Apakah Dunia Menuju Perang Dunia ke-3?
Bayangan Perang Dunia ke-3 kerap menghantui jagat geopolitik setiap kali konflik berskala besar mencuat ke permukaan. Dan kini, dengan eskalasi tensi di berbagai titik panas dunia—mulai dari konflik Iran dan Israel, ketegangan antara NATO dan Rusia, hingga rivalitas strategis Amerika Serikat dan Tiongkok—pertanyaan yang dulu hanya menjadi tema fiksi ilmiah kini terasa semakin relevan: Apakah dunia benar-benar sedang menuju Perang Dunia ke-3?
Konflik bersenjata antara Iran dan Israel bukan hanya pertarungan dua negara dengan sejarah permusuhan panjang, tetapi juga berisiko menyeret negara-negara besar lain ke dalam pusaran perang. Iran memiliki aliansi strategis dengan kelompok-kelompok bersenjata di berbagai kawasan, serta dukungan tak langsung dari Rusia dan Tiongkok. Sementara Israel mendapat sokongan penuh dari Amerika Serikat dan negara-negara barat lainnya. Polarisasi ini menciptakan blok geopolitik yang mencerminkan struktur aliansi militer pada masa Perang Dingin—dan ketika dua blok besar bersinggungan dalam arena bersenjata, sejarah mencatat bahwa hasilnya sering kali destruktif.
Perang antara Iran dan Israel membawa gegap gempita di kawasan Timur Tengah, namun dampaknya meluas jauh melampaui garis perbatasan — mengguncang pasar energi global, memicu tekanan inflasi, serta menimbulkan risiko nyata bagi ekonomi negara-negara seperti Indonesia. Berikut ulasan mendalamnya.
Mulai dari sektor energi, eskalasi serangan militer dan balasan yang keras telah merusak infrastruktur migas di Iran, termasuk ladang gas dan kilang minyak utama. Harga minyak dunia pun melambung tajam, sempat menyentuh kisaran $74–$78 per barel sebelum akhirnya terkoreksi sedikit saat ada sinyal meredanya konflik. Risiko paling parah ditemui jika Iran mengambil langkah drastis seperti memblokir Selat Hormuz — jalur vital bagi hampir 20% pasokan minyak dunia — yang bisa membuat harga melonjak ke $100–$120 per barel.
Kenaikan harga minyak langsung menyulut inflasi global yang sudah tinggi sejak pandemi. Bank sentral seperti Bank of England pun bersikap hati-hati, mempertahankan suku bunga di tengah kekhawatiran inflasi. Di Indonesia, Menkeu Sri Mulyani mengingatkan bahwa lonjakan minyak lebih dari 8% selama konflik dapat menekan APBN—terutama jika harga BBM subsidi tidak dinaikkan—sementara pelemahan nilai tukar rupiah dan aliran modal juga menjadi risiko nyata.
Tak hanya itu, investasi global juga menanti kepastian. Gejolak geopolitik menciptakan sentimen negatif, mendorong investor berpindah ke aset aman seperti emas dan obligasi negara maju, menurunkan minat terhadap pasar saham negara berkembang, termasuk Indonesia . Bursa Efek Indonesia pun ikut terguncang dengan pelemahan IHSG lebih dari setengah persen dalam satu minggu.
Secara keseluruhan, efek domino dari konflik Iran–Israel ini terbukti nyata: tekanan harga komoditas, inflasi, tekanan fiskal, dorongan suku bunga, aliran modal keluar, hingga ketidakpastian bisnis dan konsumsi. Bahkan lembaga pemeringkat seperti Fitch menilai dampaknya cukup terkendali sejauh ini, namun tetap memperingatkan potensi risiko jika konflik berkepanjangan atau melebar ke kawasan lain.
Bagi Indonesia, risiko terbesar adalah kenaikan biaya impor BBM dan pangan, inflasi yang membebani rumah tangga, defisit fiskal semakin melebar, dan pertumbuhan ekspor yang melambat akibat gejolak global . Meski sejalan dengan asumsi APBN, pemerintah perlu strategi cepat: menyesuaikan anggaran subsidi, memperkuat cadangan devisa, menjaga stabilitas kurs, dan mempercepat reformasi struktural agar lebih tahan krisis.
Konflik Iran vs Israel lebih dari soal peperangan — ini tentang siapa yang menanggungnya di luar medan tempur. Harga minyak adalah barometer utama, dan konsekuensinya terasa hingga ke dompet masyarakat dan kebijakan negara. Indonesia butuh kesiapsiagaan: kebijakan proaktif dan fleksibel akan jadi tameng penting menghadapi tantangan global yang tak pernah mudah.
Situasi serupa juga terlihat di Eropa Timur. Perang Rusia-Ukraina telah memaksa NATO memperkuat kehadirannya di negara-negara Baltik dan Eropa Timur. Rusia, di sisi lain, memperkuat aliansinya dengan Tiongkok dan Iran. Ketegangan terus meningkat tanpa tanda-tanda deeskalasi yang berarti. Ketika batas antara perang lokal dan konflik regional mulai kabur, risiko konflik global menjadi lebih nyata.
Sementara itu, di Asia Timur, Taiwan menjadi titik api potensial yang bisa memicu konflik langsung antara dua kekuatan ekonomi dan militer terbesar dunia: Amerika Serikat dan Tiongkok. Blokade, intimidasi militer, dan latihan perang di kawasan tersebut telah menempatkan dunia pada tepi krisis baru.
Namun, apakah ini berarti Perang Dunia ke-3 tak terelakkan? Tidak selalu. Dunia saat ini lebih saling terkoneksi secara ekonomi dan informasi dibanding masa lalu. Negara-negara besar memiliki kepentingan global yang kompleks dan ketergantungan ekonomi lintas batas yang membuat keputusan untuk berperang menjadi jauh lebih mahal dan berisiko. Selain itu, adanya institusi global seperti PBB dan tekanan publik internasional bisa menjadi rem terhadap ambisi perang terbuka.
Meski begitu, dunia tak bisa mengandalkan “akal sehat” semata. Banyak perang besar dalam sejarah justru dipicu oleh salah perhitungan, kesalahpahaman, atau insiden kecil yang dibesar-besarkan. Oleh karena itu, penting bagi komunitas internasional untuk mendorong dialog, menghindari retorika agresif, serta memperkuat diplomasi damai dan sistem keamanan kolektif. Perang Dunia ke-3 bukanlah kepastian, tetapi jika dunia gagal belajar dari sejarah, maka risiko itu akan selalu mengintai di balik tirai konflik yang terus berkembang.
No comments:
Post a Comment