Menelusuri Isu dan Realitas di Balik Gonjang-Ganjing Industri Rokok
Isu tentang potensi kebangkrutan PT Gudang Garam Tbk, salah satu perusahaan rokok terbesar di Indonesia, kian santer terdengar di tengah gejolak industri tembakau. Dengan riwayat panjang sebagai pemain utama sejak era 1950-an, kabar ini tentu mengejutkan banyak pihak. Namun, benarkah Gudang Garam benar-benar berada di ambang kebangkrutan? Ataukah ini hanya efek dari perubahan besar di sektor bisnis rokok nasional?
Selama bertahun-tahun, Gudang Garam adalah simbol dari kekuatan industri kretek dalam negeri. Namun, dalam lima tahun terakhir, tekanan terhadap industri ini datang dari berbagai arah: kenaikan tarif cukai yang agresif, regulasi pemerintah yang makin ketat terhadap iklan dan distribusi rokok, hingga pergeseran pola konsumsi masyarakat yang mulai meninggalkan produk tembakau konvensional. Semua ini menciptakan tekanan ganda—baik dari sisi biaya operasional maupun permintaan pasar.
Sejak 2020, beban kenaikan cukai dan pajak membuat margin keuntungan perusahaan rokok menyusut drastis. Gudang Garam tidak luput dari tekanan ini. Laporan keuangan dalam beberapa kuartal terakhir menunjukkan penurunan laba bersih yang signifikan. Selain itu, ada sinyal dari penurunan volume penjualan, pengurangan tenaga kerja, dan efisiensi besar-besaran di berbagai lini bisnisnya.
Di tahun 2024, kabar soal kemungkinan kebangkrutan PT Gudang Garam Tbk (GGRM) semakin mengemuka. Raksasa kretek ini mencatat kinerja keuangan yang sangat memprihatinkan: pendapatan turun drastis dan laba anjlok lebih dari 80%—tanda nyata bahwa tekanan terhadap perusahaan tidak bisa lagi diabaikan
Laporan keuangan menunjukkan bahwa pendapatan Gudang Garam pada 2024 mencapai Rp 98,65 triliun, turun 17% dari Rp 118,95 triliun pada tahun sebelumnya. Sementara laba bersihnya menyusut dari Rp 5,32 triliun menjadi hanya Rp 980,8 miliar—kerugian hampir 82% dibanding tahun sebelumnya. Ini adalah level laba terendah Gudang Garam dalam satu dekade terakhir.
Tekanan utama datang dari kenaikan biaya cukai rokok, yang meningkat sekitar 11–12%, mendorong perusahaan menaikkan harga jual. Namun daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah tidak tumbuh secepat ekspektasi, menyebabkan volume penjualan SKM turun signifikan sekitar 9–17% menurut laporan semester I dan tiga kuartal 2024.
Selain itu, beban produksi yang mencapai 90% dari total pendapatan, ditambah tingginya biaya operasi lainnya, membuat margin keuntungan semakin menipis. Diversifikasi bisnis ke sektor non-rokok juga belum memberikan hasil positif, bahkan dilaporkan mencatat kerugian.
Data kuartal I 2025 menunjukkan tren serupa: laba merosot hingga 82%, sementara pendapatan turun 12% terhadap periode sama tahun lalu.
Tahun 2024 mencatat lonjakan signifikan dalam peredaran rokok ilegal di Indonesia. Menurut kajian dari Indodata Research Center, pangsa rokok tanpa pita cukai atau polos dalam total peredaran meningkat drastis dari 28% pada 2021 menjadi 46% pada 2024. Angka ini menunjukkan fenomena yang sangat mengkhawatirkan—hampir setengah dari rokok yang beredar di pasaran kini berasal dari jalur tidak resmi.
Mayoritas (95,44%) dari rokok ilegal tersebut adalah jenis polos—tanpa pita cukai sama sekali. Sisanya terdiri dari rokok palsu (1,95%), rokok saltuk (salah peruntukannya) 1,13%, dan varian lain seperti rokok bekas atau dipersonalisasi. Lonjakan ini menyebabkan potensi kerugian negara mencapai Rp97,81 triliun, jumlah yang sangat besar jika dibandingkan skor beberapa kementerian.
Fenomena ini dipicu oleh dua faktor utama: pertama, harga rokok legal yang terus naik akibat kebijakan cukai yang agresif; kedua, perokok miskin atau kelas bawah berpindah ke rokok ilegal karena lebih murah. Data terbaru menunjukkan bahwa harga jual eceran (HJE) rokok naik signifikan sejak awal 2025, yang kemudian memperluas celah bagi pelaku illegal yang menawarkan alternatif lebih murah.
Ini bukan sekadar masalah industri—hal ini juga mempengaruhi penerimaan negara. Meskipun penerimaan dari cukai dan bea masuk tumbuh sekitar 2,1% di awal 2025, potensi kerugian akibat rokok ilegal dapat menggoyahkan target APBN, terlebih jika tak segera ditindaklanjuti. Risiko ini terus membayangi, karena semakin banyak rokok legal yang tergeser oleh produk ilegal di pasar domestik.
Meski demikian, menyebut GGRM pasti bangkrut adalah terlalu dini. Mereka masih memiliki aset besar dan ekuitas yang relatif stabil. Namun, agar bisa bertahan, manajemen perlu segera mengubah strategi: mengevaluasi kembali beban relatif terhadap pendapatan, menghentikan ekspansi yang tidak menguntungkan, dan mempercepat adaptasi terhadap tren pasar seperti produk tembakau alternatif.
Kerentanan Gudang Garam merupakan refleksi dari tantangan yang lebih luas: bagaimana industri yang selama puluhan tahun menjadi andalan ekonomi nasional kini diguncang oleh regulasi, pergeseran selera konsumen, dan krisis iklim ekonomi global. Kunci ke depannya bukan seberapa besar perusahaan itu, tetapi seberapa lincah dan inovatif mereka dalam merespons situasi.
Namun, menyebut Gudang Garam akan bangkrut masih terlalu prematur. Perusahaan ini memiliki aset besar, pengalaman industri puluhan tahun, dan jaringan distribusi yang kuat. Di sisi lain, manajemen Gudang Garam tengah merespons tekanan ini dengan strategi diversifikasi dan efisiensi operasional. Termasuk mempertimbangkan ekspansi ke sektor-sektor lain seperti energi dan logistik melalui entitas anak usaha mereka.
Tantangan besar memang sedang mengintai industri rokok secara global, bukan hanya di Indonesia. Transisi menuju produk tembakau alternatif seperti rokok elektrik dan nikotin non-combustion juga membuat perusahaan besar harus menyesuaikan strategi. Jika Gudang Garam gagal beradaptasi, bukan tak mungkin posisinya sebagai raksasa akan tergeser oleh pemain baru atau tren konsumsi yang berubah drastis.
Dalam konteks ini, penting bagi publik untuk tidak terjebak pada narasi bombastis semata. Alih-alih menyimpulkan kebangkrutan, lebih bijak untuk mencermati indikator finansial, strategi jangka panjang perusahaan, dan perubahan regulasi yang terus berlangsung. Yang jelas, Gudang Garam bukan lagi perusahaan yang "tak tergoyahkan." Tapi apakah mereka akan tumbang? Waktu dan adaptasi yang akan menjawabnya.