Thursday, September 26, 2019

Bekerjalah Dengan Itqan

Saya entrepreneur. Tapi saya sangat menghormati mereka yang memilih untuk bekerja, jadi karyawan. Di buku Success Protocol, saya pernah menyerukan, "Bekerjalah dengan itqan."

Artinya:
- teliti
- hati-hati
- sepenuh hati
- bermutu tinggi
- sulit disaingi

Apalagi kita sama-sama tahu, kerja adalah ibadah. Berkah insya Allah. Dengan memaknai kerja adalah ibadah, semoga kita tidak termasuk golongan orang yang gemar mengeluh dan bergunjing di kantor.

Ada yang bekerja, niatnya sekedar untuk mendapatkan upah. Ada pula sekedar untuk mengisi waktu. Tentu, ia akan mendapatkan apa yang ia inginkan. Tapi soal keberkahan, saya pikir nggak akan optimal.

Terlepas dari itu, tak semua negara mengenal konsep kerja adalah ibadah. Beruntunglah, walaupun belum sempurna penerapannya, Indonesia sedikit-banyak mengenal konsep #KerjaItuIbadah.

Kembali soal menjalankan pekerjaan dengan itqan. Sekiranya ini benar-benar terjadi, maka insya Allah kita akan lebih puas, lebih bahagia, lebih bermakna, lebih dihormati, dan dibayar lebih tinggi. Jadi, sangat menguntungkan dari berbagai sisi.

Pada akhirnya, saya serukan lagi, "Bekerjalah dengan itqan."

Sekian dari saya, Ippho Santosa.

Saturday, September 21, 2019

Implementasi Program Work-Life Integration

Implementasi Program Work-Life Integration


1. Mengidentifikasi kebutuhan work-Life
Ini adalah langkah penting dimana perusahaan perlu mengidentifikasi aspirasi karyawan terutama yang menyangkut jadwal dan cara kerja. Beberapa perusahaan telah mulai menerapkan flexible time dalam rangka mengantisipasi kemacetan, misalnya dengan jadwal masuk jam 10.00 dengan jadwal pulan jam 19.00

2. Menciptakan lingkungan kerja yang mendukung dan percaya
Perusahaan perlu secara terus menerus mensosialisasikan bahwa bagi perusahaan hasil kerja jauh lebih penting daripada kehadiran fisik tepat waktu di tempat kerja.
Target kerja yang jelas membantu agar karyawan fokus pada pencapaian target. Target kinerja yang jelas akan membingkai hubungan antara manajemen dan karyawan menjadi hubungan yang saling percaya bahwa perusahaan memberikan keleluasaan karyawan untuk menyelesaikan tugas dengan caranya masing-masing.

3. Menyediakan alat dan teknologi yang mendukung
Perusahaan perlu meneydiakan software maupun aplikasi yang dapat mendukung terjadinya file sharing, akses mobile, video chat dan video conferencing. Tidak perlu khawatir terkait biaya investasi mengingat banyak aplikasi yang tidak berbayar alias nol rupiah.

Work-Life integration merupakan cara perusahaan untuk menyeimbangkan antara kepentingan perusahaan dengan kebutuhan karyawan. Penerapan jadwal dan cara kerja yang fleksibel ditunjang dengan penerapan teknologi mobile menjadi kunci suksesnya penerapan program ini.

Tujuan akhir dari metode ini adalah produktifitas yang lebih tinggi dan kepuasan serta engagement karyawan terhadap perusahaan semakin meningkat.


Sumber :
http://manajemen-sdm.com/retensi-karyawan/work-life-balanced-menuju-work-life-integration/

Perspektif Work-Life Integration

Perspektif Work-Life Integration

1. Flexible Work Schedule
Keluwesan dalam jadwal kerja memungkinkan karyawan mengatur jadwal kerja disesuaikan dengan kebutuhan pribadinya. Perusahaan dapat memberikan pilihan-pilihan menarik terkait jadwal kerja.

2. Telecommuting Technology
Perkembangan teknologi saat ini sangat memungkinkan suatu pekerjaan dilakukan secara remote atau jarak jauh. Untuk berkomunikasi penggunaan aplikasi WA, Telegram, BBM, Skype memungkinkan komunikasi terjadi secara jarak jauh dan murah.

3. Kinerja dilihat dari hasil kerja daripada jam kerja dan kehadiran fisik.
Hasil kerja adalah tolok ukur kontribusi karyawan untuk perusahaan. Tantangan bagi perusahaan adalah membuat tolok ukur kinerja yang jelas.

4. Flexible work arrangement meningkatkan kepuasan, produktifitas, retensi, loyalitas dan komitmen. Perusahaan dapat memberi keleluasaan pada karyawan untuk mengatur jadwal dan cara kerja.


Sumber :
http://manajemen-sdm.com/retensi-karyawan/work-life-balanced-menuju-work-life-integration/

Work-Life integration

DARI WORK-LIFE BALANCED MENUJU WORK-LIFE INTEGRATION
Dec 8, 2016

Work-Life balance atau work-life integration? Keduanya berbicara tentang bagaimana mengakomodasi kebutuhan dari perusahaan dan kebutuhan karyawan agar diperoleh keseimbangan yang maksimal bagi kedua belah pihak.

Keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi atau yang biasa disebut work –life balance, adalah paradigma yang cukup bijak. Alasan utamanya adalah bahwa work atau pekerjaan merupakan bagian dari kehidupan sehingga banyak aspek lain dalam kehidupan (keluarga, spiritual, pengembangan diri, hoby, komunitas) yang terabaikan apabila seseorang karyawan menghabiskan waktunya untuk pekerjaan.

Konsep work-life balance meyakini keseimbangan antara hidup dan pekerjaan akan berdampak signifikan dalam kinerja karyawan dan perusahaan. Oleh karenanya banyak perusahaan yang menyadari hal ini, membuat kegiatan-kegiatan dan komunitas-komunitas untuk menampung dan memfasilitasi minat karyawan di luar pekerjaan.

Dalam penerapannya, work-life balance diartikan memisahkan secara tegas waktu kerja dan waktu di luar jam kerja. Waktu kerja digunakan untuk mengerjakan tugas dari perusahaan. Di luar jam kerja adalah waktu untuk kehidupan pribadi.

Namun, seiring dengan berkembangnya teknologi komunikasi dan informasi, batasan waktu kerja dan waktu di luar jam kerja menjadi kabur.

Saat ini, lingkungan dan tuntutan bisnis belangsung 24/7. Terkoneksi setiap saat adalah kata kuncinya. Pada jam kerja tak jarang karyawan melakukan komunikasi di luar urusan pekerjaan, seperti sekedar mengirim text (sms, WA, telegram, dll) untuk keperluan keluarga atau mengakses aplikasi untuk memesan taxi.

Di luar jam kerja, pada malam hari atau week end, tak jarang karyawan melayani pelanggan dengan gadgetnya karena saat ini komunikasi menjadi sangat mudah dan murah, dapat dikirimkan kapanpun dimanapun.

Work-Life Integration, adalah konsep baru yang mengemuka karena kapabilitas teknologi modern yang memungkikan interaksi terjadi setiap saat, antara atasan bawahan, terlebih lagi antara perusahaan dengan pengguna jasa.

Apabila perusahaan fokus pada pelayanan pelanggan, maka work-life integration menjadi pilihan terbaik bagi perusahaan untuk mengatur sistim kerja karyawan.


Sumber :
http://manajemen-sdm.com/retensi-karyawan/work-life-balanced-menuju-work-life-integration/

Work-Life Balance

Indikator Baru Kesuksesan

Saat ini pria dan wanita tidak lagi mendefinisikan kesuksesan karier dengan penghasilan atau tingginya gaji yang diterima. Studi dari Accenture, perusahaan konsultan manajemen mengungkapkan, keseimbangan antara hidup dan kerja (work life balance) adalah penentu utama kesuksesan bagi lebih dari setengah laki-laki dan perempuan.

Mayoritas karyawan percaya bahwa keseimbangan antara kerja dan kehidupan dapat dicapai. Lebih dari dua-pertiga karyawan yang disurvei percaya bahwa mereka dapat "memiliki segalanya", yaitu karier yang sukses dan kehidupan yang bahagia.

Keseimbangan antara kehidupan dan karier sangat penting, terbukti mereka yang disurvei telah menolak tawaran pekerjaan dengan penghasilan dan kesejahteraan yang baik bila berpotensi mengganggu keseimbangan antara kehidupan sosial dan keluarga.

Adrian Lajtha dari Accenture, mengatakan bahwa selama menjalani karier, para profesional terus berusaha mendefinisikan kembali arti sukses bagi mereka. “Bagi banyak orang, karier dan prioritas pribadi akan diutamakan pada waktu yang berbeda," kata Lajtha.

"Para profesional saat ini berusaha untuk menemukan keseimbangan yang tepat, perusahaan terkemuka akan menemukan cara-cara inovatif untuk membantu mereka mengembangkan karier dan berkembang besar bersama," katanya.

Penelitian yang melibatkan 4.100 eksekutif bisnis di 33 negara ini juga mengungkapkan bahwa teknologi memainkan peran besar dalam mencapai keseimbangan kehidupan kerja. Lebih dari tiga perempat karyawan berpikir bahwa teknologi memungkinkan mereka untuk menjadi lebih fleksibel dalam mengatur jadwal, sementara 80 persen lainnya percaya bahwa memiliki fleksibilitas dalam pekerjaan penting untuk mencapai keseimbangan dalam hidup dan karier yang positif.

"Fakta bahwa menemukan pendekatan yang tepat untuk mengintegrasikan tuntutan karier dan kehidupan sangat penting untuk karyawan. Dampaknya pun akan signifikan bagi pengusaha," kata Nellie Borrero, Direktur Pelaksana Accenture.

"Perusahaan yang dapat membantu karyawan mereka menavigasi kehidupan profesional maupun pribadi cenderung menghargai keterlibatan karyawan dan menikmati keuntungan saat mereka merekrut dan mempertahankan karyawan berkinerja tinggi."

Secara keseluruhan, 53 persen wanita dan 50 persen pria mengatakan bahwa mereka puas dengan pekerjaan mereka dan tidak mencari peluang baru. Sementara mereka yang mengundurkan diri lebih karena keinginan menjaga keseimbangan dalam hidup.


Sumber :
https://lifestyle.kompas.com/read/2013/03/08/1335020/quotwork-life.balancequot.indikator.baru.kesuksesan.

Work-Life Balance untuk Hidup Lebih Seimbang

7 Tips Menjaga Work-Life Balance untuk Hidup Lebih Seimbang

Shabrina Alfari
Aug 6, 2018

Pekerjaan dan kehidupan pribadi tentunya adalah dua hal yang sama pentingnya. Sesibuk apa pun kita dalam bekerja, haruslah tetap memiliki waktu untuk kehidupan pribadi. Namun nyatanya, banyak di antara pekerja yang belum memiliki work-life balance. Apalagi jika Anda seorang pebisnis yang masih merintis sebuah usaha atau seorang freelancer yang dapat bekerja dari mana saja. Seringkali Anda tidak tahu bagaimana caranya memisahkan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Nah, mau tahu bagaimana cara yang tepat untuk mendapatkan work-life balance yang baik dan maksimal?

Yuk, simak 7 tipsnya berikut ini!

1. Kurangi sifat perfeksionis

Penyebab paling sering yang membuat tidak terjaganya work-life balance adalah sifat perfeksionis. Coba Anda renungkan sebenarnya seberapa perfeksionisnya Anda? Menjadi seseorang yang perfeksionis tentunya memiliki sisi baik, karena Anda akan selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk pekerjaan. Namun, cobalah fokus untuk mengerjakan yang terbaik tanpa harus menjadi sempurna. Sedikit kesalahan atau kekurangan itu wajar. Banyak orang yang merasa hidupnya lebih tenang dan ringan setelah mengurangi sifat perfeksionis mereka, lho.


2. Jaga jarak dengan gadget

Sebelum era smartphone atau laptop, batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi dapat terlihat dengan jelas. Namun pada zaman sekarang, lewat smartphone kita bisa berkirim email atau membahas pekerjaan lewat group chat kapan saja. Sedikit demi sedikit, pekerjaan akhirnya menyusup masuk ke kehidupan pribadi, jam tidur, bahkan hari libur. Jam kerja yang tidak menentu ini membuat work-life balance menjadi terganggu. Tidak hanya pekerjaan, terus-menerus melihat media sosial juga akan membuang waktu Anda dan membuat kualitas istirahat berkurang. Yuk, mulailah untuk meninggalkan gadget Anda untuk beberapa saat dan nikmati hidup di luar pekerjaan dan media sosial.


3. Berani untuk berkata tidak

Salah satu hal yang kadang sulit untuk dilakukan adalah berani untuk berkata tidak pada orang lain. Namun, untuk menjaga work-life balance, berkata tidak itu perlu, lho. Ingatlah bahwa prioritas utama adalah pekerjaan Anda terlebih dahulu, baru kemudian membantu orang lain jika memang masih sanggup. Bantulah orang lain jika pekerjaan Anda sendiri telah selesai dikerjakan dengan baik. Jangan sampai karena membantu orang lain, pekerjaan Anda menjadi berantakan dan malah menambah stres atau pikiran Anda.


4. Tinggalkan pekerjaan di tempat kerja

Ini dia hal paling penting yang harus Anda perhatikan, yaitu jangan membawa pekerjaan pulang ke rumah. Jika Anda tidak menyelesaikan pekerjaan di kantor, itu mungkin artinya alur kerja Anda tidak efisien. Sementara bila Anda merasa telah bekerja dengan efisien tetapi tetap tidak selesai juga, itu artinya beban pekerjaan Anda terlalu banyak. Usahakan untuk selalu memaksimalkan waktu Anda di kantor dan selesaikan semua urusan pekerjaan di tempat kerja. Jika tidak, Anda akan benar-benar merasa tidak punya waktu istirahat dan tidak memiliki work-life balance.


5. Jangan pernah menunda pekerjaan

Cara lain yang harus Anda lakukan untuk menjaga work-life balance adalah dengan belajar mengatur waktu dengan baik. Berhentilah menjadi seorang procrastinator yang sering menunda-nunda pekerjaan. Menjadi procrastinator akan membuat Anda sulit untuk menerapkan cara mengatur waktu yang efektif. Menyelesaikan tugas di waktu-waktu akhir akan memiliki banyak risiko dan menjadi penghalang untuk Anda menuju work-life balance. Sebisa mungkin selesaikan tugas Anda di awal waktu, ke depannya Anda pasti akan melihat hasil pekerjaan yang lebih sempurna dan Anda akan memiliki lebih banyak waktu untuk mendapatkan work-life balance.


6. Sadar pentingnya membatasi diri

Membatasi diri dapat Anda terapkan dalam banyak hal. Cara paling mudah adalah dengan membatasi jam kerja. Dengan perkembangan dunia kerja yang semakin dinamis dan menjamurnya startup memunculkan sebuah budaya baru yaitu waktu kerja yang lebih fleksibel. Saat ini mulai banyak perusahaan yang membuat kebijakan jam kerja fleksibel atau sebenarnya mungkin tidak jelas. Namun, Anda tetap membutuhkan batasan. Contohnya, Anda memutuskan untuk bekerja mulai jam 9 pagi dan harus berhenti bekerja setelah jam 7 malam (kecuali ada sesuatu yang sangat mendesak).


7. Bekerja lebih pintar, bukan lebih keras

Jika Anda hanya berusaha untuk bekerja lebih keras, bisa jadi cara ini kurang tepat. Bekerja keras dan maksimal itu perlu, tetapi bekerja pintar lebih dibutuhkan. Anda dapat mulai dengan membuat prioritas, menggabungkan pekerjaan yang dapat dikerjakan bersamaan, atau mendelegasikan beberapa tugas pada orang lain. Dengan bekerja lebih pintar, work-life balance pasti akan semakin mudah Anda dapatkan.


Sumber :
https://blog.ruangguru.com/7-tips-menjaga-work-life-balance-untuk-hidup-lebih-seimbang

Friday, September 20, 2019

The Most Common Type of Incompetent Leader

Scott Gregory
MARCH 30, 2018

A young friend recently remarked that the worst boss he ever had would provide him with feedback that always consisted of “You’re doing a great job.” But they both knew it wasn’t true — the organization was in disarray, turnover was excessive, and customers were not happy. My friend was giving it his all, but he needed more support and better feedback than he received. He wanted a leader who would be around when he needed them, and who would give him substantive advice, not platitudes. As a measure of his frustration, he said, “I would rather have had a boss who yelled at me or made unrealistic demands than this one, who provided empty praise.”

Researchers have studied managerial derailment — or the dark side of leadership — for many years. The key derailment characteristics of bad managers are well documented and fall into three broad behavioral categories: (1) “moving away behaviors,” which create distance from others through hyper-emotionality, diminished communication, and skepticism that erodes trust; (2) “moving against behaviors,” which overpower and manipulate people while aggrandizing the self; and (3) “moving toward behaviors,” which include being ingratiating, overly conforming, and reluctant to take chances or stand up for one’s team. The popular media is full of examples of bad leaders in government, academia, and business with these characteristics. However, my friend was describing something arguably worse than an incompetent boss. His manager was not overtly misbehaving, nor was he a ranting, narcissistic sociopath. Rather, his boss was a leader in title only — his role was leadership, but he provided none. My friend was experiencing absentee leadership, and unfortunately, he is not alone. Absentee leadership rarely comes up in today’s leadership or business literature, but research shows that it is the most common form of incompetent leadership.

Absentee leaders are people in leadership roles who are psychologically absent from them. They were promoted into management, and enjoy the privileges and rewards of a leadership role, but avoid meaningful involvement with their teams. Absentee leadership resembles the concept of rent-seeking in economics — taking value out of an organization without putting value in. As such, they represent a special case of laissez-faire leadership, but one that is distinguished by its destructiveness.

Having a boss who lets you do as you please may sound ideal, especially if you are being bullied and micromanaged by your current boss. However, a 2015 survey of 1,000 working adults showed that eight of the top nine complaints about leaders concerned behaviors that were absent; employees were most concerned about what their bosses didn’t do. Clearly, from the employee’s perspective, absentee leadership is a significant problem, and it is even more troublesome than other, more overt forms of bad leadership.

Research shows that being ignored by one’s boss is more alienating than being treated poorly. The impact of absentee leadership on job satisfaction outlasts the impact of both constructive and overtly destructive forms of leadership. Constructive leadership immediately improves job satisfaction, but the effects dwindle quickly. Destructive leadership immediately degrades job satisfaction, but the effects dissipate after about six months. In contrast, the impact of absentee leadership takes longer to appear, but it degrades subordinates’ job satisfaction for at least two years. It also is related to a number of other negative outcomes for employees, like role ambiguity, health complaints, and increased bullying from team members. Absentee leadership creates employee stress, which can lead to poor employee health outcomes and talent drain, which then impact an organization’s bottom line.

If absentee leadership is so destructive, why don’t we read more about it in the business literature? Consider a story I recently heard about the dean of a well-known law school: Two senior, well-regarded faculty members called the provost to complain about their dean because, they said, he wouldn’t do anything. The provost responded by saying that he had a dean who was a drunk, a dean who was accused of sexual harassment, and a dean who was accused of misusing funds, but the law school dean never caused him any problems. So, the provost said, the faculty members would just have to deal with their dean.

Like the provost in this example, many organizations don’t confront absentee leaders because they have other managers whose behavior is more overtly destructive. Because absentee leaders don’t actively make trouble, their negative impact on organizations can be difficult to detect, and when it is detected, it often is considered a low-priority problem. Thus, absentee leaders are often silent organization killers. Left unchecked, absentee leaders clog an organization’s succession arteries, blocking potentially more effective people from moving into important roles while adding little to productivity. Absentee leaders rarely engage in unforgivable bouts of bad behavior, and are rarely the subject of ethics investigations resulting from employee hotline calls. As a result, their negative effect on organizations accumulates over time, largely unchecked.

If your organization is one of the relatively few with effective selection and promotion methods in place, then it may be able to identify effective and destructive leaders. Even if your organization isn’t great at talent identification, both types of leaders are easy to spot once they are on the job. They also produce predictable organizational outcomes: Constructive leadership creates high engagement and productivity, while destructive leadership kills engagement and productivity. The chances are good, however, that your organization is unaware of its absentee leaders, because they specialize in flying under the radar by not doing anything that attracts attention. Nonetheless, the adhesiveness of their negative impact may be slowly harming the company.

The war for leadership talent is real, and organizations with the best leaders will win. Reviewing your organization’s management positions for absentee leaders and doing something about them can improve your talent management arsenal. It’s likely that your competitors are overlooking this issue or choosing not to do anything about it, like the university provost. Doing nothing about absentee leaders is easy. Just ask any absentee leader.

Sumber :
https://hbr.org/2018/03/the-most-common-type-of-incompetent-leader

Related Posts