Pages

Friday, September 5, 2025

Golden Dome 2028

Golden Dome: Sistem Pertahanan Rudal Masa Depan Amerika Serikat

Pada 20 Mei 2025, Presiden Donald Trump mengumumkan rencana ambisius untuk mengembangkan sistem pertahanan rudal baru yang dijuluki “Golden Dome” atau Golden Dome for America.

Tujuannya: menciptakan pertahanan lapis-lapis yang mampu mendeteksi dan menangkis berbagai ancaman rudal—mulai dari balistik, hipersonik, hingga serangan drone massal—baik dari luar angkasa maupun daratan Amerika Serikat, Alaska, dan Hawaii. 

Presentasi berlabel “Go Fast, Think Big!” itu dipaparkan kepada 3.000 kontraktor pertahanan di Huntsville, Alabama, mengungkap kompleksitas sistem yang belum pernah ada sebelumnya.

Arsitektur dan Lapisan Pertahanan yang dibuat dengan memiliki struktur sistem Golden Dome dirancang dalam empat lapis utama, yaitu

Pertama, lapisan luar (Space Layer): Menggunakan satelit untuk deteksi lanjutan dan kemungkinan intersepsi rudal di fase awal peluncuran.

Kedua, lapisan atas (Upper Layer): Menggabungkan teknologi seperti Next Generation Interceptors (NGI), sistem THAAD, dan Aegis, untuk menembak jatuh rudal sebelum mencapai hampir ke target — termasuk potensi lokasi baru di Midwest Amerika Serikat.

Ketiga, lapisan bawah (Under Layer): Termasuk radar dan peluncur Patriot—melengkapi sistem pertahanan darat.

Keempat, lapisan permukaan multi-domain (“Limited Area Defense Domain”): Integrasi menyeluruh dengan sistem keamanan ruang, laut, darat, udara, dan siber.


Pendanaan dan Proyeksi Waktu dari proyek ini mempunyai estimasi awal biaya Golden Dome mencapai sekitar 175 miliar dollar Amerika. Ada juga laporan yang menaikkan estimasi hingga lebih dari 700 hingga 830 miliar dollar Amerika jika mencakup pengembangan, penyebaran, pemeliharaan jangka panjang, dan jumlah satelit yang dibutuhan.

Pada tahun anggaran 2026, Kongres menyetujui pendanaan awal sebesar 25 miliar dollar Amerika. 

Presiden Trump menargetkan sistem ini sudah siap diuji sebelum akhir masa jabatannya pada 2029, namun rencana Pentagon menyebut bahwa hanya demontrasi kondisi ideal yang mungkin tercapai pada tahun 2028.

Hasil uji coba satelit interceptor pertama disebut direncanakan pada kuartal keempat 2028, dengan nama kode FTI-X (Flight Test Integrated), memeriksa integrasi sistem sensor dan persenjataan.


Poin paling revolusioner Golden Dome adalah teknologi intersepsi dari luar angkasa—yang memungkinkan Amerika Serikat menangkis rudal saat masih dalam tahap peluncuran (boost-phase). Lockheed Martin dan perusahaan pertahanan lainnya tengah mengembangkan satelit interceptor untuk tujuan ini, dengan target uji coba orbital sebelum 2028.


Namun, ada banyak tantangan dan skeptisisme, yaitu diantaranya adalah:

Pertama, diperlukan ribuan satelit interceptor untuk jangkauan efektif terhadap ancaman global.

Kedua, butuh kemajuan signifikan dalam sensor, komando-kontrol-tembak (kill chain), komputasi AI, dan laser berenergi tinggi.

Ketiga, potensi pelanggaran perjanjian internasional tentang penggunaan ruang angkasa, serta tekanan dari negara lain seperti Rusia dan Tiongkok yang menganggap Golden Dome mengganggu stabilitas strategis global.

Dan keempat, sejumlah teknologi inti masih belum teruji di skala besar atau praktis.

Rencana Golden Dome juga menuai kritik internasional. China dan Rusia menyebut sistem ini merusak stabilitas strategis, dan mungkin memicu perlombaan senjata luar angkasa. Sementara itu, Jepang dan New Zealand menyatakan dukungan atas inisiatif pertahanan asalkan tidak bersifat ofensif.

Politik dalam negeri Amerika Serikat juga berperan: target uji coba 2028 tampak memiliki nilai politis tinggi mengingat bertepatan dengan Pemilu Presiden Amerika Serikat tahun 2028. Uji coba tahun 2028 mungkin baru tahap pertama.

Golden Dome milik Amerika Serikat ini mirip dengan Iron Dome milik Israel. Sistem bernama asli Kippat Barzel dalam bahasa Ibrani ini dianggap sebagai salah satu senjata pertahanan paling vital yang dimiliki Israel.

Iron Dome adalah sistem pertahanan udara mobile segala cuaca yang mulai dioperasikan penuh sejak Maret 2011. Fungsinya utama adalah melindungi warga Israel dari serangan udara jarak pendek, seperti roket atau mortir, dengan cara meluncurkan misil pencegat yang dikendalikan secara presisi.

Menurut Kementerian Pertahanan Israel, sistem ini telah beberapa kali ditingkatkan kemampuannya dan berhasil menggagalkan ribuan serangan roket ke wilayah permukiman.

Sistem 'kubah besi' ini dikembangkan oleh perusahaan pertahanan milik negara Israel, Rafael Advanced Defense Systems, dengan dukungan pendanaan besar dari Amerika Serikat. Hingga kini, Washington masih terus menyuntik dana untuk pengembangan dan operasional sistem ini.

Iron Dome bekerja dengan mengandalkan radar untuk mendeteksi roket yang masuk dan menghitung apakah lintasan roket tersebut mengarah ke wilayah yang dianggap penting, baik itu area strategis atau pusat permukiman. Jika roket dinilai mengancam, pusat komando akan segera mengirimkan misil Tamir untuk mencegatnya di udara.

Namun, sistem ini tidak akan menembakkan misil jika ancaman dinilai tak berbahaya, seperti roket yang akan jatuh di area terbuka atau tidak berpenghuni.

Menurut laporan Congressional Research Service tahun 2023, Iron Dome dikategorikan sebagai sistem pertahanan anti-roket, anti-mortir, dan anti-artileri jarak pendek, dengan jangkauan pencegatan antara 4 hingga 70 kilometer.

Israel diperkirakan memiliki setidaknya 10 baterai Iron Dome yang tersebar di berbagai wilayah. Satu baterai mampu melindungi area seluas 155 kilometer persegi dan biasanya terdiri dari 3 hingga 4 peluncur. Masing-masing peluncur dapat membawa hingga 20 misil Tamir.

Lembaga pemikir Center for Strategic International Studies memperkirakan, satu baterai Iron Dome memerlukan biaya produksi lebih dari 100 juta dollar Amerika atau sekitar Rp1,6 triliun.

Sejak beroperasi pada 2011, pemerintah Amerika Serikat telah menggelontorkan miliaran dolar untuk pengadaan, pemeliharaan, dan produksi bersama Iron Dome. Dukungan itu mendapat persetujuan luas di Kongres AS, baik dari Partai Demokrat maupun Republik.


Meski dianggap canggih dan efektif, Iron Dome bukannya tanpa kelemahan. Para analis memperingatkan bahwa sistem ini bisa kewalahan jika dihadapkan pada serangan roket besar-besaran secara simultan atau yang dikenal sebagai "saturation attack". Serangan jenis ini bertujuan membanjiri sistem pertahanan dengan jumlah roket yang sangat banyak dari berbagai arah sekaligus.


Pusat Studi Kebijakan Eropa (CEPA), lembaga think tank asal AS, menyebut pada 2021 bahwa Iron Dome dapat menjadi rentan dalam menghadapi skenario serangan semacam itu.



Golden Dome adalah salah satu proyek pertahanan paling ambisius dalam sejarah modern—menggabungkan senjata luar angkasa, sistem radar canggih, dan pertahanan berlapis untuk menciptakan "perisai emas" bagi Amerika Serikat. Jika berhasil, ia menjanjikan revolusi dalam keamanan nasional. Namun, di sisi lain, risiko teknis, biaya, implikasi geopolitik, dan pelanggaran prinsip ruang angkasa menjadi tantangan berat dalam mewujudkannya.


Sumber :

https://global.kontan.co.id/news/golden-dome-as-akan-miliki-sistem-pertahanan-4-lapisan-target-operasi-2028

https://international.sindonews.com/read/1602337/42/trump-akan-tes-sistem-rudal-golden-dome-jelang-pilpres-as-2028-1754363302?showpage=all

https://www.cnbcindonesia.com/tech/20250617110315-37-641594/apa-itu-iron-dome-senjata-andalan-israel-yang-dilumpuhkan-iran

Monday, September 1, 2025

Akankah Mei 1998 Terulang Kembali Tahun 2025 ini?

Sejarah mencatat, Mei 1998 adalah salah satu titik paling kelam dalam perjalanan bangsa Indonesia. Krisis ekonomi yang bermula dari gejolak finansial Asia, merembet menjadi krisis multidimensi yang mengguncang politik, sosial, dan keamanan. Harga-harga kebutuhan pokok melonjak drastis, nilai rupiah anjlok, dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah runtuh. Akibatnya, lahirlah demonstrasi besar-besaran, kerusuhan sosial, hingga lengsernya rezim Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun. Peristiwa ini menjadi pengingat betapa rapuhnya sebuah bangsa ketika tekanan ekonomi bertemu dengan ketidakpuasan sosial dan politik.

Ketidakpuasan sosial dan politik adalah kondisi ketika sekelompok masyarakat tidak puas terhadap situasi sosial atau kebijakan serta kinerja pemerintah, yang dapat diwujudkan melalui berbagai bentuk seperti demonstrasi, kerusuhan, menurunnya kepercayaan publik, bahkan bisa memicu konflik sosial yang lebih luas dan menghambat pembangunan. Penyebabnya dapat bervariasi, mulai dari kebijakan ekonomi yang tidak adil, kesulitan mencari pekerjaan, hingga ketidakpercayaan pada proses politik dan pemerintahan. 

Kini, menjelang tahun 2025, muncul pertanyaan besar: mungkinkah sejarah itu terulang kembali? Apalagi dunia sedang menghadapi ketidakpastian global, mulai dari ancaman resesi, ketegangan geopolitik, perubahan iklim yang mengganggu rantai pasok, hingga laju inflasi yang menghantui banyak negara. Indonesia sebagai bagian dari ekonomi global tentu tidak bisa sepenuhnya kebal. Jika krisis global membesar, maka Indonesia pun berpotensi ikut merasakan dampaknya.

Krisis ekonomi adalah suatu periode penurunan ekonomi yang drastis dan berkelanjutan di suatu negara atau wilayah, lebih parah dari resesi biasa, yang ditandai dengan penurunan PDB, anjloknya bursa saham dan daya beli masyarakat, serta pengangguran yang meningkat. Krisis dapat dipicu oleh berbagai faktor seperti inflasi tinggi, utang negara, krisis finansial, atau bahkan ketidakstabilan global, dan dapat berdampak luas ke seluruh sektor ekonomi. 

Namun, kondisi Indonesia hari ini tentu berbeda dengan tahun 1998. Saat itu, fondasi ekonomi nasional masih rapuh, ketergantungan pada utang luar negeri tinggi, dan sistem politik sangat sentralistik. Reformasi yang lahir setelah 1998 membawa perubahan besar, terutama dalam hal demokratisasi, transparansi, dan keterbukaan informasi. Sektor perbankan dan fiskal juga jauh lebih kuat dengan adanya pengawasan ketat, cadangan devisa lebih besar, serta diversifikasi sumber ekonomi yang tidak hanya bergantung pada satu komoditas. Hal ini menjadi benteng awal yang membuat Indonesia lebih siap menghadapi guncangan eksternal.

Sistem politik Indonesia adalah sistem presidensial republik demokrasi perwakilan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dengan pembagian kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serta menganut sistem multipartai. Presiden merupakan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, sementara lembaga-lembaga negara seperti DPR, MPR, dan Mahkamah Agung menjalankan fungsi masing-masing dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Meski demikian, ancaman tetap ada. Krisis tidak hanya soal angka-angka makroekonomi, melainkan juga tentang ketidakpuasan sosial. Jika inflasi melonjak, daya beli menurun, dan pengangguran meningkat, maka keresahan masyarakat bisa menjadi bara dalam sekam. Apalagi di tahun 2025, Indonesia berada dalam situasi politik yang hangat pasca pemilu. Suasana transisi kepemimpinan bisa menjadi faktor yang memperuncing ketidakstabilan, terutama jika ada kelompok yang memanfaatkan keresahan ekonomi untuk kepentingan politik. Inilah yang membuat sebagian kalangan mengaitkan kondisi sekarang dengan bayangan Mei 1998.

Ketidakpuasan sosial adalah suatu perasaan atau kondisi ketidakpuasan sekelompok masyarakat terhadap suatu keadaan atau kebijakan yang dianggap tidak adil, tidak sesuai harapan, atau memicu ketidaksetaraan. Ketidakpuasan ini sering kali dipicu oleh kesenjangan sosial, ketidakadilan dalam distribusi sumber daya, serta terbatasnya akses terhadap kebutuhan dasar seperti pendidikan dan pekerjaan, dan dapat mendorong masyarakat untuk menuntut perubahan.

Namun, perbedaan paling mendasar terletak pada kesadaran masyarakat. Dua dekade lebih sejak 1998, bangsa ini sudah belajar banyak. Masyarakat kini lebih melek politik, lebih kritis terhadap informasi, dan memiliki saluran aspirasi yang lebih terbuka. Jika pada 1998 suara rakyat tersumbat sehingga meledak dalam bentuk kerusuhan, kini rakyat punya lebih banyak ruang demokratis untuk menyampaikan ketidakpuasan. Media sosial juga menjadi kanal yang bisa meredakan sekaligus memperuncing situasi, tergantung bagaimana penggunaannya.

Kesadaran masyarakat adalah pemahaman, perasaan, dan sikap positif serta tindakan nyata masyarakat terhadap suatu kondisi tertentu, seperti lingkungan, hukum, atau hak dan kewajiban sebagai warga negara, yang mengarah pada perubahan perilaku yang lebih baik dan bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. 

Pada akhirnya, pertanyaan "Akankah Mei 1998 terulang kembali?" bukanlah sesuatu yang bisa dijawab dengan hitam-putih. Krisis bisa datang kapan saja, ibarat badai yang sulit diprediksi. Tetapi, apakah badai itu akan menghancurkan kapal atau justru bisa dilewati, sangat bergantung pada seberapa kuat persiapan bangsa ini. Pemerintah perlu menjaga stabilitas harga, memastikan distribusi kebutuhan pokok berjalan lancar, dan memberi jaring pengaman sosial bagi masyarakat rentan. Sementara rakyat, perlu menjaga persatuan, tidak mudah terprovokasi, dan mengingat bahwa kerusuhan hanya akan memperburuk keadaan.

Persiapan bangsa Indonesia saat ini berfokus pada pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045, melalui peningkatan pendidikan, inovasi, dan pemanfaatan bonus demografi, sekaligus menjaga persatuan nasional dengan mengamalkan Pancasila, toleransi, dan melawan hoaks di media sosial, serta mendukung produk dalam negeri dan kesadaran bela negara. 

Sejak 25 Agustus 2025, unjuk rasa disertai kerusuhan terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Unjuk rasa ini awalnya dipicu oleh protes terhadap adanya tunjangan baru bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, berupa tunjangan perumahan.

Bentrokan yang terjadi di Senayan pada 28 Agustus 2025 tercatat sebagai salah satu demonstrasi terbesar yang melibatkan pelajar dan mahasiswa, memperlihatkan bahwa suara muda belum padam meski jalan yang mereka tempuh penuh risiko.

Protes berlanjut pada 29 Agustus 2025 dengan para demonstran menuntut pertanggungjawaban atas kematian Affan Kurniawan. Seruan keadilan menyebar di media sosial, dan demonstrasi baru direncanakan di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia.

Sejarah Mei 1998 adalah luka, tetapi juga guru. Dari sana kita belajar bahwa krisis bisa menjadi momentum lahirnya perubahan. Namun, tak ada alasan bagi bangsa ini untuk kembali mengulang tragedi serupa. Justru dengan pengalaman masa lalu, Indonesia bisa lebih matang, lebih kuat, dan lebih siap menghadapi tantangan 2025. Bukan dengan menengok ke belakang dengan ketakutan, melainkan dengan menatap ke depan dengan kewaspadaan dan optimisme.