Wednesday, February 19, 2014

Gede Prama


Sukses Sebagai Penulis dan Konsultan

Banyak orang beranggapan bahwa jalan menuju kesuksesan tidaklah mudah. Namun tidak demikian bagi Gede Prama. Menurut penulis sekaligus mantan CEO perusahaan besar itu, keberhasilan seseorang bersumber dari keyakinannya dalam menjalani hidup. Prinsip ini pula yang terus dipegangnya hingga berhasil membawanya pada puncak kesuksesan. Alhasil, di usianya yang baru 38 tahun, Gede Prama telah menduduki jabatan tertinggi dalam sebuah perusahaan dengan memimpin ribuan karyawan.

Pria kelahiran 2 Maret 1963 ini berasal dari sebuah desa kecil bernama Tajun yang terletak di Bali Utara. Ia tumbuh dalam keluarga yang sederhana. Sejak kecil ia merupakan sosok yang patuh akan hukum adat yang berlaku di lingkungannya. Jiwa pemberontak jauh dari kepribadiannya. Ini terlihat ketika orangtuanya sering mengumpulkan anak-anaknya untuk diberikan wejangan, Gede Prama selalu mendengarkan wejangan yang disampaikan orangtuanya dengan baik untuk diterapkannya di kemudian hari.

Di masa mudanya, ia adalah pribadi yang minder, pemalu serta penakut karena ia merasa memiliki banyak kekurangan. Namun, segala sifat negatif itu berubah tatkala ia mendapat kesempatan belajar ke luar negeri.
Gede Prama memulai kariernya di lahan pengetahuan dan profesi yang sarat sains dan praktik manajemen. Namun dalam kiprah selanjutnya, ia lebih menerapkan pendekatan spiritual dalam pengembangan organisasi maupun 
bisnis.

Hanya dengan bermodalkan keyakinan serta tekad yang kuat, alumni Universitas Leicester dan INSEAD ini datang ke kota besar. Keyakinannya membuahkan hasil, kini ia dikenal sebagai penulis sekaligus pimpinan sebuah perusahaan swasta dan konsultan pada Dynamics Consulting yang bergerak di bidang pengembangan SDM. Gede Prama juga menjadi salah seorang pembicara publik yang paling diminati. Kata-kata yang keluar selalu dipikirkan masak-masak dan meneduhkan bagi yang mendengarnya.

Ketekunannya sebagai konsultan membuatnya pernah menjadi konsultan manajemen di RCTI, Blue Bird, PT Kodja Bahari, Air Mancur dan lain-lain. Tak hanya itu, mantan karyawan sebuah perusahaan Jepang ini juga berhasil mencatatkan namanya sebagai salah satu motivator kenamaan Tanah Air sekelas Mario Teguh, Tung Desem Waringin dan lain-lain.

Berkat kesuksesannya, Gede kini hidup berkecukupan dengan kekayaaan yang dimilikinya. Namun, kekayaan duniawi bukanlah menjadi sumber kebahagiannya yang utama, melainkan cinta kasih dari keluarga tercinta yang senantiasa tercurah untuknya. Selain keyakinan dan tekad, cinta kasih merupakan faktor yang amat mempengaruhi jalan hidupnya. Ia tidak lagi menemui kegagalan karena dalam kegagalan tak ada dalam kamus bahasa cinta.

Dalam kamus hidup seorang Gede Prama, seseorang bisa mewujudkan keyakinan tanpa harus dibatasi oleh tembok apapun. Maka ketika seseorang benar-benar ingin berpikir sehat demi kesuksesannya, ia harus bersiap-siap berpikir keseluruhan tanpa batas. Tak mengherankan jika kini ia tak suka mengagumi pemikiran mana pun secara berlebihan.

Gede Prama mendedikasikan hidupnya untuk mengembangkan gagasan Unschooled Management. Gagasan yang menurut Gede, sebuah ekspresi penghargaan atas sekolah. Pasalnya, seseorang yang berani mengkritiklah yang akan membangun sebuah sekolah dan universitas.

Berkat keluasan pemikirannya, pria berpembawaan tenang ini banyak dipercaya sebagai pembicara publik di berbagai forum nasional maupun internasional. Sudah tidak terhitung banyaknya undangan mulai dari organisasi keagamaan, perusahaan, maupun seminar tentang motivasi diri dan 
bisnis. Perusahaan-perusahaan besar seperti BCA, Citibank, World Bank, Unilever Global, Microsoft dan IBM tak segan menggelontorkan dana yang tak sedikit demi mendatangkan dirinya. Kesibukan yang memaksanya harus melanglang buana itu membuat ia melepaskan profesinya sebagai sebagai dosen MBA di tiga sekolah manajemen di Jakarta.

Karena kedalaman berpikirnya, pria yang memperoleh gelar MBA dari Institut Manajemen Prasetiya Mulya Jakarta ini disebut sebagai Resi Manajemen oleh Infobank. Sedangkan oleh Media Indonesia, Gede dijuluki Stephen Covey Indonesia. Warta Ekonomi menyebutnya Penggagas Unschooled Management.

Julukan yang disandangnya tak lantas membuat Gede terjebak dalam puji-pujian itu. Bagi Gede, pujian maupun makian sama mematikannya. Yang terpenting, ia selalu belajar untuk merangkul dua sisi kehidupan yang saling membelakangi, sedih-bahagia, suka-duka dalam satu pelukan yang sama mesra.

Gede juga merupakan sosok pembicara publik yang bisa berbicara lintas agama, terkadang ia berbicara di majelis taklim, vihara, serta berbagai seminar pengembangan diri lewat jalur spiritual.

Ia juga terus belajar untuk mencapai pada titik keikhlasan tertinggi. Jadi, apa pun usahanya, ia belajar supaya tetap berujung pada keikhlasan. Dengan keikhlasan, orang tak akan terbelenggu pada keinginan akan harta maupun tahta.

Pemahaman inilah yang membuat seorang kyai dari Jawa Timur menyebut Gede seorang sufi. Padahal Gede seorang Hindu. Kesufian ini dipelajari Gede Prama dari para pemikir dunia seperti Kahlil Gibran, Khrisnamurti, David Bohm, Michael Fouclt, dan Morihei Ueshiba. Selain mempelajari karya-karya filosofi, ia juga rutin berlatih meditasi. Dari latihan ini, ia mendapatkan ketenangan yang memudahkannya mengembangkan pikiran positif dalam segala hal.

Selain menjadi pembicara publik, ia juga menuangkan gagasan serta pemikirannya dalam lembaran-lembaran kertas. Ketekunannya berkarya membuatnya sudah menghasilkan ribuan artikel, serta puluhan judul buku, dua di antaranya dibuat dalam versi bahasa Inggris.

Buku-buku yang ditulisnya tak pernah lepas dari pemahaman tentang kehidupan yang universal, seperti: Percaya Cinta Percaya Keajaiban, Hidup Bahagia Selamanya, Sukses dan Sukses, Simfoni di Dalam Diri, Sadness, Happiness, Blissfulness: Transforming Suffering Into The Ultimate Healing : Mengolah Kemarahan Menjadi Keteduhan, dan lain-lain. Pesan-pesan serta petuah bijak yang disampaikannya membuat buku-buku Gede Prama kerap dijadikan bahan renungan bagi para penikmat karyanya. Media cetak, internet, televisi dan radio juga kerap menyebarkan pesan-pesan serta petuah bijaknya yang mengajarkan bagaimana cara menjalani hidup dengan nilai-nilai positif. Di sela-sela kesibukannya sebagai pembicara, Gede Prama juga menjadi penulis tetap di harian Kompas serta majalah Info Bank.

Setelah mendapatkan segala kesuksesan di dunia, ia ingin terus melakukan perjalanan menuju Tuhan. Ia tak ingin terus terikat pada tahta. Ia juga tak ingin terjebak pada keberhasilan. Karena ikatan dan jebakan itulah awal dari kegagalan hidup yang permanen. Gede Prama menyadari kehidupan di dunia hanya bersifat sementara, oleh karena itu ia berusaha menyebarkan pemikiran positif bagi sesamanya tentang keindahan hidup dengan karya-karyanya.

Kendati kesibukan telah membawanya ke berbagai tempat, Gede Prama tak pernah melupakan tempat kelahirannya, Tajun. Di desa inilah ia menghabiskan sebagian waktu menulis, bertaman, serta bermeditasi (mindfulness training). Keberhasilan dan kenikmatan hidup tak lantas merubah kepribadian Gede, hatinya pun masih tetap sama dengan ketika ia memulai perjalanan dari Tajun. "Semua mau bahagia, tidak ada yang mau menderita," begitulah ungkapan pria yang pernah belajar spiritualitas dari Dalai Lama.

Meski masih belum sempurna, Gede Prama yang sering menyebut dirinya sebagai orang bodoh ini memberanikan diri untuk berbagi pesan tentang tidak menyakiti, banyak menyayangi, mencintai semua mahluk, karena menurutnya itulah yang membuat manusia berbahagia. Kegagalan dan kebodohan di masa lalu dijadikannya sebagai media untuk terus belajar dan dari sana pulalah Gede Prama menemukan sebuah kearifan. "Dalam setiap persoalan manusia, saya belajar untuk mengurangi mencari siapa yang salah. Dan memusatkan perhatian untuk memecahkan persoalan," ujarnya bijak.

Bila banyak orang mau belajar berhenti menyalahkan orang lain, kemudian memusatkan perhatian pada pemecahan persoalan, menurutnya dunia kerja bukanlah sesuatu yang menakutkan. Persoalannya, untuk bisa berhenti dari kebiasaan buruk tadi, di samping kadang kurang didukung lingkungan, juga sering dihadapkan oleh dorongan-dorongan dari dalam diri yang juga tidak mudah. Emosi, ego, harga diri, gengsi, ketidaksabaran hanyalah sebagian kecil dari dorongan-dorongan tadi. Namun, siapapun juga orangnya, menurut Gede, orang itu membutuhkan deep meditation untuk mengelola dorongan-dorongan tersebut.

Deep meditation menurutnya, sebenarnya amatlah mudah. Ketika lapar, makanlah secukupnya. Tatkala haus, minumlah semampunya. Manakala mata mengantuk, tidurlah secukupnya. Dengan kata lain, hidup kita dengan seluruh kesehariannya sebenarnya sebuah meditasi panjang. Bila kita melakukan meditasi panjang ini dengan penuh ketekunan, kita yang menjadi pengelola tubuh dan jiwa ini. Bukan sebaliknya, kita dikelola oleh tubuh.

Terlebih bagi mereka yang pekerjaannya merubah orang lain atau memiliki tugas mulia memasyarakatkan nilai-nilai luhur. Dia katakan, sulit membayangkan tugas-tugas ini bisa diselesaikan secara berhasil tanpa melalui deep meditation. Ini juga sebabnya kenapa bertemu orang-orang tertentu kita mudah segan, hormat, respek, dan perasaan sejenis.

Sumber: 
http://www.tokohindonesia.com

No comments:

Post a Comment

Related Posts