Monday, September 1, 2025

Akankah Mei 1998 Terulang Kembali Tahun 2025 ini?

Sejarah mencatat, Mei 1998 adalah salah satu titik paling kelam dalam perjalanan bangsa Indonesia. Krisis ekonomi yang bermula dari gejolak finansial Asia, merembet menjadi krisis multidimensi yang mengguncang politik, sosial, dan keamanan. Harga-harga kebutuhan pokok melonjak drastis, nilai rupiah anjlok, dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah runtuh. Akibatnya, lahirlah demonstrasi besar-besaran, kerusuhan sosial, hingga lengsernya rezim Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun. Peristiwa ini menjadi pengingat betapa rapuhnya sebuah bangsa ketika tekanan ekonomi bertemu dengan ketidakpuasan sosial dan politik.

Ketidakpuasan sosial dan politik adalah kondisi ketika sekelompok masyarakat tidak puas terhadap situasi sosial atau kebijakan serta kinerja pemerintah, yang dapat diwujudkan melalui berbagai bentuk seperti demonstrasi, kerusuhan, menurunnya kepercayaan publik, bahkan bisa memicu konflik sosial yang lebih luas dan menghambat pembangunan. Penyebabnya dapat bervariasi, mulai dari kebijakan ekonomi yang tidak adil, kesulitan mencari pekerjaan, hingga ketidakpercayaan pada proses politik dan pemerintahan. 

Kini, menjelang tahun 2025, muncul pertanyaan besar: mungkinkah sejarah itu terulang kembali? Apalagi dunia sedang menghadapi ketidakpastian global, mulai dari ancaman resesi, ketegangan geopolitik, perubahan iklim yang mengganggu rantai pasok, hingga laju inflasi yang menghantui banyak negara. Indonesia sebagai bagian dari ekonomi global tentu tidak bisa sepenuhnya kebal. Jika krisis global membesar, maka Indonesia pun berpotensi ikut merasakan dampaknya.

Krisis ekonomi adalah suatu periode penurunan ekonomi yang drastis dan berkelanjutan di suatu negara atau wilayah, lebih parah dari resesi biasa, yang ditandai dengan penurunan PDB, anjloknya bursa saham dan daya beli masyarakat, serta pengangguran yang meningkat. Krisis dapat dipicu oleh berbagai faktor seperti inflasi tinggi, utang negara, krisis finansial, atau bahkan ketidakstabilan global, dan dapat berdampak luas ke seluruh sektor ekonomi. 

Namun, kondisi Indonesia hari ini tentu berbeda dengan tahun 1998. Saat itu, fondasi ekonomi nasional masih rapuh, ketergantungan pada utang luar negeri tinggi, dan sistem politik sangat sentralistik. Reformasi yang lahir setelah 1998 membawa perubahan besar, terutama dalam hal demokratisasi, transparansi, dan keterbukaan informasi. Sektor perbankan dan fiskal juga jauh lebih kuat dengan adanya pengawasan ketat, cadangan devisa lebih besar, serta diversifikasi sumber ekonomi yang tidak hanya bergantung pada satu komoditas. Hal ini menjadi benteng awal yang membuat Indonesia lebih siap menghadapi guncangan eksternal.

Sistem politik Indonesia adalah sistem presidensial republik demokrasi perwakilan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dengan pembagian kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serta menganut sistem multipartai. Presiden merupakan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, sementara lembaga-lembaga negara seperti DPR, MPR, dan Mahkamah Agung menjalankan fungsi masing-masing dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Meski demikian, ancaman tetap ada. Krisis tidak hanya soal angka-angka makroekonomi, melainkan juga tentang ketidakpuasan sosial. Jika inflasi melonjak, daya beli menurun, dan pengangguran meningkat, maka keresahan masyarakat bisa menjadi bara dalam sekam. Apalagi di tahun 2025, Indonesia berada dalam situasi politik yang hangat pasca pemilu. Suasana transisi kepemimpinan bisa menjadi faktor yang memperuncing ketidakstabilan, terutama jika ada kelompok yang memanfaatkan keresahan ekonomi untuk kepentingan politik. Inilah yang membuat sebagian kalangan mengaitkan kondisi sekarang dengan bayangan Mei 1998.

Ketidakpuasan sosial adalah suatu perasaan atau kondisi ketidakpuasan sekelompok masyarakat terhadap suatu keadaan atau kebijakan yang dianggap tidak adil, tidak sesuai harapan, atau memicu ketidaksetaraan. Ketidakpuasan ini sering kali dipicu oleh kesenjangan sosial, ketidakadilan dalam distribusi sumber daya, serta terbatasnya akses terhadap kebutuhan dasar seperti pendidikan dan pekerjaan, dan dapat mendorong masyarakat untuk menuntut perubahan.

Namun, perbedaan paling mendasar terletak pada kesadaran masyarakat. Dua dekade lebih sejak 1998, bangsa ini sudah belajar banyak. Masyarakat kini lebih melek politik, lebih kritis terhadap informasi, dan memiliki saluran aspirasi yang lebih terbuka. Jika pada 1998 suara rakyat tersumbat sehingga meledak dalam bentuk kerusuhan, kini rakyat punya lebih banyak ruang demokratis untuk menyampaikan ketidakpuasan. Media sosial juga menjadi kanal yang bisa meredakan sekaligus memperuncing situasi, tergantung bagaimana penggunaannya.

Kesadaran masyarakat adalah pemahaman, perasaan, dan sikap positif serta tindakan nyata masyarakat terhadap suatu kondisi tertentu, seperti lingkungan, hukum, atau hak dan kewajiban sebagai warga negara, yang mengarah pada perubahan perilaku yang lebih baik dan bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. 

Pada akhirnya, pertanyaan "Akankah Mei 1998 terulang kembali?" bukanlah sesuatu yang bisa dijawab dengan hitam-putih. Krisis bisa datang kapan saja, ibarat badai yang sulit diprediksi. Tetapi, apakah badai itu akan menghancurkan kapal atau justru bisa dilewati, sangat bergantung pada seberapa kuat persiapan bangsa ini. Pemerintah perlu menjaga stabilitas harga, memastikan distribusi kebutuhan pokok berjalan lancar, dan memberi jaring pengaman sosial bagi masyarakat rentan. Sementara rakyat, perlu menjaga persatuan, tidak mudah terprovokasi, dan mengingat bahwa kerusuhan hanya akan memperburuk keadaan.

Persiapan bangsa Indonesia saat ini berfokus pada pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045, melalui peningkatan pendidikan, inovasi, dan pemanfaatan bonus demografi, sekaligus menjaga persatuan nasional dengan mengamalkan Pancasila, toleransi, dan melawan hoaks di media sosial, serta mendukung produk dalam negeri dan kesadaran bela negara. 

Sejak 25 Agustus 2025, unjuk rasa disertai kerusuhan terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Unjuk rasa ini awalnya dipicu oleh protes terhadap adanya tunjangan baru bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, berupa tunjangan perumahan.

Bentrokan yang terjadi di Senayan pada 28 Agustus 2025 tercatat sebagai salah satu demonstrasi terbesar yang melibatkan pelajar dan mahasiswa, memperlihatkan bahwa suara muda belum padam meski jalan yang mereka tempuh penuh risiko.

Protes berlanjut pada 29 Agustus 2025 dengan para demonstran menuntut pertanggungjawaban atas kematian Affan Kurniawan. Seruan keadilan menyebar di media sosial, dan demonstrasi baru direncanakan di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia.

Sejarah Mei 1998 adalah luka, tetapi juga guru. Dari sana kita belajar bahwa krisis bisa menjadi momentum lahirnya perubahan. Namun, tak ada alasan bagi bangsa ini untuk kembali mengulang tragedi serupa. Justru dengan pengalaman masa lalu, Indonesia bisa lebih matang, lebih kuat, dan lebih siap menghadapi tantangan 2025. Bukan dengan menengok ke belakang dengan ketakutan, melainkan dengan menatap ke depan dengan kewaspadaan dan optimisme.

Related Posts