Mengenal Queen Bee Syndrome, Mimpi Buruk Karyawan Wanita
Queen bee syndrome adalah wanita dengan posisi kuat (jabatan tinggi) yang mempersulit karir wanita lain untuk naik jabatan di dalam suatu organisasi. Queen bee syndrome adalah kecenderungan wanita menghambat perjalanan karir bawahan wanitanya. Queen bee syndrome bisa memicu stres dan kecemasan di tempat kerja
Queen Bee syndrome adalah gangguan perilaku merugikan yang dialami oleh wanita dengan jabatan tinggi. Kondisi ini dapat memengaruhi bawahannya, khususnya pada sesama wanita. Atasan dengan queen bee syndrome berisiko merugikan kesehatan mental karyawan perempuannya, karena akan memberikan kesulitan berlebihan di tempat kerja.
Kondisi ini mungkin jadi salah satu alasan munculnya anggapan adalah bahwa pegawai perempuan biasanya lebih tertekan saat memiliki atasan yang sama-sama perempuan. Pernyataan ini telah didukung beberapa studi kasus dan bukan hanya mitos belaka.
Queen bee syndrome membuat atasan wanita menyulitkan karir bawahan wanita. Atasan wanita menyulitkan bawahan wanita disebut queen bee syndrome.
Queen bee syndrome didefinisikan sebagai wanita dengan posisi kuat atau jabatan tinggi yang mempersulit karir wanita lain untuk naik jabatan. Istilah ini pertama kali diperkenalkan G.L. Staines, T.E. Jayaratne, dan C. Tavris pada tahun 1973.
Definisi lainnya dari queen bee adalah sebagai wanita yang telah berhasil dalam karirnya, tetapi menolak untuk membantu wanita lain meraih hal yang sama.
Queen bee syndrome menggambarkan seorang wanita dalam posisi otoritas yang memandang atau memperlakukan bawahan lebih keras jika mereka perempuan. Dipercaya hal ini disebabkan karena untuk bisa menjadi pemimpin, queen bee merasa ia telah melewati jalan yang sulit dan keras.
Maka dari itu, dibandingkan mempromosikan atau memudahkan bawahan dengan jenis kelamin yang sama, ia bersikap lebih keras agar bawahan wanita bisa mengalami perjuangan serupa yang pernah dihadapinya.
Ciri-ciri atasan dengan queen bee syndrome
Ciri queen bee syndrome adalah sinis terhadap rekan kerja perempuan. Atasan dengan queen bee syndrome suka memerintah dengan kasar. Ada beberapa ciri-ciri yang dilekatkan pada atasan dengan queen bee syndrome, diantaranya adalah:
1. Memiliki cara memimpin yang maskulin
Pemimpin wanita dengan sindrom queen bee biasanya dianggap memiliki cara memipin yang lekat dengan ciri khas perilaku maskulinitas. Hal ini biasanya diluar harapan karyawan wanita yang mungkin lebih berharap atasan wanita akan bersikap lebih lembut, ramah dan pengertian. Namun, sebaliknya, queen bee sering menindas rekan kerja wanita dengan kejam, agresif, suka memerintah atau bossy, sombong dan kasar.
2. Menjaga jarak dari rekan kerja wanita
Ciri-ciri queen bee lainnya adalah bersikap menjaga jarak dirinya dari rekan kerja wanita. Pemimpin dengan queen bee syndrome akan memandang dirinya berbeda dengan wanita lain, dan menunjukan bahwa dia tidak termasuk dalam kelompok yang sama dengan mereka.
Ia berusaha agar tidak dihakimi dengan stereotip yang umum melekat kepada wanita, seperti bersifat lemah, serta tidak cocok menjadi pemimpin. Selain itu, queen bee juga akan enggan memberikan kesempatan kepada rekan kerja wanita, karena menganggapnya tidak kompeten.
Queen bee akan lebih senang bekerja dengan rekan laki-laki dan menganggap bawahan wanita tidak lebih berdedikasi dibandingkan dirinya. Meskipun demikian, sikap ini hanya ditunjukkan pada bawahan wanita, dan bukan pada atasan wanita.
3. Melegitimasi hirarki gender
Saat ini hampir semua perusahaan telah memberikan kesempatan yang sama kepada karyawannya untuk memimpin tanpa memandang gender. Namun tidak demikian dengan pemimpin queen bee. Seharusnya, pemimpin wanita dapat menginspirasi dan mendorong kemajuan bagi rekan kerja wanita. Tetapi, queen bee biasanya cenderung menentang kebijakan-kebijakan yang dapat meningkatkan kesetaraan gender di tempat kerja.
Mereka akan menekankan bahwa kesuksesan yang diraihnya karena kerja keras dan kualitas yang dimilikinya. Sementara kebijakan yang berpihak pada wanita akan membuat pemimpin queen bee merasa prestasinya telah dikecilkan.
Keberadaan pemimpin queen bee dapat memberikan dampak negatif di tempat kerja, khususnya bagi bawahan perempuan. Queen bee dapat menyebabkan karyawan perempuan yang menjadi sasaran intimidasinya mengalami stres, tertekan bahkan mengalami penurunan kinerja.
Menyebabkan diskriminasi gender perempuan di tempat kerja tetap bertahan. Karir karyawan wanita menjadi terhambat karena queen bee cenderung menilai kinerja karyawan wanita negatif dan enggan mempromosikan mereka.
Hal-hal tersebut juga dapat digunakan sebagai strategi oleh pemimpin queen bee agar dapat mempertahankan karirnya, dengan menghambat kemajuan karyawan wanita yang lain.
Di sisi lain ada juga pendapat bahwa pemimpin wanita tidak lebih kejam atau dingin jika dibandingkan pemimpin pria. Anggapan ini mungkin ada karena norma sosial yang banyak mengharapkan pemimpin wanita lebih hangat dan perhatian, disamping bersikap tegas dan kompeten.
Pemimpin queen bee memang ada, tetapi jumlahnya tidak sebanyak yang kita kira. Jika Anda merasakan tekanan di tempat kerja dan merasa hal tersebut telah mempengaruhi kesehatan mental, ada baiknya berkonsultasi dengan perencana karir Anda atau ahli kesehatan mental profesional seperti psikolog maupun psikiater.
https://www.sehatq.com/artikel/mengenal-queen-bee-syndrome
Banyak Dialami oleh Perempuan Karier, Apa itu Queen Bee Syndrome?
Perempuan karier sering mengalami Queen Bee Syndrome, apa itu?Perempuan karier sering mengalami Queen Bee Syndrome, apa itu?
Berperan sebagai perempuan karier yang memiliki perjalanan profesi yang penuh liku tentu membentuk karakter seseorang menjadi luar biasa. Tidak heran kalau sosok perempuan karier ini akhirnya menjadi panutan bahkan mentor untuk bawahannya.
Meski begitu, sebagian perempuan karier yang telah memiliki posisi bersinar justru kerap merendahkan perempuan lain. Kepemilikan jabatan yang tinggi bukannya membuat mereka menjadi rendah hati, tetapi membuat mereka merasa memiliki privilege.
Sifat yang dimiliki sebagian perempuan karier ini disebut dengan queen bee syndrome. Dilansir dari laman BBC, queen bee syndrome pertama dibahas oleh psikolog University of Michigan pada tahun 1973.
Queen bee syndrome sendiri menggambarkan sosok perempuan dengan jabatan tinggi di antara para lelaki dan menganggap rendah bawahannya yang perempuan seperti dikutip dari laman Forbes. Sindrom ini muncul secara tidak langsung oleh adanya diskriminasi gender yang banyak terjadi dalam dunia kerja.
Naomi Ellemers yang merupakan seorang profesor dari Universitas Utrecht di Belanda telah meneliti ketidaksetaraan gender di tempat kerja selama 20 tahun. Ellemers menyampaikan queen bee syndrome adalah label yang tidak membantu karena istilah tersebut menunjukkan bahwa perempuan adalah masalahnya.
Sindrom ini merupakan cara beberapa perempuan untuk mengatasi diskriminasi gender yang mereka hadapi dalam kehidupan profesional. Perempuan yang mengalami bias gender mulai merasa dirinya berbeda dibandingkan kaum hawa lainnya sehingga terbentuk sindrom ini.
Menjadi konsekuensi dari diskriminasi gender karena perempuan telah berhasil membuktikan kariernya untuk bertahan hidup di lingkungan yang mungkin didominasi laki-laki.
“Para perempuan yang punya pengalaman tinggi tahu betul bahwa dirinya harus menunjukkan komitmen luar biasa untuk berhasil. Ini membuat mereka kurang yakin bahwa perempuan lain mampu berbuat hal sama,” kata Elemer Naomi, profesor psikologi sosial di Universitas Utrecht, Belanda.
Lebih lanjut lagi, Prof Ellemers mengatakan queen bee syndrome juga merupakan respons terhadap seksisme, yakni sebagian perempuan mencoba menjauhkan diri dari perempuan lain. Cara yang biasanya dilakukan perempuan untuk menjauhkan diri dari perempuan lain adalah dengan berperilaku lebih maskulin, cenderung menyamai maskulinitas laki-laki.
Sebab, kebanyakan perempuan yang baru memulai karier menggambarkan diri mereka kurang maskulin. Kemudian, mereka pun belajar dan beranggapan bahwa maskulinitas dan kesuksesan karier menjadi hal yang beriringan.
Margaret Thatcher, perdana menteri perempuan pertama Inggris, digambarkan mengalami queen bee syndrome karena tidak mempromosikan kareir perempuan lain di kabinetnya. Hingga kini queen bee syndrome masih menjadi kontroversi karena kesetaraan gender masih digaungkan sampai saat ini.
Kendati demkian, menurut Ellemers untuk memecahkan masalah queen bee syndrome ini tidak dapat diselesaikan dengan memperbaiki kaum perempuan. Hal yang harus diperbaiki adalah lingkungan sekitarnya dengan menghilangkan bias gender di dalamnya.
Tetapi di sisi lain, kita tetap perlu memberikan apresiasi pada perempuan yang telah sukses dalam kariernya, namun tidak dengan menjatuhkan sesama perempuan.
https://www.parapuan.co/read/532871438/banyak-dialami-oleh-perempuan-karier-apa-itu-queen-bee-syndrome?page=all
Queen Bee Syndrome, Apa Maksudnya dan Bagaimana Cara Mengatasinya?
Pernah dengar istilah queen bee syndrome? Sindrom ratu lebah ini pertama kali didefinisikan oleh G.L. Staines, T.E. Jayaratne, dan C. Tavris pada tahun 1973. Istilah ini menggambarkan seorang perempuan dalam posisi otoritas yang memandang atau memperlakukan bawahan lebih kritis jika mereka perempuan.
Pernah nonton film The Devil Wears Prada? Di film tersebut sosok Miranda menggambarkan stereotip seorang queen bee. Dia digambarkan sebagai perempuan dengan jabatan tinggi dan selalu kritis terhadap bawahannya, khususnya bawahan perempuan. Seorang queen bee seperti Miranda merupakan potret perempuan yang egois, seenaknya sendiri, dan haus akan kekuasaan. Mungkin di kantor kita juga menjumpai seorang queen bee seperti ini. Atau jangan-jangan malah kita sendiri yang memiliki sindrom queen bee?
Bila kita merasa memiliki queen bee syndrome, ada beberapa hal yang perlu kita lakukan untuk mengatasinya. Terlebih bila kita ingin membuat bawahan kita merasa nyaman dan menciptakan lingkungan kerja yang suportif satu sama lain. Dilansir dari thebusinesswomanmedia.com, ada beberapa solusi yang bisa dicoba untuk mengatasi queen bee syndrome ini.
1. Kenali identas dirimu
Sebagai seorang pemimpin atau yang memiliki kekuasaan yang cukup besar di tempat kerja, sejauh apa sih kita bisa menggunakan kemampuan dan kekuatan kita? Pastikan peran kita juga bisa memberi manfaat dan kebaikan untuk bawahan dan rekan-rekan kerja kita yang lain. Bukan malah menyalahgunakan kekuasaan untuk menjatuhkan bawahan sendiri.
2. Meminta penilaian atau masukan dari bawahan
Perlu lebih terbuka menerima kritik dan saran untuk diri yang lebih baik. Tak ada salahnya untuk meminta penilaian dan masukan dari bawahan soal kepemimpinan atau kemampuan kita dalam memimpin di tempat kerja. Sehingga kita bisa tahu apa saja yang perlu diperbaiki dari kemampuan kita sebagai seorang pemimpin.
3. Cari mentor atau ikuti pelatihan kepemimpinan
Bekali diri dengan pengetahuan dan kemampuan untuk menjadi pemimpin yang baik. Cobalah cari mentor atau ikut pelatihan kepemimpinan. Agar saat bekerja, kita bisa lebih fokus membangun strategi yang lebih baik untuk kemajuan perusahaan dan kesuksesan bersama.
4. Tingkatkan empati dan kepekaan terhadap perasaan bawahan
Sesekali bisa mengadakan acara liburan atau gathering bersama. Untuk meningkatkan kedekatan dan keakraban sekaligus meningkatkan empati serta kepekaan kita terhadap perasaan bawahan. Bawahan pun bisa merasa lebih nyaman dan terbuka bila kita menyediakan ruang dan waktu khusus mendengarkan isi hatinya.
Kita sama-sama punya target dan mimpi besar dalam karier yang kita bangun atau rintis. Bila saat ini kita sudah mendapat posisi tinggi atau menjadi pemimpin di tempat kerja, ada baiknya untuk bisa memaksimalkan peran tersebut untuk sama-sama saling mendukung dan menyokong rekan kerja lain meraih kesuksesan yang diinginkannya.
https://www.fimela.com/lifestyle/read/3915886/queen-bee-syndrome-apa-maksudnya-dan-bagaimana-cara-mengatasinya
https://theswaddle.com/new-study-chips-away-at-tired-queen-bee-syndrome-stereotype/