Thursday, February 22, 2024

Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng di Pemilu 2024

Komedian Alfiansyah Bustami, alias Komeng baru-baru ini menggemparkan dunia politik Indonesia, dengan perolehan suara yang diraihnya pada Pileg 2024, Dewan Perwakilan Daerah (atau DPD) untuk Daerah Pemilihan Jawa Barat. 

Berdasarkan data real count resmi KPU pada Rabu, tanggal 21 Februari 2024, Komeng sebagai caleg non partai, berhasil mendapatkan 1.857.323 suara (atau setara 20,01 persen), tertinggi di Jawa Barat. Pelawak senior berdarah Betawi - Sunda ini masih memimpin perolehan suara sementara. 

Komeng tak tertandingi oleh calon senator lain. Jumlah suara sementara ini mengalahkan suara artis kawakan Jihan Fahira, dan politisi Aceng Hulik Munawar Fikri, mantan Bupati Garut.


Komeng menjadi primadona padahal dia mengaku tak melakukan kampanye. Bahkan, sebelum hari pencoblosan tiba, Komeng tidak pernah memasang baliho sebagai Caleg DPD RI 2024.

Komeng hanya menerapkan strategi yang mungkin tidak terpikirkan oleh orang lain. Dia sengaja mengambil pekerjaan yang berada di daerah Jawa Barat, agar masyarakat semakin mengenalnya. Komeng menekankan bahwa ia sama sekali tidak mengeluarkan modal untuk berkampanye. 

Bermodalkan mengisi acara-acara di Jawa Barat, Komeng berhasil menerapkan strategi kampanye terselubung, tanpa disadari masyarakat. Bukan mengeluarkan uang seperti biasanya saat berkampanye, komedian ini justru mendapatkan uang sebagai honor dari pekerjaannya.

Begitu pula di media sosial, Komeng tak melakukan usaha apa pun agar orang-orang mencoblosnya. Komeng sendiri sudah mempelajari aturan Pemilu, sehingga yakin tak melanggar aturan apa pun. Dia hanya bekerja seperti biasa, mengisi acara dengan melawak sebagai keahliannya.



Perpaduan foto nyentrik dan penggunaan nama panggung Komeng di surat suara, mampu menarik perhatian pemilih. Foto tersebut mampu mendongkrak suara Komeng, karena posenya di foto tersebut dianggap nyentrik oleh banyak pemilih.

Pose foto beberapa calon anggota DPD di surat suara, termasuk Komeng, memang lebih luwes dibandingkan foto calon presiden dan wakil presiden di Pemilu 2024. KPU memperbolehkan para calon anggota DPD menampilkan foto dengan khas dan keunikan masing-masing calon.

Bahkan ada foto calon sambil menggunakan properti. Misalnya, ada yang mengenakan pakaian adat, memakai cowboy hat, caping dan topi pabrik hingga berfoto dengan wayang kulit. Meski demikian, tidak sedikit foto para calon ditampilkan dengan pose formal, layaknya pas foto pada umumnya.

Pose Komeng di foto tersebut merupakan representasi ekspresi Komeng yang sering muncul di layar kaca. Akibatnya tidak sulit mengenali dan mencari wajah Komeng di surat suara, apalagi dengan posisi foto di barisan paling atas.


Langkah pertama yang dilakukan agar pemilih memilihnya ketika hari pencoblosan, yaitu menjadikan nama panggung menjadi nama resmi agar bisa disematkan di surat suara.

Pada 2023, Komeng mengajukan permohonan pergantian nama resmi ke Pengadilan Negeri (PN) Kelas IA Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pada awal Mei 2023, sebelum pendaftaran ke KPU, PN Cibinong mengabulkan permohonannya. Nama resminya berubah dari Alfiansyah Bustami menjadi Alfiansyah Komeng.

Menariknya Komeng tidak mengganti nama Alfiansyah Bustami sepenuhnya menjadi Komeng saja, seperti yang dilakukan pesohor Uya Kuya, dari nama resmi sebelumnya Surya Utama. Nama Komeng justru dijadikan nama kedua, setelah Alfiansyah. Artinya, nama Alfiansyah tetap dipertahankan. Strategi ini dilakukan agar Komeng bisa mendapat nomor urut kecil.

Nomor urut Komeng 10. Sementara jumlah calon anggota DPD RI dari Jawa Barat sebanyak 54 orang. Di sisi lain, penetapan nomor urut calon anggota DPD RI berdasarkan abjad. Karena itu, jika nama Alfiansyah Bustami diganti sepenuhnya menjadi Komeng, maka Komeng mendapat nomor urut 40. Perubahan ini bisa memengaruhi posisi barisan foto Komeng di surat suara.

Semakin besar nomor urut, maka posisi foto calon semakin berada di baris paling bawah surat suara. Agar posisi foto Komeng tetap di baris atas, maka nama Komeng dijadikan nama kedua setelah Alfiansyah.



Harus diakui, foto dan nama panggung Komeng berhasil membuat surat suara menjadi bermakna bagi para pemilih, dan bukan sekadar kertas pencoblosan. Pemaknaan itu muncul melalui komunikasi tidak langsung secara verbal dan non-verbal antara Komeng dengan para pemilih dengan media kertas suara.

Komeng meyakini strateginya ini lebih efektif dibandingkan memasang baliho dan spanduk di jalan-jalan. Selain menghabiskan banyak biaya, strategi kampanye tersebut dinilai tidak efektif saat ini.

Sebaliknya, Komeng justru memanfaatkan surat suara sebagai media visual kampanye, agar konstituen bisa langsung memilihnya. Strategi Komeng ini erat kaitannya dengan teori Komunikasi Multimodal. Komeng menggunakan multimodal text sebagai pesan untuk menarik perhatian pemilih.

Dalam teori Multimodal Communication, ada banyak tanda yang saling mendukung dalam menciptakan pemaknaan penerima pesan, dalam hal ini pemilih. Tanda-tanda ini diistilahkan sebagai semiotic modes dan dengan cara tertentu mode-mode tersebut disatukan untuk saling melengkapi.

Komeng menggunakan strategi ini agar pemilih mengenalinya secara cepat dan mencoblosnya. Dirinya meyakini popularitasnya masih ada dan sosoknya bisa langsung diingat para pemilih dengan menarik perhatian mereka melalui penggunaan mode-mode semiotik.

Ketika membuka surat suara, para pemilih langsung melihat foto dan nama Komeng di baris pertama.

Kemudian para pemilih memaknainya dengan mengkomparasikannya melalui pengalaman dan pengetahuan terhadap sosok Komeng. Hingga akhirnya, terjadi komunikasi tidak langsung (indirect communication) yang efektif antara Komeng dan para pemilih.

Adapun mode-mode yang dijadikan sebagai teks multimodal dalam strategi komunikasi Komeng, yaitu perubahan nama dan nomor urut yang menentukan posisi baris atas surat suara.

Lalu ada mode ekspresi wajah khas Komeng, tatapan mata, gestur tubuh nyeleneh, warna latar belakang foto dan warna pakaian, serta jenis foto close up yang memfokuskan gambar ekspresi Komeng.

Para pemilih menyatukan mode-mode itu, sehingga tertarik lalu memaknainya dan menghasilkan efek, yang tentu sesuai dengan harapan si pemberi pesan, yaitu coblos Komeng. Alhasil, suara Komeng melesat.

Mengacu pada konsep komunikasi tidak langsung Harrold Laswell, dijelaskan bahwa pesan efektif adalah pesan yang mampu dimaknai penerima pesan dan menciptakan efek sesuai keinginan pengirim pesan.

Efek yang dimaksud, tentu agar pemilih mencoblos fotonya. 



Komeng menyatakan bahwa sebagai calon anggota DPD RI 2024 nantinya ia perlu membawa konsep masyarakat, bukan hanya dari sisi komedian saja. Menurut Komeng, kesadaran pemerintah masih rendah untuk menggaungkan kekayaan seni dan budaya yang dimiliki Indonesia di manca negara. 

Ia berniat untuk mendalami isu tersebut ketika duduk di kursi DPD RI. Komeng menyatakan keinginannya murni mencalonkan diri dalam Pileg 2024 untuk membawa kebudayaan Indonesia lebih dikenal luas. Selain itu, ia juga menekankan bahwa masyarakat Indonesia perlu dilatih untuk belajar mencintai produk dalam negeri.

                    


Selain dari faktor foto pada kertas suara, faktor perilaku masyarakat Jawa Barat yang memiliki kecenderungan untuk memilih figure politik karena telah dikenal oleh masyarakat secara luas.  Disisi lain, majunya Komeng di kancah politik bukan tanpa sebab. Komeng mengungkapkan bahwa dirinya ingin memajukan berbagai kesenian khususnya di Jawa Barat.  

Kecintaannya terhadap kesenian telah dilakoninya ketika bergabung dalam grup lawak Diamor pada tahun 1989, yang beranggotakan Rudi Sipit, Mamo, dan Jarwo.

No comments:

Post a Comment

Related Posts