir ngutang dalam membesarkan usaha. Masih ada cara lain untuk mendapatkan cash, asalkan bisnis Anda memang bagus alias menjanjikan.

Misal:
Hemat-hemat
Jual indent
Bayar tempo
Tunda pengeluaran
Beli skala kecil (sesuai kemampuan)

Satu hal yang perlu dikuasai benar-benar oleh seorang pengusaha adalah menjual indent. Barang belum ada, tapi sudah dijual. Bolehlah? Boleh-boleh saja.

Agama pun mengizinkan itu. Jual indent. Asalkan barang nantinya sesuai dengan yang dijanjikan. Jangan sampai, gambarnya A, barangnya B. Ngawur tuh!

Mulailah menjual indent. Lalu dapatkan cash-nya.

Ingat, cash is king. Pengelolaan atas cash, itu melebihi king. Lihatlah, betapa banyak bisnis yang runtuh dan rubuh, hanya gegara gagal mengelola cash. Padahal sebagian mereka memetik untung.

Pada akhirnya, juallah indent, lalu dapatkan cash-nya. Tentunya dengan tetap berhati-hati. Praktek ya.

Sekian dari saya, Ippho Santosa. Semoga berkah berlimpah.

Friday, October 25, 2019

Doa Mantul

Pernah lihat teman jualan?

Setiap kali teman kita atau siapa saja posting di socmed tentang closing, baiknya kita ikut senang. Lalu kita doakan dalam hati, "Semoga jualannya tambah laris, semoga omset-nya tambah banyak. Aamiin."

Insya Allah doa itu akan 'mantul' ke kita dengan kekuatan yang lebih dahsyat. Ya, lebih dahsyat.

Ini juga bagian dari mental kaya. Berkelimpahan. Di mana kita percaya sepenuhnya bahwa Allah Maha Kaya. DIA punya banyak resources, bahkan tak terhingga resources-nya. Bisa mengayakan semua pihak, bisa melariskan semua dagangan.

Jadi, tak perlu iri atau dengki.

Orang yang iri, berarti menurutnya, "Kalau Allah telah memberikan rezeki yang banyak kepada si A, B, dan C, terus gimana dengan rezeki dan nasibku? Sudah dibagi-bagi kayak gitu, apa masih ada sisanya buatku?'

Dipikirnya, resources Allah itu terbatas. Ini pemahaman keliru. Begini. Kalau kita dapat customer, kalau kita dapat closingan, terus kita bersyukur, itu sih wajar. Anak TK juga tahu, hehehe.

Tapi saat orang lain dapat customer dan kita ikut senang juga bersyukur, itu bikin semesta takjub. Seolah-olah semesta berkata, "Hebat banget kamu ini. Orang lain dapat nikmat, eh kamu ikut bersyukur. Sebentar lagi deh, giliran kamu!'

Begitulah, harapan dan doa itu akan 'mantul' ke kita dengan kekuatan yang lebih dahsyat. Siap?

Thursday, October 17, 2019

Investor Mulai Pilih Kuda Zebra?

Oleh: Erick Wahyudi, Analis Ekonomi
posted on Okt. 04, 2019 at 7:38 am

Beberapa bulan terakhir nilai saham Uber dan Lyft anjlok dikarenakan kembali gagal memenuhi harapan investor.

Uber, sebagai pelopor ride-hailing yang diikuti oleh Gojek dan Grab, nilai sahamnya turun 30 persen lebih rendah dari harga saham perdananya.

WeWork, yang didanai oleh Softbank (yang juga investor besar Uber, Grab dan Tokopedia), memangkas valuasi hingga 450 trilyun rupiah (70 persen lebih rendah dari valuasi sebelumnya), dan terpaksa menunda jadwal IPO.

Terakhir OYO, sebuah startup serupa Airbnb dari India, yang lagi-lagi didanai oleh Softbank, dicurigai oleh beberapa analis melakukan praktik russian-doll ponzi game, karena memiiki valuasi yang fantastis dan tidak wajar.

Di Tanah Air, Bukalapak juga diterpa issue kesulitan pendanaan. Mereka kemudian menepisnya dan mengatakan bahwa mereka sedang melakukan reorientasi bisnis agar bisa mulai menurunkan angka kerugian.

Semua berita tersebut bukan berita buruk.

Bagi saya, itu merupakan berita baik. Reality bites, bahwa walaupun pahit, itu semua akan mendorong kesadaran investor untuk kembali kepada hakikat bisnis yang sebenarnya: mencetak profit.

Istilah Unicorn pertama kali populer saat terjadi dotcom crash di awal tahun 2000. It was not a compliment. Unicorn was (and maybe is an insult.

Itu merupakan sebutan bagi perusahaan yang mendambakan keuntungan yang fantastis, yang ditunggangi oleh investor-investor serakah dengan cara menggelembungkan nilai perusahaan.

Hal ini, nampaknya kembali terulang. Dalam 10 tahun terakhir banyak startup-startup yang telah berhasil melakukan inovasi dan melakukan disrupsi bisnis atau melahirkan bisnis baru.

Namun lagi lagi, banyak investor kembali menungganginya dengan cara-cara yang jauh dari etika. Mereka umumnya membungkus sebuah inovasi dengan argumen-argumen sebagai berikut.


1. Customer is an asset. 
Tidak ada yang salah dengan ini. Customer memang dapat dilihat sebagai layaknya sebuah inventory.

Mulai dari mengakuisisi customer baru (dianggap seperti raw  material  dalam inventory) hingga me-retain customer untuk loyal (seperti finished goods dalam inventory).

Ujungnya, seluruh biaya yang digunakan untuk mendapatkan dan mempertahankan customer, termasuk biaya diskon besar-besaran, dapat dicatatkan sebagai investment, bukan expense.

Yang jadi pertanyaan adalah: apabila customer dengan mudah hilang dalam hitungan detik karena perang diskon, sampai batas mana uang yang telah dihabiskan tersebut masih layak disebut sebagai investasi?

Apakah teknologi dan inovasi benar-benar dapat menjamin customer tersebut tidak hilang?


2. Growth at all cost. 
Ukuran sukses paling utama yang diamini oleh seluruh ekosistem startup (founder, investor, mentor, dan bahkan regulator) adalah growth pertambahan pengguna.

Hal ini, serupa dengan traffic growth saat awal-awal bisnis Internet tahun 90an. Dengan “ideologi” ini, investor menjadi raja yang mengendalikan sebuah startup.

Kalau tidak terus disuntikan dana, startup akan mati. Atau customer segera hilang dicuri oleh kompetitor, yang bisa jadi juga didanai oleh investor yang sama.


3. Market Domination. 
Investor selalu terobsesi dengan sebuah bisnis yang tidak memiliki pesaing.

Era ekonomi digital telah memberikan beberapa peluang inovasi yang memungkinkan hal ini, karena dapat melahirkan bisnis yang benar-benar baru, atau mendisrupsi bisnis yang ada, atau memonopoli ekosistem bisnis.

Namun pada praktiknya, dominasi pasar dan disrupsi bisnis banyak dilakukan dengan cara menghancurkan pasar melalui kekuatan modal yang disuntikan oleh investor.

Hal ini, berbeda dengan Microsoft dan Apple misalnya. Kekuatan modal mereka untuk makin menguasai pasar didapatkan dari keuntungan perusahaan.

Model bisnis mereka sedari awal adalah untuk membukukan keuntungan dari setiap barang yang dijual.

Semua argumen tersebut, oleh founder startup, investor dan mentor, dibungkus dalam sebuah story telling yang hebat.

Inovasi teknologi diceritakan terkadang melebihi kemampuan me-generate value yang sebenarnya.

Jumlah penduduk Indonesia yang 260 juta lebih digadang-gadang sebagai market yang addressable, padahal tidak semua populasi membutuhkan produk yang dijual.

Network effect yang ringkih dikisahkan memiliki defensibility yang kuat. Istilah super-apps dihembuskan dengan mengeneralisasi tuntutan industri yang berbeda-beda.

Expansi ke pasar regional dilakukan untuk terus mendapatkan growth story, walaupun sebenarnya produknya dibangun spesifik untuk kebutuhan lokal.

Kemudian, story telling ini diperkuat dengan merekrut advisor dan komisaris yang memiliki reputasi hebat, yang sebenarnya tidak banyak kerjaannya.

Lalu, bagaimanakah seharusnya investor yang baik dan benar?

Jawabannya adalah: investor yang rajin mencari dan menelaah proposal dari startup yang benar-benar solid, dan jujur melihat kekuatan dan kelemahan startup yang didanainya.

Investor harus memberikan perhatian lebih pada startup yang didirikan oleh founder yang berpengalaman dalam industri vertikal.

Tanpa founder yang berpengalaman di industrinya, keberhasilan suatu investasi akan sangat bergantung pada nasib.



Sebuah riset memaparkan bahwa usia rata-rata founder startup sukses memiliki umur 42 tahun. Hal ini menyiratkan bahwa pengalaman founder menjadi hal yang sangat kritikal.

Investor juga perlu melakukan review terhadap metric-metric yang dipakai dalam menilai sebuah proposal. Tidak semua metrik ala sillicon valley bisa diterapkan untuk semua model bisnis dan sektor industri yang beragam.

Dan, yang paling ideal adalah: carilah startup yang sedari awal sudah menetapkan profit margin dari selisih harga jual dengan biayanya.

Bukan yang mejanjikan margin setelah melakukan dominasi pasar yang mensyaratkan investasi (bakar duit) besar-besaran.

Startup yang baru bisa mendapatkan keuntungan setelah melakukan dominasi pasar menunjukkan adanya broken business model.

Startup seperti itu hidupnya akan sangat tergantung dari fase investasi yang satu ke fase investasi berikutnya. Istilah kasarnya: hoping for the the next idiot to come in the last investment round.

Prediksi saya, apabila tidak ada perubahan sikap dari seluruh ekosistem ekonomi digital, economic bubble dapat meletus dalam 2-3 tahun mendatang.


Di Indonesia akan ada unicorn yang tumbang. Akan ada banyak startup yang gagal berkembang. Program 1.000 startup bisa jadi menghasilkan ratusan founder startup yang gagal dan frustrasi.

Akan banyak uang investor baik privat maupun publik yang terbuang percuma.

Bagi investor lokal kebanyakan, akan sulit menjangkau skala investasi karena valuasi startup idaman sudah digelembungkan secara fantastis oleh investor asing. Investor lokal hanya menjadi pengikut minoritas.

Ini adalah saat yang tepat bagi investor Indonesia untuk memainkan game yang bebeda dengan pengetahuan lapangan dan jaringan lokal-nya.

Investor Indonesia harus bekerja lebih keras dan merubah selera untuk berinvestasi pada kuda zebra yang nyata ada, yang warna hitam-putihnya terlihat jelas. Jangan menggantungkan harapan mendapatkan Unicorn yang merupakan produk mitologi dari luar.

“Growth for the sake of growth is the ideology of the cancer cell.” – Edward Abbey.


Sumber :
https://matranews.id/investor-mulai-pilih-kuda-zebra/

Wednesday, October 16, 2019

Menutup Keburukan

SENI MENDIDIK DIKENANG MURID

Sekelompok anak muda menghadiri resepsi pernikahan. Salah seorang di antaranya melihat guru SD nya. Murid itu menyalami gurunya dengan penuh penghormatan, seraya berkata: Masih ingat saya kan pak guru?

Gurunya menjawab: tidak

Murid itu bertanya keheranan: masa sih pak guru tidak ingat saya. Saya kan murid yang mencuri jam tangan salah seorang teman di kelas. Dan ketika anak yang kehilangan jam itu menangis, pak guru menyuruh kita untuk berdiri karena akan dilakukan penggeledahan saku murid.

Saya berfikir bahwa saya akan dipermalukan di hadapan para murid dan para guru, dan akan menjadi tumpahan ejekan dan hinaan, mereka akan memberikan gelar kepadaku pencuri dan diriku pasti akan hancur, selama lamanya.

Engkau menyuruh kami berdiri menghadap tembok dan menutup mata kami semua. Engkau menggeledah kantong kami, dan ketika tiba giliran saya, Engkau ambil jam tangan itu dari kantong saya, dan engkau lanjutkan penggeledahan sampai murid terakhir.

Setelah selesai engkau suruh kami membuka penutup mata, dan kembali ke tempat duduk. Saya takut engkau akan mempermalukan saya di depan murid murid.

Engkau tunjukkan jam tangan itu dan engkau berikan kepada pemiliknya, tanpa menyebutkan siapa yang mencurinya.

Selama saya belajar di sekolah itu Engkau tidak pernah bicara tentang kasus jam tangan itu, dan tidak ada seorangpun guru maupun murid yang bicara tentang pencurian jam tangan itu.

Engkau masih ingat saya pak?
Bagaimana bisa engkau tidak mengingatku wahai guruku.

Saya adalah muridmu dan ceritaku adalah cerita pedih yang tak akan terlupakan.

Guru itu menjawab:
Sungguh saya tidak mengingatmu, karena pada saat menggeledah itu sengaja aku menutup mata pula agar tidak mengenalmu

Pendidikan memerlukan seni dalam menutup keburukan.


Semoga bermanfaat
Publish by: Pondok yatim arroja

Thursday, October 10, 2019

Jadilah Miliarder

#JadilahMiliarder.

Mudah-mudahan engkau lebih leluasa untuk ber-dhuha dan tidur siang (jangan salah, ini sunnah Nabi). Ketika resepsi, engkau pun mampu menyiapkan tempat duduk untuk seluruh tamu yang menghadiri, sehingga mereka tidak perlu makan sambil berdiri (katanya ini standing party, padahal kurang sesuai dengan sunnah Nabi).

Jadilah miliarder. Mudah-mudahan engkau bisa memilih business class ketika terbang antar benua selama belasan jam. Di sini engkau bisa tidur dengan rebahan dan menghadap ke sisi kanan (lagi-lagi ini sunnah, bukan cerita rekaan). Kalau di economy class, maaf, engkau tidur sambil duduk dan kurang nyaman. Mungkin engkau sanggup, tapi apakah orangtuamu sanggup dan merasa nyaman?

Jadilah miliarder. Mudah-mudahan engkau lebih leluasa untuk membangun mall sendiri dan musholla yang benar-benar layak di dalamnya. Tidak sempit, tidak pengap, tidak panas, tidak jauh, dan senyaman-nyamannya. Engkau pun bisa membangun rumah sakit dan sekolah, sekaligus menolong mereka-mereka yang lemah namun tetap memerlukan layanan kesehatan dan pendidikan dengan selayak-layaknya.

Jadilah miliarder. Mudah-mudahan engkau lebih lantang dalam bersikap dan bersuara, terutama hal-hal yang prinsip dan sangat menentukan. Maaf, kalau engkau lemah finansial, engkau gampang ditekan dan gampang diarahkan. Sekiranya engkau miliarder, engkau pun bisa membangun media yang menarik, terpercaya, dan membela kebenaran.

Belum bisa? Niatkan. Ikhtiarkan. Dan saling mendoakan. Percayalah, ini bukan khayalan. Kan ada Allah yang maha kaya lagi maha memampukan. Semoga di antara kita ada yang berhasil mewujudkan dalam kenyataan. Inspirasi kecil dari Ippho Santosa, cukuplah sekian.

Kalau engkau memang peduli, bantu share tulisan ini, semoga semakin banyak pembaca yang mengamini.

Daily Plan


Coach Kiat & kiat2nya
October 08, 2019

Kebanyakan orang yang sukses dalam hidup dan bisnisnya membuat perencanaan dalam hidup maupun bisnisnya, mereka membuat life plan dan business plan secara tertulis.

Perencanaan tidak hanya berupa perencanaan jangka panjang saja tetapi perlu dibagi menjadi perencanaan bulanan, mingguan dan harian.

Tanpa perencanaan dan tindakan jangka pendek maka perencanaan jangka panjang akan menjadi dokumen dan tumpukan lembaran kertas saja.

Mendaki gunung yang tinggi harus dimulai dari selangkah yang pertama, tanpa langkah kecil yang pertama semua itu mustahil untuk dilakukan karena kita tidak bisa melompat lompat atau bahkan langsung sampai ke puncak gunung kecuali naik helikopter.

Karena itu kita perlu punya buku agenda, bisa juga buku catatan lain, selembar kertas atau catatan di handphone kita.

Kegiatan yang sifatnya sudah rutin seperti makan, mandi, berangkat ke kantor, mengantar anak ke sekolah, dll. tentu tidak perlu dicatat, hanya kegiatan penting saja yang perlu dicatat agar tidak lupa dikerjakan.

Pengalaman saya dalam banyak sesi coaching menyatakan banyak orang mau ini, mau itu, punya ide ini dan itu, cuma sebatas di pikiran dan keluar dari mulut saja tetapi ditunda-tunda dan pada akhirnya tidak pernah menjadi kenyataan.

Ide itu harganya hanya 1% sebelum menjadi kenyataan karena sisanya yang 99% perlu kerja keras untuk mewujudkannya.

Buat Anda yang baru memulai, Anda bisa membuat daily plan yang sederhana sekedar to-do-list hari ini.

Buat yang sudah terbiasa, Anda bisa membuat daily plan yang lebih detail, misalnya menambahkan rencana keuangan, rencana belajar, dll.

Tulisan ini sangat sederhana, masalahnya ialah apakah Anda mau melakukannya atau tidak.

Selamat mencoba dan berlatih.


Sumber :
https://telegra.ph/Daily-Plan-10-08

Sumber foto :
https://www.teacherspayteachers.com/Product/Daily-Planner-and-Bullet-Journal-Planner-4292342

Tips Menjadi Bos Startup

Kamu milenial dan pengin banget jadi bos Startup? Ada Beberapa bekal penting yang perlu diketahui seperti mengatur strategi, membentuk pikiran, dan juga cara berkomunikasi itu penting untuk mewujudkan hal tersebut.

Personal Branding
Menurut Deddy Corbuzier, aktor sekaligus content creator yang memulai karirnya di dunia hiburan, langkah pertama yang harus dilakukan anak muda untuk memulai sebuah usaha adalah personal branding atau menciptakan ciri khas diri sendiri.

"Banyak milenial ingin membuat impact to the world. Tapi mereka nggak tahu caranya bagaimana, membuat personal branding mereka. Nah cara berpakaian, cara bicara, itu branding Anda. Membuat self branding sangat penting apa lagi untuk membuat sebuah proyek atau bekerja di suatu tempat," kata Dedy dalam konferensi pers Lenovo Thinkbook CEO Club, di Jakarta, Selasa (27/8/2019).

Creative Thinking
Kedua, milenial perlu berpikir kreatif. Dalam hal ini, Dennis Adhisawara yang berprofesi sebagai aktor sekaligus CEO Rombak Media mengatakan, pikiran kreatif mampu menciptakan jalan ke luar di dalam kondisi terdesak.

"Creative thinking itu penting karena yang namanya hidup kita pasti akan menemukan sebuah problem ya. Namanya problem itu jangan serta merta dijauhi. Justru harus dihadapi dan dicari solusinya bersama-sama," jelas Dennis.

Leadership Communication
CMO Tiket.com Gaery Undarsa membeberkan langkah ketiga untuk anak muda yang mau menjadi CEO, yakni leadership communication atau berkomunikasi sebagai pemimpin. Gaery mengatakan, untuk memperoleh wibawa harus dimulai dengan berkomunikasi yang baik dengan karyawan atau rekan kerja lainnya.

"Sebenarnya orang itu pintar, banyak ide, tapi kalau tidak ada yang respect susah. How do we gain that respect? Especially young leaders, banyak banget sekarang kan manager atau director yang masih muda umurnya. Bagaimana caranya ketika masuk ke real world industry orang melihat kita tidak hanya muda doang, tapi karena mereka respect us. Jadi how to communicate itu penting," papar Gaery.

Stress Management
Keempat, mengatur level stress dalam diri masing-masing anak muda tersebut. Managing Director Duta Bangsa Naomi Siregar mengatakan, mengatur level stress itu dimulai dari menjaga emosi dan mengatur suasana hati, membatasi prioritas, bahkan hingga cara bernapas.

"Stress management itu sangat penting. Mulai dari cara pernafasan, menjaga emosi, membatasi prioritas, mana yang level urgensinya dikerjakan dulu. Kemudian pada saat bertemu dengan orang lain pada saat mood nya nggak oke nih di pagi hari mereka harus switch mimik wajahnya dan lain-lain," ucap Naomi.

Panaskan Mesin
Kelima, anak muda harus memanaskan mesin'. Putri Indahsari Tanjung, CEO Creativepreneur Event Creator mengungkapkan, anak muda harus bersiap-siap menghadapi persaingan bisnis yang semakin ketat yakni dengan menanamkan jiwa wirausaha.

"Kita juga fokus menyebarkan virus entrepreneurship mindset karena yang terpenting sekarang anak muda memiliki itu. Sekarang ini persaingan di dunia bisnis semakin tinggi, komposisi dari skill bisnis semakin tinggi of course kita akan jenuh dengan semua itu. Apalagi kalau kita gagal pasti sedih. Tapi bisnis kan proses, bisnis itu bukan lari sprint, tapi marathon. Kita terus lari terus. Nggak berhenti," terang wanita yang akrab disapa Uti tersebut.


Sumber
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4683301/punya-cita-cita-jadi-bos-startup-baca-dulu-tips-ini

Context is The Winning Formula

Customer jaman sekarang makin rasional, mereka bisa menimbang berapa nilai sebuah merek dan berapa manfaat nilai fungsionalnya.

Lihat aja, setiap kali ada promo promo yang sifatnya memotong harga normal dengan memberikan diskon diskont yang fantastis akan menarik jumlah pembelian customer. Demikian juga di Ayam Geprek Juara disaat melakukan promo promo yang bekerjasama dengan Gofood dan GrabFood, peningkatan penjualan menjadi luar biasa.

Tetapi bagaimana setelah masa promo itu lewat??
Apakah penjualannya akan terus naik??

Data data itulah akan terus dilakukan analisa di system juara, memahami customer maknanya adalah memahami data, sehingga akan mengetahui secara jelas kapan mengambil tindakan yang sesuai based on data.

Era pelanggan gaya tapi bodoh (Snob Buyer) sudah berakhir dan berganti menjadi Smart Buyer, mereka ngerti brand, mereka ngerti value. Kalau gak nyambung mereka gak akan mau beli, apalagi spare uang untuk hal yang mereka gak ngerti.

Snob buyer kebanyakan hadir dikalangan baby boomer dan gen X, tetapi generasi milenial kebanyakan masuk pada area Smart Buyer dan milenial ini jumlahnya makin terus bertambah menjadi pelanggan mayoritas.

Salah satu ciri generasi milineal adalah generasi comparison, mereka dengan keahliannya bisa dengan mudah melakukan comparison , baru kemudian decide untuk membeli. Tetapi kalau Snob Buyer, gak perlu comparison, suka langsung beli. Gak peduli harga yang penting gengsi.

Meskipun ada juga generasi milenial juga kedapatan melakukan pansos, atau panjat sosial. Karena ingin keliatan exist di media sosialnya, salah satu hasrat atau desire yang wajib dipenuhi oleh pebisnis kuliner.

Seperti yang dilakukan oleh AGJ, membuat kotak nasi box cantik yang kalau dibuka akan terpampang jelas gambar Panglima JUARA dengan senyumnya yang merekah mengingatkan Cuci Tangan Dan Berdoa Sebelum Makan.

Fakta menunjukkan secara data mengalami kenaikan interaksi di media sosial baik itu IG, Youtube, Facebook, Twitter termasuk texting messenger. Karena ayam geprek juara ingin menghadirkan kebersamaan untuk pelanggan setia mereka.

Dalam marketing, Content is Only Basic, tetapi Context is The Winning Formula. Apa itu context?? Service, Kecepatan, Experience, Viral, memenuhi hasrat dan keinginan customer yang sebelum sebelumnya belum terpenuhi. Menu enak dan konsisten di AGJ itu content, dan itu wajib menjadi basic.

Kalau gak bisa bikin menu enak dan konsisten, jangan berbisnis kuliner. Bisnis kuliner secara basic bikin makanan enak, kalau basicnya gak kuat maka bisnis kulinernya gak akan kemana mana, layu sebelum berkembang.

Selain content , maka wajib membawakan context yang akan membuat customer akan datang kembali. Karena semua customer akan memiliki 4 Journey ini : Tahu, Coba, Ulangi, Rekomendasi.

Itulah tugas pebisnis kuliner melengkapi journey pelanggannya : membuat sebanyak banyaknya orang tahu, agar mereka mencoba kemudian merasa bahwa masakannya enak, kemudian mereka akan terus mengulangi untuk datang. Sampai akhirnya pada level tertinggi yaitu merekomendasikannya dan bahkan menjadi lawyer yang siap membela keberadaanmu.

So sebagai pengusaha, kami ingin customermu loyal karena apa?apa Content atau Context?? Apa yang akan membuat pelangganmu loyal??

*Suasana Membuat Menarik, Rasa Membuat Balik* dan *Sedikit Berbeda Lebih Baik Daripada Sedikit Lebih Baik*

One of Summary Diskusi Asosiasi Pengusaha Kuliner Indonesia (APKULINDO), di suatu pagi yang cerah.

Dituliskan oleh Panglima JUARA.

Tuesday, October 8, 2019

Anda bukan Avengers

Saya punya banyak mitra (partner), alhamdulillah. Namun memilih dan menyusun tim inti, ini adalah perkara yang menantang. Ada sejumlah faktor yang perlu dipertimbangkan dan seringkali intuisi turut bermain di sini.

Sekali lagi, tidak mudah memilih orang dan menyusun tim inti. Apalagi yang bisa perform dan memuaskan semua pihak. Tantangan memilih orang ini berlaku dalam apa saja, termasuk dalam dunia penjualan.

Lantas, apa tips dari saya?

Pertama, amat penting untuk mengetahui internal needs dari bisnis secara keseluruhan. Nah, dari internal needs inilah kemudian kita bergerak. Mencari orang dengan sifat dan skill yang tepat.

Kenapa saya menyebut sifat di sini?

Ya memang begitu. Soalnya sifat itu bertahannya lebih lama dan dibentuknya lebih sulit daripada skill. Satu lagi, soal cocok-cocokan. Misal skill-nya hebat. Tapi ketika bekerjasama belum tentu sifatnya cocok dengan Anda dan tim Anda yang lain. Ini kan masalah.

Selanjutnya?

Jangan terburu-buru dalam menyusun tim inti. Sekali lagi, jangan terburu-buru. Haste makes waste. Anda bukan Avengers, Justice League, atau Expendables. Orang yang tepat biasanya tidak mudah ditemukan.

Perlu waktu.

Perlu kesabaran.

Tips terakhir?

Cek social media dan WA story mereka. Biasanya, karakter asli mereka tercermin melalui postingan-postingan mereka. Tentu, ini bukan patokan tapi sangat layak jadi bahan pertimbangan.

Saya pribadi menghabiskan waktu setidaknya 1 jam sehari untuk mengecek social media dan WA story mitra-mitra saya. Dari sini, akhirnya saya bisa memahami aspirasi dan impian mereka.

Selamat mencoba ya.

Semoga berkah berlimpah.

Sekian dari saya, Ippho Santosa.

Friday, October 4, 2019

Tetap Rasional dan Proporsional

Marah, jelas ini tidak baik. "Jangan marah, bagimu surga," ini pesan Nabi Muhammad. Namun sesekali marah tetap diperlukan. Bukankah Nabi Muhammad pernah marah? Bukankah orang-orang hebat pernah marah?

Yang penting, jelas penyebabnya dan tidak berlarut-larut. "Tunjukkan kemarahan Anda pada masalah, bukan pada orang," petuah William Ward.

Nah, setelah itu, iringi dengan action yang mensolusikan.

Saat kezaliman dibiarkan, saat agama dilecehkan, dan saat keluarga dipermalukan, sepertinya kita perlu marah.

Ya, perlu. Tentunya dengan tetap rasional dan proporsional.

Menurut Charles Duhigg, marah membuat kita bicara lebih jujur sekaligus mampu bernegosiasi. Selain itu, marah juga memicu motivasi dan lebih melegakan.

Menurut situs Heathway, marah bisa bermanfaat untuk melindungi diri dan mendorong perilaku baru. Yang diharapkan adalah perilaku baru yang mengarah pada solusi.

Begitulah, tak selamanya marah itu jelek. Ada manfaatnya juga. Mudah-mudahan tulisan ini menginspirasi.


Sekian dari saya, Ippho Santosa.

Semoga berkah berlimpah.

Tidak Fokus dalam Bisnis

Dulu saya pernah tidak fokus dalam berbisnis. Macam-macam bisnis yang saya jalankan. Kemudian, 5 tahun terakhir saya memilih untuk fokus. Why?

Ketika saya tidak fokus, alhamdulillah saya tetap untung dan hampir-hampir bebas risiko. Tapi kemudian saya perhatikan mitra-mitra saya. Kasihan mereka.

Mereka meniru (men-duplikasi) saya. Kan saya leader-nya. Kalau saya tidak fokus, yah otomatis mereka juga melakukan hal yang sama. Tidak fokus.

Bayangkan, seorang pemula berbisnis dan tidak fokus, seperti apa jadinya? Pasti alakadar hasilnya. Kemungkinan besar, itulah yang terjadi. Dan itulah yang saya lihat.

Tentu beda dengan mereka yang sudah jago. Pasti punya tim dan sistem. Jalanin usaha macam-macam, yah nggak terlalu masalah. Kalau pemula? Ya masalah.

Maka, 5 tahun terakhir saya memilih untuk fokus. Kepentingan mitra yang menjadi pertimbangan saya. Dan benar, mereka meniru saya. Alhamdulillah.

Yang mengejutkan terjadi perubahan dan kenaikan income yang luar biasa pada mitra-mitra saya, masya Allah. Fadilah dari fokus. Dan itu dimulai dari founder-nya, saya.

Sekiranya teman-teman punya pemahaman berbeda dengan saya, yah nggak apa-apa. Silakan. Saya hanya bercermin dari pengalaman saya berbisnis selama belasan tahun dan itulah yang saya sampaikan di sini.

Semoga bermanfaat.

Pertimbangan Memilih Jurusan IPA atau IPS di SMA

Memilih jurusan IPA atau IPS di SMA adalah masalah yang saat ini sedang melanda para siswa yang akan masuk SMA. Bagi mereka dihadapkan antara kedua pilihan ini merupakan satu hal yang berat. Memang kelihatannya sih hal sepele. Tapi jika salah pilih harus siap menerima segala konsekuensi yang akan didapatkan.

Tidak sedikit siswa yang salah memilih jurusan. Hingga muncul dampak buruk bagi mereka. Akibatnya timbul beberapa masalah yang datang. Diantaranya mulai dari tidak mampu mengikuti materinya, niat untuk sekolah mengendor. Bahkan tidak bisa memilih prodi di universitas yang diminati. Hal ini karena jurusan yang diambil tidak liniear.

Berikut adalah hal-hal yang harus Kamu pertimbangkan sebelum memilih jurusan. Jangan sampai salah pilih ya!


Bakat Dan Kemampuan

Kenalilah apa kemampuan dan bakat yang ada pada dirimu. Hal ini penting dilakukan sebelum memilih jurusan. Kamu bisa membuka kembali nilai-nilai mulai dari SD hingga kelas X SMA. Lakukanlah analisis antara nilai IPA dengan nilai IPS. Dari hasil analisis tersebut akan membantu Kamu dalam memilih jurusan. Sekiranya jurusan apa yang cocok dengan kemampuan Kamu.


Cita-Cita

Cita-cita merupakan suatu impian yang hendak diwujudkan. Adanya cita-cita akan memunculkan harapan. Dengan seperti ini Kamu akan tahu ke mana harus melangkah. Jika Kamu memimpikan untuk menjadi pengacara konsekuensinya Kamu harus memilih jurusan IPS.


Pengambilan Jurusan Saat Kuliah

Perlu ditekankan lagi bahwa pengambilan jurusan ketika di universitas lebih spesifik. Jadi akan menjadi bumerang bagi Kamu apabila mengambil jurusan yang tidak liniear dengan jurusan yang di SMA.


Pekerjaan Setelah Menempuh Study

Sesuaikan dengan pekerjaan yang Kamu impikan. Kemungkinan diterima kerja tinggi apabila antara jurusan dengan pekerjaan sepadan. Karena telah memiliki kemampuan dan skill yang sesuai.


Kenali Profil Masing-Masing Jurusan

Apabila Kamu mengambil jurusan IPA maka akan mempelajari gejala-gejala alam. Mata pelajaran yang dipelajari seperti Biologi, Fisika, Kimia, Matematika. Berbeda dengan jurusan IPS yang dipelajari tingkh laku manusia, arkeologi, geografi, sejarah, akuntansi, dan ekonomi.


Menyesuaikan Dengan Passion Kamu Jika Benar-Benar Tidak Tahu Bakatnya Dimana

Jika Kamu masih abu-abu saat memilih jurusan sebaiknya memilih IPA saja. Tipe seperti ini biasanya mudah beradaptasi. Jurusan IPA SNMPTN-nya bisa ke universitas maupun institut. Sedangkan jurusan IPS hanya bisa universitas saja.


Sumber :
https://www.renesia.com/10-pertimbangan-memilih-jurusan-ipa-atau-ips-di-sma/

Tuesday, October 1, 2019

Memonopoli Harta

Memonopoli dan mengakumulasi harta adalah fenomena yang sering terjadi, dengan sadar juga tanpa sadar.

Dalam arti, bisa jadi si pelaku dalam kehidupan sehari-hari tidak suka alias kritis terhadap kapitalis-kapitalis negatif dari Barat yang menumpuk harta. Tapi di waktu yang sama, saat ia punya kesempatan, ia pun melakukan hal yang sama.

Memonopoli harta.

Sering saya sampaikan di mana-mana, "Kekayaanmu mungkin membuat orang lain terkesan. Akan tetapi, hanya manfaatmu, amalmu, dan akhlakmu yang membuat orang lain turut mendoakan-mu."

Niatan untuk memonopoli harta ini bisa terlihat saat orang mulai bagi-bagi profit dalam sebuah bisnis. Di antara mitra. Hendaknya profit dibagi sesuai jerih-payah alias kontribusi masing-masing. Lumrahnya begitu.

Nah, dari pembagian ini, sedikit-banyak kita bisa menilai karakter dan kecenderungan masing-masing. Siapa yang mendominasi dan memonopoli. Siapa yang menerima apa adanya. Siapa yang nggak paham sama sekali.

Saat ini, dunia sudah sesak dengan kapitalis-kapitalis negatif yang orientasinya menumpuk harta. Sebagian kita, sadar atau tanpa sadar, meniru mereka. Saran saya, ini jangan ditiru. Kalaupun ada hasrat untuk itu, yah dikikis.

Gimana caranya?

Pertama, etis dan proporsional dalam mengambil profit. Kedua, gemar berbagi entah itu sifatnya internal (tim) maupun eksternal (sesama). Ketiga, tidak latah dalam membuka bisnis baru.

Belasan tahun saya berbisnis dan berinteraksi dengan pengusaha-pengusaha, jarang sekali saya melihat pengusaha yang memenuhi tiga ketentuan itu. Paling banter yah gemar berbagi doang. Tapi sangat berlebihan untuk urusan profit dan ekspansi bisnis baru.

Jujur saja, dulu pun saya pernah keliru dalam ekspansi bisnis baru. Kemudian ini saya perbaiki.

Di satu sisi, Islam memberi kelonggaran pada kita untuk urusan profit. Namun di sini lain, Islam juga mengingatkan kita soal adab (etis) dan keadilan (proporsional). Berimbang. Semoga pemaparan sederhana ini menjadi bahan renungan buat kita semua, terutama buat saya.

Sunday, September 29, 2019

Reinventing Performance Management


Marcus BuckinghamAshley Goodall
April 2015 Issue

At Deloitte we’re redesigning our performance management system. This may not surprise you. Like many other companies, we realize that our current process for evaluating the work of our people—and then training them, promoting them, and paying them accordingly—is increasingly out of step with our objectives.

In a public survey Deloitte conducted recently, more than half the executives questioned (58%) believe that their current performance management approach drives neither employee engagement nor high performance. They, and we, are in need of something nimbler, real-time, and more individualized—something squarely focused on fueling performance in the future rather than assessing it in the past.

What might surprise you, however, is what we’ll include in Deloitte’s new system and what we won’t. It will have no cascading objectives, no once-a-year reviews, and no 360-degree-feedback tools. We’ve arrived at a very different and much simpler design for managing people’s performance. Its hallmarks are speed, agility, one-size-fits-one, and constant learning, and it’s underpinned by a new way of collecting reliable performance data. This system will make much more sense for our talent-dependent business. But we might never have arrived at its design without drawing on three pieces of evidence: a simple counting of hours, a review of research in the science of ratings, and a carefully controlled study of our own organization.

Counting and the Case for Change
More than likely, the performance management system Deloitte has been using has some characteristics in common with yours. Objectives are set for each of our 65,000-plus people at the beginning of the year; after a project is finished, each person’s manager rates him or her on how well those objectives were met. The manager also comments on where the person did or didn’t excel. These evaluations are factored into a single year-end rating, arrived at in lengthy “consensus meetings” at which groups of “counselors” discuss hundreds of people in light of their peers.

Internal feedback demonstrates that our people like the predictability of this process and the fact that because each person is assigned a counselor, he or she has a representative at the consensus meetings. The vast majority of our people believe the process is fair. We realize, however, that it’s no longer the best design for Deloitte’s emerging needs: Once-a-year goals are too “batched” for a real-time world, and conversations about year-end ratings are generally less valuable than conversations conducted in the moment about actual performance.

But the need for change didn’t crystallize until we decided to count things. Specifically, we tallied the number of hours the organization was spending on performance management—and found that completing the forms, holding the meetings, and creating the ratings consumed close to 2 million hours a year. As we studied how those hours were spent, we realized that many of them were eaten up by leaders’ discussions behind closed doors about the outcomes of the process. We wondered if we could somehow shift our investment of time from talking to ourselves about ratings to talking to our people about their performance and careers—from a focus on the past to a focus on the future.

The Science of Ratings
Our next discovery was that assessing someone’s skills produces inconsistent data. Objective as I may try to be in evaluating you on, say, strategic thinking, it turns out that how much strategic thinking I do, or how valuable I think strategic thinking is, or how tough a rater I am significantly affects my assessment of your strategic thinking.

How significantly? The most comprehensive research on what ratings actually measure was conducted by Michael Mount, Steven Scullen, and Maynard Goff and published in the Journal of Applied Psychology in 2000. Their study—in which 4,492 managers were rated on certain performance dimensions by two bosses, two peers, and two subordinates—revealed that 62% of the variance in the ratings could be accounted for by individual raters’ peculiarities of perception. Actual performance accounted for only 21% of the variance. This led the researchers to conclude (in How People Evaluate Others in Organizations, edited by Manuel London): “Although it is implicitly assumed that the ratings measure the performance of the ratee, most of what is being measured by the ratings is the unique rating tendencies of the rater. Thus ratings reveal more about the rater than they do about the ratee.” This gave us pause. We wanted to understand performance at the individual level, and we knew that the person in the best position to judge it was the immediate team leader. But how could we capture a team leader’s view of performance without running afoul of what the researchers termed “idiosyncratic rater effects”?

Putting Ourselves Under the Microscope
We also learned that the defining characteristic of the very best teams at Deloitte is that they are strengths oriented. Their members feel that they are called upon to do their best work every day. This discovery was not based on intuitive judgment or gleaned from anecdotes and hearsay; rather, it was derived from an empirical study of our own high-performing teams.

Our study built on previous research. Starting in the late 1990s, Gallup conducted a multiyear examination of high-performing teams that eventually involved more than 1.4 million employees, 50,000 teams, and 192 organizations. Gallup asked both high- and lower-performing teams questions on numerous subjects, from mission and purpose to pay and career opportunities, and isolated the questions on which the high-performing teams strongly agreed and the rest did not. It found at the beginning of the study that almost all the variation between high- and lower-performing teams was explained by a very small group of items. The most powerful one proved to be “At work, I have the opportunity to do what I do best every day.” Business units whose employees chose “strongly agree” for this item were 44% more likely to earn high customer satisfaction scores, 50% more likely to have low employee turnover, and 38% more likely to be productive.

-

Di Deloitte kami merancang ulang sistem manajemen kinerja kami. Ini mungkin tidak mengejutkan Anda. Seperti banyak perusahaan lain, kami menyadari bahwa proses kami saat ini untuk mengevaluasi pekerjaan karyawan kami — dan kemudian melatih mereka, mempromosikan mereka, dan membayar mereka sesuai itu — semakin tidak sesuai dengan tujuan kami.

Dalam survei publik yang dilakukan Deloitte baru-baru ini, lebih dari setengah eksekutif yang ditanyai (58%) percaya bahwa pendekatan manajemen kinerja mereka saat ini tidak mendorong keterlibatan karyawan maupun kinerja tinggi. Mereka, dan kami, membutuhkan sesuatu yang lebih gesit, real-time, dan lebih individual — sesuatu yang benar-benar terfokus pada peningkatan kinerja di masa depan daripada menilai di masa lalu.

Namun, yang mungkin mengejutkan Anda adalah apa yang akan kami sertakan dalam sistem baru Deloitte dan apa yang tidak akan kami dapatkan. Ini tidak akan memiliki tujuan berjenjang, tidak ada ulasan sekali setahun, dan tidak ada alat umpan balik 360 derajat. Kami tiba di desain yang sangat berbeda dan jauh lebih sederhana untuk mengelola kinerja orang. Keunggulannya adalah kecepatan, kelincahan, satu ukuran cocok, dan pembelajaran konstan, dan didukung oleh cara baru mengumpulkan data kinerja yang andal. Sistem ini akan jauh lebih masuk akal untuk bisnis yang bergantung pada bakat kita. Tetapi kita mungkin tidak akan pernah sampai pada desainnya tanpa menggambar pada tiga lembar bukti: penghitungan sederhana jam, tinjauan penelitian dalam ilmu penilaian, dan studi yang dikendalikan dengan cermat dari organisasi kita sendiri.

Counting and the Case for Change
Kemungkinan besar, sistem manajemen kinerja yang digunakan Deloitte memiliki beberapa karakteristik yang sama dengan Anda. Tujuan ditetapkan untuk masing-masing dari 65.000 orang kami pada awal tahun; setelah proyek selesai, manajer masing-masing orang menilai dia tentang seberapa baik tujuan-tujuan tersebut tercapai. Manajer juga mengomentari di mana orang itu melakukan atau tidak unggul. Evaluasi-evaluasi ini diperhitungkan dalam satu peringkat akhir tahun, tiba pada “pertemuan konsensus” yang panjang di mana kelompok-kelompok “penasihat” mendiskusikan ratusan orang dengan mempertimbangkan rekan-rekan mereka.

Umpan balik internal menunjukkan bahwa orang-orang kami menyukai prediksi proses ini dan fakta bahwa karena setiap orang ditugaskan sebagai penasihat, ia memiliki perwakilan di rapat konsensus. Sebagian besar orang kami percaya prosesnya adil. Kami menyadari, bagaimanapun, bahwa itu bukan lagi desain terbaik untuk kebutuhan Deloitte yang sedang muncul: tujuan setahun sekali terlalu "padat" untuk dunia waktu-nyata, dan percakapan tentang peringkat akhir tahun umumnya kurang bernilai daripada percakapan yang dilakukan di momen tentang kinerja aktual.

Tetapi kebutuhan untuk perubahan tidak mengkristal sampai kami memutuskan untuk menghitung hal-hal. Secara khusus, kami menghitung jumlah jam yang dihabiskan organisasi untuk manajemen kinerja — dan menemukan bahwa mengisi formulir, mengadakan rapat, dan membuat peringkat yang dikonsumsi hampir 2 juta jam setahun. Ketika kami mempelajari bagaimana jam-jam itu dihabiskan, kami menyadari bahwa banyak dari mereka yang dimakan oleh diskusi para pemimpin di balik pintu tertutup tentang hasil dari proses tersebut. Kami bertanya-tanya apakah kami dapat mengalihkan investasi waktu dari berbicara kepada diri sendiri tentang peringkat menjadi berbicara dengan karyawan tentang kinerja dan karier mereka — dari fokus di masa lalu ke fokus di masa depan.

The Science of Ratings
Penemuan kami berikutnya adalah bahwa menilai keterampilan seseorang menghasilkan data yang tidak konsisten. Walaupun saya mungkin mencoba untuk mengevaluasi Anda tentang, katakanlah, pemikiran strategis, ternyata seberapa banyak pemikiran strategis yang saya lakukan, atau betapa berharganya pemikiran strategis saya, atau seberapa tangguh seorang penilai, saya secara signifikan memengaruhi penilaian saya terhadap Anda. pemikiran strategis.

Seberapa signifikan? Penelitian paling komprehensif tentang apa yang sebenarnya diukur oleh peringkat dilakukan oleh Michael Mount, Steven Scullen, dan Maynard Goff dan diterbitkan dalam Journal of Applied Psychology pada tahun 2000. Studi mereka — di mana 4.492 manajer dinilai pada dimensi kinerja tertentu oleh dua bos, dua teman sebaya, dan dua bawahan — mengungkapkan bahwa 62% varian dalam peringkat dapat dipertanggungjawabkan oleh kekhasan persepsi penilai individu. Kinerja aktual hanya menyumbang 21% dari varians. Hal ini mengarahkan para peneliti untuk menyimpulkan (dalam Bagaimana Orang Mengevaluasi Orang Lain dalam Organisasi, diedit oleh Manuel London): “Meskipun secara implisit diasumsikan bahwa peringkat mengukur kinerja ratee, sebagian besar yang diukur dengan peringkat adalah peringkat unik kecenderungan penilai. Dengan demikian peringkat mengungkapkan lebih banyak tentang penilai daripada yang dilakukan pada ratee. ”Ini memberi kami jeda. Kami ingin memahami kinerja di tingkat individu, dan kami tahu bahwa orang yang berada di posisi terbaik untuk menilai itu adalah pemimpin tim langsung. Tetapi bagaimana kita bisa menangkap pandangan pemimpin tim tentang kinerja tanpa melanggar apa yang disebut oleh peneliti sebagai "efek rater istimewa"?

Putting Ourselves Under the Microscope
Kami juga belajar bahwa ciri khas dari tim terbaik di Deloitte adalah bahwa mereka berorientasi pada kekuatan. Anggota mereka merasa bahwa mereka dipanggil untuk melakukan pekerjaan terbaik mereka setiap hari. Penemuan ini tidak didasarkan pada penilaian intuitif atau diperoleh dari anekdot dan desas-desus; melainkan berasal dari studi empiris tim kami yang berkinerja tinggi.

Studi kami dibangun berdasarkan penelitian sebelumnya. Dimulai pada akhir 1990-an, Gallup melakukan pemeriksaan multi-tahun dari tim berkinerja tinggi yang akhirnya melibatkan lebih dari 1,4 juta karyawan, 50.000 tim, dan 192 organisasi. Gallup mengajukan pertanyaan kepada tim yang berkinerja tinggi dan yang lebih rendah pada banyak subjek, dari misi dan tujuan untuk membayar dan peluang karir, dan mengisolasi pertanyaan-pertanyaan di mana tim berkinerja tinggi sangat setuju dan sisanya tidak. Ditemukan di awal penelitian bahwa hampir semua variasi antara tim berkinerja tinggi dan rendah dijelaskan oleh sekelompok item yang sangat kecil. Yang paling kuat terbukti sebagai "Di tempat kerja, saya memiliki kesempatan untuk melakukan yang terbaik yang saya lakukan setiap hari." Unit bisnis yang karyawannya memilih "sangat setuju" untuk item ini adalah 44% lebih mungkin untuk mendapatkan skor kepuasan pelanggan yang tinggi, 50 % lebih cenderung memiliki tingkat pergantian karyawan yang rendah, dan 38% lebih cenderung produktif.


Sumber :
https://hbr.org/2015/04/reinventing-performance-management
https://trainingindustry.com/articles/workforce-development/reinventing-performance-management/

Enemy of Good Leadership

Ego Is the Enemy of Good Leadership

Rasmus HougaardJacqueline Carter
NOVEMBER 06, 2018

On his first day as CEO of the Carlsberg Group, a global brewery and beverage company, Cees ‘t Hart was given a key card by his assistant. The card locked out all the other floors for the elevator so that he could go directly to his corner office on the 20th floor. And with its picture windows, his office offered a stunning view of Copenhagen. These were the perks of his new position, ones that spoke to his power and importance within the company.

Cees spent the next two months acclimating to his new responsibilities. But during those two months, he noticed that he saw very few people throughout the day. Since the elevator didn’t stop at other floors and only a select group of executives worked on the 20th floor, he rarely interacted with other Carlsberg employees. Cees decided to switch from his corner office on the 20th floor to an empty desk in an open-floor plan on a lower floor.

When asked about the changes, Cees explained, “If I don’t meet people, I won’t get to know what they think. And if I don’t have a finger on the pulse of the organization, I can’t lead effectively.”

This story is a good example of how one leader actively worked to avoid the risk of insularity that comes with holding senior positions. And this risk is a real problem for senior leaders. In short, the higher leaders rise in the ranks, the more they are at risk of getting an inflated ego. And the bigger their ego grows, the more they are at risk of ending up in an insulated bubble, losing touch with their colleagues, the culture, and ultimately their clients. Let’s analyze this dynamic step by step.

As we rise in the ranks, we acquire more power. And with that, people are more likely to want to please us by listening more attentively, agreeing more, and laughing at our jokes. All of these tickle the ego. And when the ego is tickled, it grows. David Owen, the former British Foreign Secretary and a neurologist, and Jonathan Davidson, a professor of psychiatry and behavioral sciences at Duke University, call this the “hubris syndrome,” which they define as a “disorder of the possession of power, particularly power which has been associated with overwhelming success, held for a period of years.”

An unchecked ego can warp our perspective or twist our values. In the words of Jennifer Woo, CEO and chair of The Lane Crawford Joyce Group, Asia’s largest luxury retailer, “Managing our ego’s craving for fortune, fame, and influence is the prime responsibility of any leader.” When we’re caught in the grip of the ego’s craving for more power, we lose control. Ego makes us susceptible to manipulation; it narrows our field of vision; and it corrupts our behavior, often causing us to act against our values.

Our ego is like a target we carry with us. And like any target, the bigger it is, the more vulnerable it is to being hit. In this way, an inflated ego makes it easier for others to take advantage of us. Because our ego craves positive attention, it can make us susceptible to manipulation. It makes us predictable. When people know this, they can play to our ego. When we’re a victim of our own need to be seen as great, we end up being led into making decisions that may be detrimental to ourselves, our people, and our organization.

An inflated ego also corrupts our behavior. When we believe we’re the sole architects of our success, we tend to be ruder, more selfish, and more likely to interrupt others. This is especially true in the face of setbacks and criticism. In this way, an inflated ego prevents us from learning from our mistakes and creates a defensive wall that makes it difficult to appreciate the rich lessons we glean from failure.

Finally, an inflated ego narrows our vision. The ego always looks for information that confirms what it wants to believe. Basically, a big ego makes us have a strong confirmation bias. Because of this, we lose perspective and end up in a leadership bubble where we only see and hear what we want to. As a result, we lose touch with the people we lead, the culture we are a part of, and ultimately our clients and stakeholders.

Breaking free of an overly protective or inflated ego and avoiding the leadership bubble is an important and challenging job. It requires selflessness, reflection, and courage. Here are a few tips that will help you:

Consider the perks and privileges you are being offered in your role. Some of them enable you to do your job effectively. That’s great. But some of them are simply perks to promote your status and power and ultimately ego. Consider which of your privileges you can let go of. It could be the reserved parking spot or, like in Cees ‘t Hart’s case, a special pass for the elevator.
Support, develop, and work with people who won’t feed your ego. Hire smart people with the confidence to speak up.
Humility and gratitude are cornerstones of selflessness. Make a habit of taking a moment at the end of each day to reflect on all the people that were part of making you successful on that day. This helps you develop a natural sense of humility, by seeing how you are not the only cause of your success. And end the reflection by actively sending a message of gratitude to those people.
The inflated ego that comes with success — the bigger salary, the nicer office, the easy laughs — often makes us feel as if we’ve found the eternal answer to being a leader. But the reality is, we haven’t. Leadership is about people, and people change every day. If we believe we’ve found the universal key to leading people, we’ve just lost it. If we let our ego determine what we see, what we hear, and what we believe, we’ve let our past success damage our future success.


Sumber :
https://hbr.org/2018/11/ego-is-the-enemy-of-good-leadership

Related Posts